Hari Lahirnya Pancasila: Momentum Kembali ke Trisakti Bung Karno
H Lalu Tjuck Sudarmadi
GEMARI.ID-JAKARTA. Arah pembangunan bangsa kita hari ini terasa semakin menjauh dari cita-cita luhur para pendiri bangsa. Visi besar “Indonesia Emas 2045”—yang hendak menjadikan negeri ini sebagai kekuatan ekonomi dan politik dunia—tampak sulit tercapai jika kita terus berjalan seperti sekarang: tanpa arah ideologis yang jelas dan dengan praktik kenegaraan yang sering kali terserabut dari nilai nilai Pancasila dan UUD 45 Asli serta rapuh terhadap goncangan global.
Salah satu indikator Indonesia Emas 2045 adalah pendapatan per kapita yang melampaui 30.000 dolar AS, dan pada saat ini, angka itu baru sekitar 5.000 dolar. Di luar itu, masih banyak indikator strategis lain: pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, kualitas pendidikan yang unggul dan merata, kemajuan inovasi dan teknologi, kemandirian energi dan pangan, serta penegakan hukum yang adil dan bersih. Tetapi realitas menunjukkan: ketimpangan masih tinggi, kualitas SDM belum optimal, dan tata kelola pemerintahan dibayangi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang makin menggila.
Kekayaan alam seperti migas, batubara, nikel dan lainya, belum dikelola sesuai Pasal 33 UUD 1945—untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sebaliknya, ketergantungan terhadap asing dan dominasi kepentingan segelintir elit dan oligarki mengalahkan semangat kedaulatan ekonomi. Belum lagi ketergantungan pangan yang kian menipisnya kemandirian nasional.
Sementara itu, demokrasi kita cenderung berkembang ke arah prosedural semata. Partai politik tak mampu menjalankan fungsi strategisnya untuk mencetak pemimpin berkualitas dan berintegritas. Budaya politik mengalami kemunduran: dari dialog dan etika menjadi transaksional, destruktif, dan penuh permusuhan.
Penegakan hukum melemah. Aparat hukum lebih sibuk merawat citra kekuasaan ketimbang menegakkan keadilan. Peran TNI dan Polri yang makin mendominasi ruang-ruang sipil juga menandai kian kaburnya batas sipil-militer yang menjadi prinsip negara demokratis. Kita pun kian menjauh dari semangat civil supremacy yang menjadi syarat negara modern.
Permasalahan yang multidimensional tak hanya membuat rakyat kehilangan harapan, tetapi juga memperlemah posisi tawar Indonesia di kancah global. Kita belum menjadi bangsa yang sepenuhnya merdeka dan dihormati dunia sebagaimana dicita-citakan Bung Karno.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita kembali menengok arah dan semangat falsafah pembangunan yang diletakkan Bung Karno melalui konsep Trisakti: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Trisakti bukan slogan kosong, melainkan orientasi strategis untuk membangun bangsa yang kuat, mandiri, dan bermartabat.
Kita harus berani keluar dari jebakan system demokrasi dan mengatas namakan Pancasila sebagai landasan, tapi prakteknya sangat bertentangan dengan nilai nilai yang dikandungnya. Negeri ini menjalankan system demokrasi prosedural yang super liberal dan transaksional yang disandra oleh kekuatan oligarki yang mendapatkan legitimasi menguasai politik dan ekonomi negeri ini. Kini dalam memperingati hari lahirnya Pancasila hendaknya kita jadikan momentum untuk mencari kembali berbagai pikiran cemerlang para pendiri bangsa seperti Trisaksi yang di wariskan Bung Karno sebagai arah untuk membangun Indonesia, negeri yang merdeka. Dan dalam rangka menyongsong 100 tahun kemerdekaannya itulah gagasan untuk mencapai Indonesia Emas 2045 telah dicanangkan.
Namun tanpa arah dan semangat Trisakti, Indonesia Emas 2045 hanyalah ilusi. Kini saatnya kita tumbuhkan kembali semangat dan arah kebijakan nasional pada jalur yang digariskan para pendiri bangsa dan kita dorong agar setiap pemimpin punya tekad untuk bersama-sama menanamkan semangat “Indonesia First, Bring Your Heart Home, ke Rumah Pancasila”. Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan