Makna Kurban dalam Situasi Ketidakberesan yang Hampir Sempurna
H Lalu Tjuck Sudarmadi
GEMARI.ID-JAKARTA. Hari Raya Idul Adha atau Hari Raya Kurban bukan hanya ritual tahunan penyembelihan hewan, melainkan momentum spiritual yang sarat dengan makna keberagamaan dan kebangsaan. Kurban adalah simbol dari keikhlasan, kesediaan menyerahkan yang paling dicintai demi kebenaran yang lebih besar, dan tanda kepatuhan mutlak kepada Tuhan. Sayangnya, makna ini seolah menguap dalam realitas bangsa kita yang kini, ironisnya, justru nyaris sempurna dalam ketidakberesan dan ketidakbenaran.
Ketika Nilai Luhur Terkikis dan Hukum Dilanggar.Hari-hari ini kita menyaksikan bagaimana nilai-nilai luhur yang dulu dijunjung tinggi sebagai pedoman hidup bangsa—kejujuran, gotong royong, keadilan sosial, integritas—mulai menghilang dari wajah kepemimpinan. Pancasila yang seharusnya menjadi dasar moral dan ideologis dalam membangun negeri, kini sering kali hanya menjadi jargon kosong, diucapkan tetapi tidak dilaksanakan.
Contoh konkret bisa kita lihat pada praktik demokrasi yang dirusak oleh politik uang, nepotisme dalam rekrutmen pejabat publik, manipulasi hukum demi melanggengkan kekuasaan, serta pengabaian terhadap nasib rakyat kecil. Undang-undang dibuat bukan lagi demi kemaslahatan umum, melainkan demi kepentingan segelintir elite ekonomi dan politik. Sistem hukum pun menjadi tebang pilih: tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Belum lagi eksploitasi sumber daya alam yang ugal-ugalan oleh korporasi besar yang merusak lingkungan, menggusur masyarakat adat, dan mengabaikan keberlanjutan. Ketimpangan ekonomi pun semakin tajam: yang kaya makin kaya, yang miskin makin terpinggirkan. Inilah buah dari sistem kapitalisme liberal yang dilegalkan oleh kebijakan negara.
Ketika Bangsa Kehilangan Jiwa.Bangsa ini bukan hanya menghadapi krisis ekonomi atau politik, tetapi juga krisis ruhani dan moral. Budaya bangsa yang dahulu menjunjung tinggi rasa malu, sopan santun, dan empati kini tergerus oleh budaya individualisme, hedonisme, dan egoisme yang dibawa oleh arus globalisasi tanpa filter. Manusia modern kehilangan rasa, kehilangan ruh. Mereka berpikir hanya dengan akal, tanpa hati dan jiwa—mind without heart and soul.
Inilah yang membuat manusia bisa tega menipu, menyuap, memfitnah, mengkhianati amanah, dan menjual kepentingan bangsa demi kenikmatan sesaat. Maka, makna kurban yang sejati harus kembali dihidupkan: bukan hanya menyembelih hewan, tetapi menyembelih sifat-sifat buruk yang membuat kerusakan di bumi.
Pelajaran dari Kisah Para Nabi: Tuhan Tidak Diam.Dalam sejarah keagamaan, kita diajarkan bahwa Tuhan tidak pernah membiarkan kezaliman bertahan selamanya. Lihatlah bagaimana Tuhan menghancurkan kaum Nabi Nuh yang pongah dan enggan mendengarkan kebenaran, ditenggelamkan oleh air bah. Kaum ‘Ad dan Tsamud yang congkak dan zalim, dihancurkan oleh angin topan dan petir. Kaum Nabi Luth yang tenggelam dalam kemaksiatan, dibalikkan negerinya hingga musnah. Fir'aun yang mengaku sebagai tuhan dan menindas Bani Israel, ditenggelamkan di Laut Merah.
Satu pola yang konsisten dari semua kisah itu adalah bahwa Tuhan menghancurkan peradaban yang menolak kebenaran, yang menghalalkan segala cara demi kekuasaan, yang mengabaikan keadilan, dan yang membuat kerusakan di bumi.
Maka, Apa Arti Kurban Bagi Kita Hari Ini?Makna kurban hari ini bukan hanya tentang sapi dan domba atau kambing. Kurban sejati adalah ketika seorang pejabat rela melepaskan nafsu berkuasanya demi keadilan. Ketika seorang pengusaha memilih tidak menyuap demi memperoleh proyek. Ketika seorang hakim atau jaksa menolak gratifikasi demi menegakkan hukum. Ketika seorang pemimpin bangsa memilih kejujuran walau pahit dan tidak populer.
Kurban juga berarti kesediaan mengendalikan hawa nafsu: tidak mengambil yang bukan haknya, tidak berbohong, tidak menipu, tidak merendahkan sesama, tidak menebar fitnah, dan tidak memelihara dendam dan permusuhan. Khususnya bagi para elit negeri—mereka yang memiliki kuasa atas kebijakan publik—pengorbanan moral dan spiritual justru lebih dituntut.
Seruan untuk Bangsa:
Di tengah kebusukan sistem, di tengah kekeringan nilai dan merajalelanya kepalsuan, kita semua perlu bertanya kepada diri sendiri: sudahkah kita berkurban? Bukan dalam bentuk daging dan darah, tapi dalam bentuk perubahan diri, dalam bentuk pengendalian hawa nafsu, dalam bentuk perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan, meski berat dan berisiko.
Bangsa ini tidak akan berubah hanya karena ganti pemimpin, ganti sistem, atau ganti aturan. Bangsa ini hanya akan berubah bila manusianya rela berkorban, rela melepaskan ego demi kemaslahatan bersama. Mind, heart, and soul harus bergerak bersama. Karena Tuhan tidak melihat jabatan, harta, atau gelar. Tuhan melihat siapa yang mau tunduk dan berserah dalam keikhlasan sejati.
Seperti Ibrahim yang siap menyembelih anaknya demi perintah Tuhan, dan seperti Ismail yang rela disembelih demi ketaatan, kita pun harus siap mengorbankan nafsu kekuasaan, kerakusan, dan keangkuhan demi menyelamatkan bangsa.
Sebab Tuhan itu ada, meski tidak terlihat. Dan ketika manusia terlalu sombong, terlalu rakus, dan terlalu lupa diri, maka hukum Tuhan akan berjalan. 'Gusti Pangeran'- mboten sare-tidak pernah tidur. 'Neneq Kaji Sak Kuase' tidak pernah lalai. Dan sejarah sudah menunjukkan: Tuhan akan menghancurkan siapa pun yang suka membuat kerusakan di bumi. Mari saudaruku saatnya untuk berserah diri. Tuhan, dipintuMU aku mengetuk. Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan