Bisakah Lima Quick Win Menghidupkan Kembali Marwah dan Sukses Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/ BKKBN?

H Lalu Tjuck Sudarmadi

GEMARI.ID-JAKARTA. Indonesia pernah menjadi contoh dunia dalam pengelolaan program kependudukan dan keluarga berencana. Keberhasilan program Keluarga Berencana (KB) di era Orde Baru menjadikan Indonesia mendapat pengakuan internasional dan penghargaan dari PBB. Kala itu, BKKBN menjadi institusi strategis yang tidak hanya menggerakkan birokrasi, tapi juga menginspirasi masyarakat. BKKBN tidak hanya berkiprah didalam  negeri, tetapi juga memberikan dukungan technical assistance bagi negara-negara sahabat lain di Asia Afrika dalam bentuk penugasan   tenaga konsultan  dari Indonesia;  dan mendatangkan ke Indonesia para pejabat senior  dan tokoh masyarakat di bidang KB untuk dilatih dan diberi orientasi  tentang pengelolaan  dan penggerakan program K/KB  di Indonesia.

Kejayaan itu nyaris menjadi kenangan karena dalam beberapa dekade  terakhir   BKKBN seperti  kehilangan ruh, arah, dan semangat. Alih-alih menjadi lokomotif pembangunan keluarga dan pengendalian penduduk, institusi ini justru terjebak dalam retorika dan rutinitas administratif. Tidak ada lagi narasi besar yang membingkai visi dan kampanye publik yang menggugah. Tidak ada semangat kerja yang terasa berdetak hingga akar rumput.

Dengan kebijakan politik briliant Presiden Prabowo, program kependudukan dan pembangunan keluarga mendapatkan kembali momentumnya. Prabowo melakukan transformasi kelembagaan dan meningkatkan status membentuk dan atau memperkuat  BKKBN menjadi Kementeriaan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN guna mewujudkan impiannya memecahkan persoalan bangsa yang disebut sebagai Paradoks Indonesia melalui transformasi kelembagaan dan merubah strategy dan orientasi pembangunan untuk kepentingan rakyat. Pembangunan adalah untuk rakyat, development for the people, people centered development. Orientasi yang tadinya ‘top down heavy’ digeser ke ‘bottom up heavy’. Permasalahan pertanian, pangan, gizi, kemiskinan, prasejahtera, ketimpangan ekonomi,  UMKM , desa tertinggal menjadi mainstream policy. Pembangunan harus dimulai dari desa, dari bawah untuk pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan. Tidak cukup dengan Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/ BKKBN saja, Prabowo  membentuk Kementerian/Badan  seperti Kementerian Koperasi, Kementerian UMKM,  Badan Gizi Nasional, Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan  yang didesign untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat  di bawah, di pedesaan.

Oleh karena itu Kementerian Kependudukan PK/BKKBN sudah seharusnya menyesuaikan strategy dan orientasi program sejalan dengan kebijakan  Presiden tersebut. Program  kependudukan dan pembangunan keluarga   beruntung karena infrastruktur, social capital serta system operasional beserta pendukungnya  seperti petugas lapangan dan data mikro keluarga sudah ada, tinggal diperkuat saja. Lima quick wins yang dicanangkan  itu perlu   menyesusikan   strategy operasional dan pelaksanaannya   dengan berbasis  desa dan  data mikro keluarga.  Selama satu semester nampaknya program unggulan itu belum   menunjukkan capaian konkret. Bahkan nyaris tidak terdengar gaungnya,  mungkinkah hanya sebagai  dampak dari  kebijakan efisiensi anggaran?.

Pertama, Genting (Gerakan Orang Tua Asuh Cegah Stunting). Program ini menjanjikan pelibatan masyarakat sebagai orang tua asuh untuk  anak-anak stunting. Namun hingga kini, tidak ada atau setidaknya  belum terdesiminasi secara luas informasi atau laporan resmi: berapa orang tua asuh yang sudah ikut serta, berapa anak yang telah tertangani, bagaimana sebarannya, dan  sistem pelaporan atau pemantauan yang digunakan. Padahal, jika ini gerakan nasional, setidaknya dalam satu semester sudah harus terlihat hasilnya.

Kedua, Tamasya (Taman Asuh Sayang Anak). Masyarakat belum mendapatkan informasi yang jelas: berapa taman asuh yang telah dibangun, termasuk tempat penitipan anak untuk keluarga pekerja.  Fasilitas apa saja yang tersedia, siapa pengelolanya, apakah gratis atau berbayar, dan bagaimana dan berapa jumlah anak yang telah terlayani. Belum ada informasi apakah pengasuhnya telah dilatih sesuai standar layanan anak. Tanpa informasi yang transparan dan evaluasi berkala, program ini beresiko menjadi proyek tanpa arah dan tujuannya tidak tercapai.

Ketiga, Gati (Gerakan Ayah Teladan Indonesia). Ide ini sangat baik secara moral dan sosial. Tapi bagaimana implementasinya? Apa indikator untuk menjadi ayah teladan? Apakah ada pelatihan, kegiatan komunitas, atau sistem penghargaan? Berapa ayah yang telah terlibat? Tanpa sistem monitoring dan atau insentif partisipasi, Gati akan menjadi slogan saja.

Keempat, Sidaya (Lansia Berdaya). Belum terdengar adanya program strategik untuk pemberdayaan lansia. Apakah lansia diberikan pelatihan, tempat pelayanan khusus, benefit,  pekerjaan ringan, atau peran sosial seperti di negara maju, misalnya Singapura, yang mempekerjakan lansia di bandara atau sektor pelayanan publik.  Jika tidak, maka kita tidak siap menjawab tantangan populasi menua yang akan semakin dominan dalam struktur demografi Indonesia.

Kelima, Super Apps Keluarga. Hingga kini belum terdengar kegiatan sosialisasi tentang hal ini dan  atau kampanye  yang menggunakan aplikasi ini termasuk untuk pencatatan dan pelaporan, pendataan keluarga  dan lainnya. Penggunaan teknologi memang penting, tetapi KIE berbasis komunitas akar rumput tetap vital. Tidak semua keluarga di Indonesia memiliki akses digital yang merata, terutama generasi tua dan kelompok prasejahtera. Aplikasi tanpa pendekatan sosial adalah langkah elitis yang akan meninggalkan sebagian besar rakyat.

Selain lima quick wins tersebut, program strategis seperti pembangunan keluarga dan pengentasan keluarga  prasejahtera juga perlu mendapatkan perhatian . Misalnya mengupayakan program perbaikan  rumah keluarga miskin, akses kepada air bersih, penerangan, sanitasi dan lingkungan, pemberdayaan ekonomi keluarga , pendidikan, pelatihan,  hingga edukasi dan pelayanan kontrasepsi. Kisruh soal ‘kontrasepsi efektif terpilih’ di Jawa Barat menjadi sinyal lemahnya pembentukan komitmen politis dan KIE serta pendekatan sosial. Ketidakhadiran komunikasi dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat yang kini berganti generasi menjadi faktor krusial terjadinya penolakan. Generasi Toga/Toma yang dahulu memahami pentingnya pengendalian penduduk/ pengaturan  kelahiran dan pengtahuan tentang berbagai alat kontrasepsi kini telah purna tugas-pensiun, digantikan tokoh-tokoh baru,  muda yang belum mendapat edukasi dan pendekatan kultural yang tepat.

KDM/Gubernur Jawa Barat, memahami bahwa kemungkjnan terjadinya kembali  ledakan pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali adalah bom waktu bagi pembangunan daerah. Maka mengambil inisiatif mendorong kesertaan ber KB dalam upaya  pengaturan kelahiran, dikaitkan dengan berbagai incentif.  Di sinilah seharusnya Kementerian Kependudukan PK/BKKBN hadir sebagai mitra strategis, mempersiapkan suasana yang kondusif,  bukan malah terkesan absen.

Indonesia saat ini sedang berada di masa emas  demografi, di mana penduduk usia produktif mendominasi. Tapi bonus ini hanya akan menjadi berkah bila dikelola dengan baik.  Saatnya Kementerian Kependudukan PK/ BKKBN menawarkan berbagai alternatif kebijakan untuk memanfaatkan bonus demografi, agar  bonus ini tidak malah sebaliknya berubah menjadi beban sosial dimasa mendatang.

Kementerian Kependudukan PK /BKKBN harus mulai dan mau berbenah. Perlu  melakukan share vision kepada semua tingkatan  kepemimpinan dan pemangku  kepentingan/mitra kerja  agar ada pemahaman yang sama,  pentingnya kerja team yang  solid.  Perubahan mindset, bhwa kerja  bukan hanya mengatur administrasi, tetapi harus mampu menghidupkan semangat dan etos kerja gerakan. Pemahaman  bahwa pembangunan keluarga adalah fondasi utama pembangunan bangsa dan bagian strategik dari upaya besar yang sedang diperjuangkan  oleh Presiden Prabowo, harus didukung bersama  agar  peningkatan kesejahteraan rakyat yang lebih baik bisa tercapai.

Kembali pada pertanyaan awal mampukah menghidupkan kembali marwah dan kesuksesan institusi ini? Jawabnya mampu dan bisa, karena institusi ini di nakhodai oleh dua tombak kembar yang saling memperkuat dan  menjanjikan. Mas Wihaji,  Menteri dengan ilmu dan  pengetahuan mumpuni serta pengalaman lapangan yang handal dan teruji. Wamennya, Mbak Isyana  handal dibidang komunikasi dan media yang menjadi backbone kesuksesan  institusi ini  pada masa lalu. Menghidupkan kembali marwah dan  kesuksesan  bukan untuk siapa,  tetapi untuk mewujudkan norma keluarga kecil bahagia sejahtera. Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan