Citra dan Agnotology-Agnogenesis
Serial Tropikanisasi-Kooperatisasi (9)
Mengapa Citra (Image) Koperasi Buruk Walau Kerugian Akibat Perusahaan Swasta Jauh Lebih Besar?
Oleh: Agus Pakpahan
Pengantar: Paradoks dalam Persepsi dan Kuasa Wacana
Pada edisi ini, kita meninjau sebuah paradoks yang lebih dalam. Di panggung ekonomi global, perusahaan-perusahaan swasta raksasa telah berulang kali menjadi aktor utama dalam drama kehancuran ekonomi, dari Depresi Besar 1930-an, Krisis Asia 1997-1998, hingga Resesi Global 2008, dengan kerugian yang mencapai ratusan triliun rupiah.
Namun, dalam kesadaran kolektif masyarakat, citra "penjahat ekonomi" justru lebih sering melekat pada entitas yang jauh lebih kecil: koperasi. Mengapa? Jawabannya terletak pada ranah filsafat, sosiologi, dan yang paling utama: politik wacana dan strategi produksi ketidaktahuan. Lantas, apakah kebenaran, padahal hanyalah persepsi, ditentukan oleh penguasa dan penyebar informasi? Kita coba telusuri jawabannya.
1. Pelanggaran Narasi: Pengkhianatan terhadap Cita-Cita Luhur
Koperasi dibangun di atas narasi mulia: gotong royong, kekeluargaan, dan prinsip "dari, oleh, dan untuk anggota." Filosofi ini menciptakan ekspektasi moral yang tinggi. Ketika sebuah koperasi menipu, yang terjadi adalah pengkhianatan terhadap sebuah cita-cita. Ibarat seorang pemuka agama tertentu yang mencuri uang kas rumah ibadahnya, kadarnya berbeda dengan pencuri biasa yang berbuat serupa.
Sebaliknya, perusahaan swasta tidak dibebani narasi luhur. Misi mereka tunggal: memaksimalkan profit. Kekecewaan terhadap korporasi adalah kekecewaan terhadap sistem yang memang kita ketahui beringas, sementara kekecewaan terhadap koperasi adalah kekecewaan terhadap sebuah janji yang diingkari.
2. Kedekatan Penderitaan: Abstraksi vs. Realita Konkret
Kerugian akibat korporasi bersifat makro dan abstrak. Angka Rp 600 triliun adalah statistik yang terlalu besar untuk dicerna. Sebaliknya, kerugian akibat koperasi bodong bersifat mikro dan personal: seorang ibu yang menangis karena tabungan seumur hidupnya lenyap. Air mata lebih powerful daripada grafik ekonomi. Dosa yang dekat dan personal selalu terasa lebih kejam.
3. Agnotologi dan Agnogenesis: Rekayasa Ketidaktahuan Terstruktur
Di sinilah kita memasuki wilayah agnotologi—studi tentang produksi ketidaktahuan yang disengaja—dan agnogenesis—proses terciptanya ketidaktahuan tersebut. Citra buruk koperasi bukan hanya hasil dari pemberitaan yang bias, melainkan buah dari sebuah rekayasa kesadaran yang sistematis.
Bagaimana mekanismenya?
· Penyamarataan dan Generalisasi Strategis: Setiap kasus koperasi bodong, sekecil apa pun, diproduksi menjadi bukti bahwa seluruh model koperasi pada dasarnya cacat. Narasi yang dibangun adalah: "Koperasi A bodong, Koperasi B bodong, oleh karena itu, semua koperasi tidak bisa dipercaya." Proses generalisasi inilah yang menjadi inti agnogenesis—publik "diajarkan" untuk tidak bisa membedakan antara koperasi yang dikelola dengan baik dan koperasi bodong, sehingga mereka memilih untuk menolak keseluruhan konsep tersebut.
· Penciptaan Kebingungan Semu (Manufactured Doubt): Sementara kegagalan korporasi dikemas dalam bahasa teknis yang rumit ("gejolak pasar," "krisis likuiditas"), kegagalan koperasi disajikan dalam istilah moral yang sederhana: "penipuan," "bodong," "penggelapan." Perbedaan bahasa ini menciptakan agnotology kultural: publik dibuat "tidak tahu" bahwa keserakahan korporasi adalah sumber krisis yang sesungguhnya, karena perhatian mereka dialihkan kepada "ketidakjujuran" di tingkat akar rumput.
· Penghapusan Memori Kolektif atas Kesuksesan: Narasi publik hampir tidak pernah menyoroti kesuksesan koperasi seperti CHS di Amerika Serikat, Zen-Noh di Jepang atau Nonghyup di Korea. Tidak pernah diberitakan dalam suatu headline atau berita utama bahwa pendapatan dari ketiga koperasi tersebut jauh melebihi pendapatan bank BUMN dan swasta besar di Indonesia. Agnogenesis bekerja dengan menghapus memori kolektif tentang alternatif yang berhasil ini. Tujuannya adalah agar publik tidak tahu bahwa sebenarnya ada model koperasi yang kuat dan profesional, sehingga mereka menerima narasi bahwa koperasi Indonesia yang buruk itu adalah bukan sebuah keniscayaan.
4. Kuasa Wacana: Siapa yang Diuntungkan dari Ketidaktahuan Ini?
Pertanyaan filosofis kita menemukan jawabannya. Ya, kebenaran seringkali adalah persepsi yang ditentukan oleh mereka yang menguasai alat produksi wacana. Korporasi besar memiliki sumber daya untuk membentuk narasi, melakukan reputation laundering, dan mensponsori riset yang menguntungkan mereka.
Ada kepentingan politik-ekonomi yang nyata untuk mengeluarkan koperasi dari gugus pilihan (choice set) masyarakat. Koperasi yang kuat dan mandiri adalah ancaman bagi konsentrasi kekuatan ekonomi. Dengan memproduksi dan memelihara citra buruk koperasi melalui strategi agnotologis, maka pilihan rasional masyarakat akan secara otomatis tersaring hanya kepada korporasi besar dan bank komersial. Ketidaktahuan publik yang terstruktur ini menguntungkan status quo.
5. Bayangan Cermin yang Retak: Kontras yang Sengaja Dihilangkan
Ironisnya, citra buruk koperasi Indonesia semakin kontras dengan kesuksesannya di Skandinavia, Jepang, dan Korea, bahkan dengan Koperasi Kredit Keling Kumang (KKKK) suku Dayak Iban di Indonesia sendiri. Keberhasilan ini membuktikan bahwa koperasi bukanlah model yang cacat.
Kegagalan koperasi di Indonesia adalah kegagalan sistemik yang terpelihara. Ketidakadaan profesionalisme dan lemahnya pengawasan bukanlah hal yang tidak bisa diatasi, melainkan kondisi yang—secara agnotologis—dibiarkan dan bahkan diproduksi narasi negatifnya, agar alternatif terhadap dominasi korporasi besar tidak pernah benar-benar tumbuh.
Kesimpulan: Pada Akhirnya, Kebenaran adalah Narasi yang Dihegemoni Melalui Produksi Ketidaktahuan
Pada akhirnya, penilaian kita terhadap baik dan buruk memang tidak selalu rasional. Kita adalah makluk yang hidup dalam narasi. Dan melalui lensa agnotologi, kita melihat bahwa citra buruk koperasi adalah buah dari sebuah krisis makna yang sengaja direkayasa.
Kerugian triliunan rupiah akibat korporasi adalah dosa sistemik yang narasi kompleksnya dilindungi oleh tembok istilah teknis dan kekuatan lobi. Sedangkan kerugian miliaran rupiah akibat koperasi bodong adalah dosa personal yang narasi sederhananya mudah diproduksi dan disebarluaskan untuk mengalihkan perhatian.
Oleh karena itu, koperasi tidak hanya menjadi korban dari oknum nakal di internalnya, tetapi lebih tragis lagi, menjadi korban dari strategi agnotologis yang lebih besar. Ia sengaja dibuat gagal, lalu kegagalannya dijadikan bukti bahwa ia memang harus gagal. Untuk memulihkannya, diperlukan lebih dari sekadar restorasi kepercayaan; diperlukan sebuah gerakan epistemik—perebutan cara berpikir dan pengetahuan—untuk membongkar produksi ketidaktahuan yang telah mengasingkan kita dari cita-cita kooperatif yang sesungguhnya. Di sinilah letak strategis mengangkat status koperasi atau perkoperasian sebagai rumpun keilmuan multidisiplin mandiri.
Penulis: Prof. Agus Pakpahan, Ph.D (Rektor Universitas Koperasi Indonesia - Ikopin University).
Editor: Dr. Aam Bastaman (Ketua Senat Universitas Trilogi).