Belajar dari Gayatri Rajapatni dan Tribhuwana Tunggadewi

H Lalu Tjuck Sudarmadi

GEMARI.ID-JAKARTA. Indonesia hari ini menghadapi rangkaian persoalan yang saling bertaut dan terasa nyaris “ketidakberesan yang hampir sempurna”: korupsi yang sistemik, hukum yang tumpul ke atas, politik transaksional yang telanjang, ketimpangan sosial yang melebar, hingga bencana dan cobaan yang datang silih berganti. Dalam situasi seperti ini, bangsa ini sesungguhnya tidak kekurangan pemimpin cerdas atau berpengalaman. Yang terasa kian langka justru ketulusan niat (nawaitu) dalam memimpin.

Sejarah Nusantara memberi cermin yang jernih. Pada abad ke-14, Kerajaan Majapahit bangkit dan meletakkan fondasi kejayaannya bukan semata karena kekuatan militer atau kelihaian politik, melainkan karena kepemimpinan yang berpijak pada etika, legitimasi moral, dan laku spiritual. Dua figur sentral pada fase ini adalah Sri Rajapatni Dyah Gayatri dan putrinya, Sri Tribhuwana Wijayatunggadewi Jayawishnuwardhani. Dyah Gayatri adalah putri Raja Singhasari terakhir, Sri Kertanegara, sekaligus permaisuri pendiri Majapahit, Sri Kertarajasa Jayawardhana (Raden Wijaya). Secara dinasti dan hukum, ia adalah figur paling sah untuk memegang kekuasaan setelah wafatnya Raja Jayanegara pada 1328. Namun, Gayatri menolak takhta karena telah memilih jalan hidup sebagai bhiksuni Buddha.

Keputusan ini bukan tanda kelemahan politik, melainkan puncak keteguhan moral: kekuasaan tidak boleh diambil bila niat batin tidak lagi sepenuhnya berada di sana. Dari posisi spiritual itulah Gayatri menunjuk putrinya, Tribhuwana Tunggadewi, untuk memerintah Majapahit. Artinya, kekuasaan negara berjalan di atas mandat moral dan legitimasi etis, bukan intrik atau transaksi kekuasaan. Inilah fondasi penting yang sering luput dibaca dalam sejarah. Tribhuwana Tunggadewi memerintah Majapahit dari 1328 hingga 1350. Ia bukan ratu simbolik. Di tangannya, Majapahit memasuki fase konsolidasi dan ekspansi awal. Keputusan paling monumental pada masanya adalah mengangkat Gajah Mada sebagai Mahapatih Amangkubhumi, yang kemudian mengucapkan Sumpah Palapa. Negara ditata, pemberontakan ditumpas, dan gagasan besar penyatuan wilayah Nusantara mulai diwujudkan.

Namun yang terpenting, semua itu dijalankan dengan kesadaran bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan tujuan. Gayatri menolak kekuasaan demi menjaga kemurnian niat. Tribhuwana menjalankan kekuasaan dengan keberanian moral dan batas etika. Dari sinilah Hayam Wuruk kelak mewarisi negara yang stabil dan siap mencapai puncak kejayaan.

Bandingkan dengan Indonesia hari ini dengan  masalah mendasarnya bukan hanya pada figur pemimpin, melainkan pada sistem rekrutmen kekuasaan yang sejak awal sarat transaksi dan tipu daya. Ongkos politik yang mahal, kompromi pragmatis, barter jabatan, manipulasi opini, dan pembenaran cara-cara tidak etis telah menjadi kelaziman. Sistem seperti ini hanya melahirkan pemimpin yang benar secara prosedural, tetapi belum tentu betul secara moral, apalagi halal secara etika dan spiritual.

Dalam konteks ini, lahirlah paradoks kepemimpinan: _right but might not be true._ Seorang pemimpin bisa sah menurut hukum dan menang menurut sistem, tetapi kehilangan kebenaran substantif karena cara mencapainya tidak bersih. Ia bisa “betul” menurut kepentingan politik jangka pendek, namun tidak halal menurut rasa keadilan dan nilai kebangsaan. Ketika cara sudah keliru sejak awal, hasilnya pun sulit diharapkan membawa kebaikan yang utuh. Berbeda dengan era Gayatri dan Tribhuwana, ketika kekuasaan tidak diproduksi lewat transaksi, melainkan melalui ketulusan niat, legitimasi moral, dan laku pengendalian diri. Dalam logika politik modern, penolakan Gayatri terhadap takhta mungkin dianggap tidak rasional. Namun dalam logika kepemimpinan etis, itulah bentuk kebijaksanaan tertinggi: mengetahui kapan harus memegang kekuasaan, dan kapan harus melepaskannya.

Apa yang perlu ditiru pemimpin Indonesia masa kini? Pertama, meluruskan niat sejak awal: memimpin adalah amanah, bukan hak. Kedua, membersihkan cara: tujuan yang baik tidak pernah membenarkan cara yang tidak halal. Ketiga, keberanian moral membatasi diri dari kompromi yang merusak nilai. Keempat, menyatukan etika, politik, dan spiritualitas dalam setiap keputusan.

Indonesia tidak kekurangan pemimpin kuat. Yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang tulus niatnya, bersih caranya, dan jernih batinnya—sebagaimana dicontohkan oleh Gayatri Rajapatni dan Tribhuwana Tunggadewi. Tanpa itu, kekuasaan hanya akan melahirkan pemimpin yang “benar di atas kertas”, tetapi gagal menghadirkan keadilan dan kesejahteraan yang sejati bagi rakyatnya.Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan.

Mulyono D PrawiroComment