Menunggui Warung sambil Momong Cucu
Kumpul-kumpul pada Hari Raya Idul Fitri tahun ini agak berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Tahun lalu keluarga kehilangan nenek Astuty, tahun ini kita kehilangan keponakan Tuty Sumargo, sama sama cucu embah Siti Padmirah Pacitan dan anaknya Nana Hari keduanya meninggal dunia dalam waktu hampir bersamaan.
Pada setiap bertemu di hari lbaran, biasanya Tuty yang bercerita tentang perjalannya ke Bangkok membeli bunga untuk dijual di Jakarta, Atau cerita lain tentang usahanya yang gesit seperti neneknya di Pacitan. Tuty meniru gaya neneknya yang gesit itu berjualan apa saja nahkan semasa masih bekerja di Petamina. Bagi Tuty apa saja bisa menjadi barang dagangan yang bisa dijual. Dia meniru gaya neneknya dari Pacitan. Kali ini cerita itu tidak ada lagi.
Rupanya setelah Tuty dan anaknya Nana meningal dunia, suaminya mas Hari yang ganti cerita tentang bagaimana isterinya kena penyakit dengan nilai gula yang tinggi dan meninggal dunia. Mas Hari yang pensiunan Departemen Koperasi itu punya cerita lain yang menarik dan sementara ini masih tersembunyi.
Pada waktu menikah dengan Tuty kedua pengantin itu kurang disetujui bapak ibu Sumargo sehingga lari ke Pacitan ikut berbulan madu bersama nenek Siti Padmirah di Pucangsewu. Pada waktu benek ke Jakarta untuk momong cucunya yang ditinggal bapak ibunya belajar ke Amerika, ikut nenek pindah ke Jakarta dan menempati kamar depan rumah pak Haryono di Cempaka Putih, ikut momong dua anak Mas Fajar dan mbak Rina yang diasuh nenek Siti Padmirah karena ibunya nyusul pak Haryono ke Amerika.
Dua anak lainnya, mBak Ria ikut bude Sumargo di Jatinegra sedangkan mbak Dewi ikut pamannya Pak Suyoto almarhum yang sudah lebih makmur sebagai manager Hotel di Jakarta Utara.
Nenek Siti Padmirah tidak mau menggunakan uang gajih yang ditingal saja untuk belanja bagi kedua cucu yang diasuhnya, tetapi langsung membuat bedeng di depan rumah kecil di Cempaka Putih. Di bedeng itu disediakan kopi dan kebutuhan sehari hari seperti garam, kecap dan kebutuhan sehari hari lainnya seperti Warung mbah Irah di Pacitan. Ternyata warung itu berguna dan laris melayani tetangga untuk keperluan mendadak tanpa harus pergi jauh dari rumahnya di Komplek Sekneg dimana tinggal juga pak Sucipto Wirosarjono amarhum, pak Bustami, Urusan Pegawai dan pegawai Sekneg lainnya.
Dengan adanya Warung itu Nenek Siti Padmirah dengan leluasa mmong kedua cucunya itu sampai bulan September 1972 tatkala Pak Haryono kembali dari Chicago relatif dengan makanan bergizi tinggi yang cukup.
Doa untuk nenek Siti Padmirah yang berjasa sangat besar untuk anak anaknaya dan cucunya. Nama beliau diperingati sebagai nama Pusat Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga di Pucangsewu, Pacitan. Semoga dikenang sepanjang masa dan mendapat berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa.