Mempelajari Tingkah Laku  Anak Muda

Dalam tigapuluh tahun, utamanya dalam duapuluh lima tahun setelah pensiun, kami menerima tamu orang tua dan anak-anak muda  yang datang minta doa restu akan bertunangan atau melangsungkan pernikahan. Mungkin ini disebabkan karena kami makin dianggap orang tua perlu dimintai doa restu. Atau larena program KB berhasil menurunkan tingkat kelahiran dan anak-anak itu sekarang sudah dewasa dan siap bertunangan atau menikah.

Seriap tamu kami itu mula-mula berasal dari suku yang sama. Lama kelamaan tamu-tamu itu calon pengantinnya berasal dari dua suku yang berbeda. Kedua anak muda tersebut berkenalan dan pacaran sambil kuliah. Selesai kuliah mereka memantapkan diri sebagai pasangan yang lebih abadi sebagai suami isteri.

Perkembangan berikutnya lebih menarik, karena anak-anak muda yang diantar salah satu bapak ibu sahabat kami itu mengaku calon suaminya akan bekerja di suatu kota yang berbeda dengan tempat kerja calon isterinya. Keduanya bekerja di kota yang berbeda tempat kerja. Mula-mula kami terkejut tretapi lama kelamaan makin biasa karena kesempatan kerja yang terbuka berbeda untuk calon suami atau calon isterinya.

Kami belum bertanya bahgaimana mengatur keluarganya karena mereka baru akan mengatur keluarga barunya. Setelah beberpa waktu merea sudah menikah, mereka datang lagi meminta restu saat liburan setealh menikmati beberapa bulan setelah menikah. Barulah kami bertanya bagaimana mengatur hari-hari sebagai pengantin baru dan sebagai suami isteri yang saling berjauhan.

Dengan senyum mereka jawab bahwa mereka mengatur seakan seperti pacaran yang mengatur waktu weekend atau liburan bersama pada suatu pilihan lokasi yang disepakati bersama, baru datang bertemu dan bercinta . Wah asyik juga nampaknya ya, seakan pacaran yang disertai cinta tanpa batas karena sudah resmi sebagai suami isteri.

Rupanya keluarga kecil yang Bahagia dan Sejahtera dengan dua orang anak yang mulai terjadi sejak tahun 90-an itu memungkinkan banyak keluarga kota, dan terakhir juga keluarga dari desa, bisa mengirim anak-anak mereka belajar ke luar negeri guna mendapatkan gelar S2 atau sampai gelar S3.

Akibatnya kejadian di tanah air terjadi juga oada anak-anak muda yang kita  kirim ke luar negeri. Mereka saling bergaul aan ada juga yang saling jatuh cinta. Mereka melapor pada orang tuanya bahwa mereka jatuh cinta atau dicintai ”orang bule” teman kuliah atau orang bule yang ketemu di kereta atau di kendaraan umum yang digunakan setiap hari kuliah. Tentu reaksi orang tua dan kerabat bermacam macam.

Para anak yang dikirim belajar mempunyai pekerjaan rumah meyakinkan orang tuanya dan menyelesaikan tugas kuliah yang makin berat karena pikiran “terganggu” dengan cinta. Aapabila “pertempuran” dengan kerabat berhasil, maka anak yang belajar itu ”menikah” dengan pacarnya dalam dua model, pulang ke tanah air atau menetap di luar neferi. Yaitu tidak jarang oerkawinan dilaksanakan di rumah pacarnya di luar negri sehingga orang tuanya “terpaksa” berangkat menyaksikan uapacara tersebut di kediaman menantunya. Suatu kebiasaan baru yang tumbuh ditanah air. Tetapi belum menjadi obyek penelitian para mahasiswa di tanah air. Kalau jadi obyek baru terbatas pada penelitian yang bersifat deskriptif, belum menyentuh pada suatu proses yang memungkinkan orang tua atau pemerintah ikut campur memberi saran yang positip.   

Mudah-mudahan phenomena kehidupan sosial yang baru idibidang kemasyarakatan ini menjadi obyek penelitian dan pengembangan para peneliti atau mahasiswa di Indonesia.

Haryono SuyonoComment