Kembali Merenung untuk Kepentingan Bangsa
Setelah hari Sabtu dan Minggu kediaman kami di Perdatam penuh ceria karena anak cucu dan cicit yang berkumpul ria, hari Minggu siang mereka kembali ke rumah masing-masing. Mereka melakukan persaiapan untuk bekerja dan kembali ke sekolah pada hari Senin.
Suasana kediaman di jalan Perdatam kembali sepi. Kami bertiga, mas Rudi, isterinya dr Rina dan pak Haryono duduk bertiga mengitari meja makan mencoba menikmati sisa makan siang yang nikmat tretapi terasa hambar karena selingan humor hanya terbatas pada tiga orang, mas Rudi yang diam kalau tidak ditanya dan dr. Rina tidak komentar kalau kami tidak memberi laporan karena ada seuatu bagian tubuh bapaknya yang terasa tidak enak. Suasana nampak tenang, kita bertiga menikmati makanan mngunyah suapan yang masuk mulut sesendok demi sesendok dengan tenang dan lumat masuk tenggorokan. Sesungguhnya nikmat tetapi karena sepi dan sunyi terasa berbeda dibanding kenikmatan makan siangnya. Inilah barangkali kehidupan bagi lansia yang belum pernah dialami anak muda yang penuh keceriaan dan aneka imaginasi yang membara.
Hari Senin pagi ini kami sarapan sendiri dengan pikiran dan imaginasi yang melayang merenung demi kepentingan nusa dan bangsa. Kami berpikir bagaimana melanjutkan gagasan membangun sumber daya manusia (SDM) yang sangat dibutuhkan bangsa menyongsong masa depan negara dan bangsa yang gemilang, suatu pikiran yang tidak pernah mau berhenti biarpun telah memasuki masa purna tugas. Semestinya harus pasrah dan Ikhlas menyerahkan pada generasi muda yang melanjutkan perjuangan bangsa yang tidak ada batas akhirnya.
Segera terlintas acara Haryono Show pada Radio Fm 103.4 pada hari Rabu tnggal 11 Oktober bersama mas Dr Rosi Iskandar dari Universitas Trilogi yang akan membahas keberhasilan meraih jumlah mahasiswa terbanyak pada Universitas Trilogi dengan antusias belajar keras dan cerdas meningkatkan kamampuan sebagai persiapan guna berjuang untuk bangsa dan tanah airnya.
Perlu dicatat bahwa Universitas Trilogi yang didirikan denagn dukungan hibah dana dari Yayasan Damandiri yang didirikan Pak Harto dan pak Haryono dkk, semula adalah Sekolah Tinggi yang melahirkan ahli-ahli Perbankan dibawah oleh suatu Bank yang ditutup pada masa lalu karena dianggap tidak memenuhi syarat kelayakan, padahal sesungguhnya sangat layak hidup beroperasi tetapi karena syarat kelayakan itu dinaikkan akhirny bank yang bersangkutan tidak bisa mencapainya.
Uiversitas Trilogi telah menghasilkan lulusan berbagai bidang yang sangat membantu bidang-bidang itu berkembang sesuai dinamika pertumbuhan sosial ekonomi bangsa, sehingga Pembina dan Yayasan yang mengelola perguruan tinggi ini merasa heran kenapa masih ada stigma bahwa Universitas ini terasa asing karena didirikan dengan dana yang ada kaitannya dengan alamarhum Bapak HM Soeharto mantan Presiden kedua negara kita yang banyak jasanya. Atau merasa bahwa dana untuk masuk terasa tinggi padahal dewasa ini diberikan kemudahan yang luas untuk membayar dengan system cicilan yang sangat ringan.
Salah satu kendala adalah bahwa Universitas Negeri berlomba lomba mendapatkan atau membuka peluang yang tinggi menampung jumlah mahasiswa sebayak banyaknya padahal kapasitas dan mutu dosennya tidak jauh lebih hebat dibanding lembaga perguruan tinggi swasta seperti Universitas Trilogi. Mudah-mudahan seperti di Amerika justru Universitas swasta menempati ranking tertinggi dibanding universtas negeri atau universitas yang didukung suatu negara bagian. Kota natikan usaha dan perkembangan lebih lanjut.
Untuk itu perlu diumamkan secara besar-besaran kriteria yang melihat ranking perguruan tinggi secara jujur agar universitas negeri dan swasta bisa bersaing mendidik anak bangsa untuk ikut perjuangan membangun tanah air dan bangsanya. Semoga.