Seri 3: Mengenang Pendidikan di Perguruan Tinggi

Setelah tamat SD di Pacitan kami ditarik Almarhum kakak Soeyadi yang mmiliki Perusahaan Percetakan Stensil di Yogya. Kakak kami Soeyadi suami isteri senang sekali jajan makanan yang enak-enak yang setiap hari lalu Lalang dari kampung ke kampung sehingga selama di SMP masukan gizi makan kami melimpah dan kami bertiga, karena adik-adik kami kemudian menyusul, lebih dari cukup makan. Pendidikan sebelum SMA kami lalui dengan mulus dan pada ujian akhir Haryono yang semula kecil itu sudah tumbuh makin berbobot karena hampir setiap sore makan mie godog yang jualan di dekat Percetakan Stensil atau Toko Buku Sidodadi yang dibuka Mas Soeyadi di Gondolayu. Karena gizi yang baik hasil Ujian akhir SMA baik sekali dan dengan mudah diterima di Fakultas Kedokteran Gajah Mada di Ngasem, Yogyakarta pada tahun 1957.

Mahasiswa yang diterima di Fakultas Kedokteran tergolong sangat banyak. Begitu masuk, mahasiswa baru perlu menjalani bulan perkenalan dengan sesama mahasiswa senior dan para Asisten dan Dosen. Awal masa perkenalan itu, disebut sebagai Perpeloncoan. Semua mahasiwa baru digundul plontos oleh Panitia para senior. Karena baru masuk, kami belum bersatu dan menurut perintah senior berkenalan dan mengumpulkan tanda tangan. Tujuannya baik karena kami dilatih mental, mengenal mahasiswa senior dan kampus. Tetapi ada saja mahasiswa senior yang mempermainkan mahasiwa baru seperti kucing yang disuruh-suruh semaunya.

Kami menurut saja dan merasa bangga setiap kali melewati Jalan Malioboro yang masih sepi dengan sama-sama pagi-pagi dari arah Tugu ke Kampus di Ngasem yang cukup jauh. Kami berpakaian tidak ganti-ganti dan memakai tanda nama yang digantung di dada serta tutup kepala seperti siswa Taman Anak-anak jaman sekarang. Lama kelamaan bersepeda bersama dengan barisan baju yang makin kumel dan berpici itu menjadi kebanggaan karena merupakan identitas bahwa kami adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran di Ngasem.

Perploncoan di Fakultas Kedokteran tergolong paling serem dibanding Fakultas Lainnya. Sambil diplonco dan melaksanakan tugas-tugas dari senior, kuliah terus berlanjut di ruangan besar yang penuh sesak. Dosen yang berganti-ganti datang dan bercerita atau menuliskan rumus-rumusnya diatas papan tulis yang panjang. Sebagian kaget  karena dosen tidak lagi menyapa mahasiswa seperti waktu kami belajar di SMA. Mereka menyerahkan segala sesuatunya kepada mahasiswa mau “mencatat” atau “melongo” seperti “mendengar” tetapi seakan “tidak mendengar.”

Rentetan kuliah berlangsung hampir sama methodanya, tetapi “gaya mengajar” masing-masing dosen berbeda-beda. Karena itu pandangan mahasiswa terhadap dosennya juga berbeda beda. Umumnya ada asisten Dosen yang masih mahasiswa bisa diajak bicara untuk mendapatkan penjelasan. Kalau ini terjadi hampir pasti kita bisa lulus menyelesaikan semua mata kuliah dan naik ke tahun kedua dengan mulus.

Karena sebagian besar Dosen, biarpun mengajar tidak peduli mahasiswa yang ratusam jumlahnya itu, memiliki mata kuliah yang menarik, bagi kami ada pengecualian, yaitu Dosen Kimia Organik, yang sejak awal kami tidak suka karena beliau selalu menghadap papan tulis menuliskan rumus-rumus  kimia yang beliau hafal di luar kepala. Banyak teman-teman yang suka kepada beliau tetapi kami tidak.

Hampir semua mata kuliah ada praktikum di laboratorium yang menarik seakan mahasiswa kedokteran akan menyeset daun, membedah kelinci, atau praktek ilmu kimia dengan mencampur zat-zat tertentu yang berubah warna karena ada reaksi kimianya, Sungguh kami menggemari praktek lapangan di laboratorium yang menarik tersebut.

Untuk Ilmu Kimia Organik tidak ada praktek laboratorium kecuali harus hafal rumus-rumus yang isinya huruf CHOC dan seterusnya, tidak ada “nuansa hdup” sehingga bagi kami tidak menarik, biarpun sewaktu di SMA  kami mencatatkan nilai Rapor yang baik.

Kami dihibur catatan soal-soal yang dikumpulkan mahasiswa yang ujian untuk menebak apa yang kiranya bakal ditanyakan. Berbasis catatan yang tidak lengkap serta catatan kumpulan sosl-soal ujian itu kami menempuh ujian untuk tahun pertama. Ujian ada yang berasal dari Asisten Pembantu Laboratorium atau dari Dosen. Karena mahasiwanya banyak, “setiap mahasiswa hanya kebagian beberapa pertanyaan saja”. Pertanyaan bisa ditebak karena sudah ada pertnyaan-pertanyaan dalam foto copy yang disebar luaskan secara terbuka sebelumnya.

Alhamdulillah kami sempat lulus semua mata kuliah kecuali Kimia Organik yang harus Kembali tiga bulan lagi untuk ujian ulang. Kami masih polos bahwa bagian yang ditanyakan Dosen tersebut kami sampaikan belum hafal, Dosen malah mengejar  terus pada bagian yang selanjutnya.

Tiga bulan berikutnya kami lebih siap tetapi pertayaan yang diberikan lebih rumit dan lebih banyak. Beliau memutuskan kami harus kembali mengambil ujian dari beliau enam bulan lagi.

Rasa kurang senang pada Dosen tersebut bertamah tinggi dan sebagai kompensasi, bersama  mahasiswa Fakultas Hukum Almarhum Hasan Aman, pernah menjadi Gubernur Kalsel, Mahasiswa Fakultas Kedokteran almarhum Habi Mudakir, Sekjen Kementerian Tenaga Kerja, almarhum Sujito, dan lainnya, aktif dalam Gerakan Pemuda Gowongan dalam bidang sosial, termasuk melatih anak-anak muda menari dengan iringan gamelan yang dipukul oleh anak muda sendiri.

Kegiatan kemasyarakatan ini menarik dan kami mulai menyukai dibanding kegiatan menghafal “rumus kimia yang ruwet”. Pada saat bersamaan ada kecelakaan bahwa “pacar kami” lulus dari SGKP di Yogyakarta dan menurut orang tuanya kami diundang berkunjung kerumahnya. Pada waktu berkunjung ditanya apa sudah siap menikah. Kami jawab belum karena lulus tahun pertama saja belum. Orang tuanya sudah menerima lamaran seorang pemuda santri yang siap menikah. Setelah Kembali lagi di Yogyakarta kami mengadakan pertemuan dengan “makan sate” sebagai tanda perpisahan, yang nampaknya berjalan lancar. Tetapi tatkala dia kembali kepada orang tuanya, kami jatuh sakit sampai dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih di Yogyakara. Lucu kok kaya sinetron saja!

Setelah keluar dari RS kami malas membuka buku catatan kuliah dan “malas karena putus cinta” itu ketahuan kakak kami di Jakarta Almarhumah mBak Sugiatin dan suaminya mas Sumargo, keduanya pegawai Negeri yang bekerja pada KementeriNan Dalam Negeri dan Akademi Ilmu Pelayaran di Jakarta.

Kedua kakak itu datang ke Yogya, bicara panjang lebar dengan kami yang merosot semangat belajarnya dan langsung mnta ijin kepada kakak kami Mas Soeyadi membawa kami ke Jakarta, melanjutkan Pendidikan tinggi sekaligus mendapat suasana yang lebih segar.

Rupanya di Jakarta tidak bisa masuk Fakultas Kedokteran dan akhirnya kami dimasukkan Akademi Ilmu Statistik yang ternyata menarik dan membuat suasana bagi mantan mahasiswa Gajah Mada itu begitu masuk kuliah lnagsung dianggap senior oleh rekan-rekan lain yang baru lulus SMA bagian Ilmu Pasti. Karena ada pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Senat Mahasiswa, popularitas kami sudah menonjol dan hamper terpilih sebagai ketua. Alhirnya kami menjadi Wakil Ketua Senat dan pada tahu berikutnya secara aklamasi terilih sebagai Ketua Senat Mahasiswa.

Ikuti cerita uniek dan menarik berikutnya selama mengikuti Akademi Ilmu Statistik di Jakarta selama tiga tahun penuh.

Haryono SuyonoComment