Menjaring Mahasiswa dari Daerah Tertinggal

Dewasa ini sangat diperlukan menambah tenaga terdidik atau  sarjana untuk daerah tertinggal agar segera dapat dicapai usaha peningkatan pembangunan yang merata. Selalu dibuktikan bahwa di daerah-daerah yang jauh dari jangkauan pendidikan tinggi, masih banyak anak-anak bangsa yang sesungguhnya memiliki otak cerdas tetapi tidak bisa melanjutkan kependidikan tinggi karena biaya yang mereka harus tanggung tinggi. Terasa tinggi karena biaya kuliah harus ditambah biaya indekos yang menyebabkan biaya yang membengkak tinggi.

Padahal mereka memiliki otak yang sama cerdasnya dengan anakj-anak kota atau desa yang memiliki kedekatan dengan fasilitas pendidikan tinggi, sehingga hanya dengan jalan kaki, sampai pada fasilitas perguruan tinggi guna memperoleh pendidikan dan gelar akademis.

Pada masa lalu terdapat program “delapan jalur pemerataan” yang memberi perhatian pada phenomena semacam ini sehingga anak-anak atau remaja dari daerah tertinggal bisa memperoleh kesempatan belajar yang sama, misalnya dengan menyediakan beasiswa dalam bentuk asrama secara cuma-Cuma. Atau dengan menyediakan kesempatan kerja bagi mahasiswa yang berasal dari daerah-daerah terpencil tersebut.

Dewasa ini, dengan berbagal pengalaman masa lalu dan kebijakan “kuliah Merdeka” kita bisa menolong para pemuda tamatan Sekolah Menengah Atas di daerah melalui pemberian penghargaan Akademis kepada praktek lapangan yang dikerjakannya di daerah terpencil tersebut. Misalnya seorang anak muda setelah tamat SMA memberi atau mebina PAUD untuk anak-anak balita di kampungnya dalam wujud program anak balita yang dikelola oleh PKK di desanya. Kalau anak lulusan SMA bisa mengelola program itu dengan baik selama lima tahun berturut-turut bisa diterima pada Perguruah tinggi dan pengalamannya dihargai sebagai mata kuliah yang diambil untuk beberapa semester, sehingga masa kuliah menjadi lebih pendek karena tinggal mengisi dengan mata kuliah yang belum dikuasainya. Seorang anak lulusan SMK yang kemudian di desanya bekerja dalam bengkel yang sangat berhasil bisa masuk Fakultas Tehnik dan bisa dikurangi beberapa semester karena sudah sangat mahir dalam berbagai bidang tehnis yang juga diajarkan pada Fakutasnya.Begitu seterusnya sehingga masa belajar bisa diperpendek karena pengalaman “kuliah merdeka” yang diambil di lapangan.

Bisa juga “Kulih Kerja Nyata” dilakukan dengan mahasiswa secara bergiliran dikirim ke desa membangun Perguruan Tinggi dengan satu atau dua  dosen dan beberapa mahasiswa sebagai asisten sehingga jumlah dosen ke desa tidak terrlalu membebani Perguruan Tingginya tetapi ilmu dan teori untuk pemuda desa bisa disampaikan oleh dosen dengan bantuan para mahasiswa semester ke tujuh atau kedelapan yang sebentar lagi akan menjadi sarjana. Dengan demikian Universitas makin merata menjangkau daerah terpencil di desa atau di puncak gunung yang jauh dari keramaian.

Atau di balik, anak-anak muda dineri kuliah teori kemudian dilepas untuk praktek terarah di desanya. Selama di desa tetap berhubungan dengan kampus mendapatkan kuliah on line sehingga hubungannya dengan kampus tidak terputus. Pada saat akhir kembali ke kampus untuk ujian atau mendapat petunjuk menulis skripsi untuk gelar Sarjananya. Suatu penghematan yang akan menolong mahasiswa menyelesaikan masa kuliah lebih singkat.

Program semacam ini di berbagai Perguruab Tinggi sudah dijalankan dan diberi nama “RPL” atau Rekognisi Pembelajaran Lampau sehingga masa kuliah regiler berkurang tetapi  mutu Sarjana yang dihasilkan tidak kalah dengan kuliah reguler delapam semester yang kadang miskin pengalaman lapangan yang membuat mahasiswa yang lulus tidak siap kerja.

Kombinasi upaya kuliah merdeka dengan usaha membangun keluarga di desa selalu bisa dikembangkan dan dibangun pada setiap program study sehingga usaha pemerataan guna menqambah sarjana yang terjun ke desa terpencil atau desa yang belum maju karena kekurangan tenaga sarjaba bisa dipenuhi dalam waktu tang relatif lebih singkat. Upaya pemerataan tenaga ahli dan rerampil segera membangun desa dan semua anggota masyarakatnya. Semoga.

Haryono SuyonoComment