Tari Gaya Chuka Idako

Pagi-pagi pada waktu sarapan kami dihibur kiriman video dari anak kami Ria Indrastuty tentang cucunya lengkap siap sekolah dengan ransel di punggungnya menari gaya Chuka Idako, suatu gaya dimana penarinya bergerak cepat, berputar dan seakan lepas landas. Kelihatannya seperti gaya Jepang, Korea atau Cina yang akhir-akhir ini seakan menebarkan tuntunan budaya baru sebagai petunjuk pengembangan  “budaya dunia universal” menggantikan “percontohan Amerika” yang pudar karena produksi film yang sangat menyusut. Budaya baru itu menebar luas melalui Vidio Sinetron atau video film tentang peninggalan masa kuno, suatu penetrasi budaya yang digarap oleh Sutradara, pemain, dukungan tehnik lengkap dan sempurna yang terkesan digarap dengan sempurna seakan didukung biaya tinggi yang sukar ditiru. Pada tingkat awal kelihatan gaya itu seperti gaya “aneh” tetapi karena secara konsisten dianut oleh “kaum elite” bangsa besar tersebut dari satu generasi ke generasi berikutnya, makin lama gaya aitu dianggap sebagai budaya sopan santun dengan nilai tinggi yang pantas ditiru. Apalagi kalau dalam bentuk tarian, biasanya mudah ditiru dan menarik banyak masa penggemarnya atau minimal memberi kesan “sangat menarik”,

Seperti gaya Chuka Idaho yang dibawakan oleh Kalyana, cicit kami, cucu Ria, yang sempurna, artinya biarpun badan berputar 180 derajat oleh anak kelas satu SD yang baru saja lepas PAUD bisa dibawakannya dengan sempurna. Syarat-syarat pengenalan inovasi mulai dari yang sangat sederhana dimana penerima dengan bangga bisa berkata “aku bisa” sangat dipenuhi karena terbukti anak PAUDpun bisa melakukannya. Apalagi “anak gede” dengan gaya yang lebih romantis pasti bisa menyebar luaskan berbagai norma budaya baru itu dengan cepat.

Menyebar luasnya budaya baru itu menjadi tantangan bagi budayawan kita bagaimana wayang, serimpi, serampang duabelas, reyok atau lainnya bisa tetap menjadi ciri nasional yang digemari sekaligus ditiru oleh khalayak yang luas mengimbangi atau minimal sejajar dengan arus deras munculnya budaya timur yang berasal dari Jepang, Korea dan Cina tersebut. 

Budaya baru itu menyebar sangat cepat berkat dukungan era digital yang dimanfaatkan dengan produksi bermutu tidak ada hentinya. Di tanah air perlu adanya revolusi yang sama dalam produksi karya seni yang nenyesuaikan diri dengan era 4.0 atau bahkan era 5.0 yang melanda dunia dengan kecepatan sangat tinggi. Semestinya kalau kita mau kita pasti bisa.

Haryono SuyonoComment