Nostalgia dalam Wisata Budaya di Yogyakarta

Kami Haryono Suyono Bersama adik-adik almarhum Suyoto dan Slamet Sugianto serta dari ibu lainnya, Sutarto, Subagio, Suprapto, Suroyo, Endang dan Sudibyo. setalah tamat SD dan Sebagian SMA  di Pacitan, melanjutkan Pendidikan SMP dan SMA atau Perguruan Tinggi di Yogya. Kakak kami tertua dari Ibu yang melahirkan tetapi terus meninggal, menjadi tumpuan tempat kami tinggal dan mengasuh kami di Yogya. Awalnya kami yang memulai di tahun 1951 masuk SMP IV di Yogyakarta tanpa kesulitan karena di tingkat SD memiliki nilai ujian akhir yang meyakinkan.

Pagi-pagi hari Senin lalu ditempat kami menginap di rumah adik  Sutarto Alimuso, setelah kami sarapan nasi gudeg yang rasanya lain disbanding Gudeg Yu Jum, dan setelah ngobrol kiri kanan tanpa arahan topik, kita langsung dari kilometer 9 mobil jalan lanjut kearah barat menuju Warung Soto yang terrkenal Kadipiro. Kami mampir di Jl Bumijo tempat Percetakan Suyadi dimana kami pernah pimpin dan berhssil. Rupsnya udah dibongkar rata dg tanah. Kita terus ke Kadipiro.

Perjalanan pagi ke Kadipiro padat, rupanya hari kerja pertama dalam minggu yang santai. Sampai di Kadipiro kami terrkejut, rupanya tempat makan soto sudah tambah luas. Pengunjung tetap aneka bangsa. Ada Bule dengan celana pendek kulit putih dan ada juga yang kulitnya tidak putih tetapi celananya juga pendek. Ada yang tinggi dengan badan atletis ada juga yang pendek “wong Jowo” yang lahir dengan nilai gizi pas pasan’, tetapi tingkah lakunya hampir sama.

Satu mangkok soto dan sesudah itu pergi setelah membayar harga sotonya, Mungkin harus begitu, karena tidak disediakan kursi empuk kecuali bangku kayu panjang mulus dan mengkilap. Setiap kita pergi langsung ada yang mengganti. Barangkali kalau lama juga tidak betah karena kursinya dari papan Panjang yang keras.

Setelah selesai makan, semua anggota rombongan Kembali ke mobil dengan wajah puas karena bisa kembali makan soto dengan lebih bebas disbanding puluhan tahun lalu yang “terpaksa” beli soto atau saling traktir biarpun dana yang dimiliki sebagai mahasiswa masih sangat terbatas.

Perjalanan muhibah budaya dan kuliner berlanjut kearah selatan menuju istana raja dan terus ke Ngasem melihat bekas-bekas Fakultas Kedokyeran dimana pada tahun 1957 pernah masuk Fakultas ini dan untuk pertama kali digunduli sebagai perkenalan kepada para seniornya. Sayang tidak terus sampai menjadi dokter karena system kuliahnya bukan ‘kuliah merdeka’ tetapi ‘bebas maunya sendiri’.

Setelah puas melihat Kembali Ngasem yang rupanya berubah menjadi kampus Universitas swasta, kita masih melihat sekitarnya yang padat sehingga pasar burung yang dulu selalu ramai nyaris tidak nampak lagi. Sesudah itu rombongan yang tidak terikat protokol itu melanjutkan perjalanan keliling benteng istana yang makin tertata rapi seakan di dalam benteng itu benar-benar ada istana yang angker berwibawa seperti jaman nenek moyang dulu. Habis keliling kopleks istana kita meluncur kearah Kota Baru menuju stadion Kridosono. Di sekeliling stadion ini kita kenal ada tempat pemandian dan segala macam warung kalihatan tidak banyak berubah.

Secara khusus sopir kita arahkan ke pintu gerbang yang terrtutup. Dimuka pintu gerbang sopir kita minta berhenti karena kami menikmati rasa haru dan menangis ingat sewaku bersama teman-teman dan Bapak Supayitno, Kepala Sekolah, guru Matematika ilmu ukur ruang, yang memberi nilai rapor dengan angka 9 karena setiap ulangan nyaris tidak ada kesalahan. Beliau pernah berketa sesungguhnya nilainya 10 tetapi pada masa itu nilai tertinggi 9. Angka ini meyakinkan penasehat Akademis kami di Chicago yang menganggap kami memiliki bakat matematik yang tinggi, sehingga di lewatkan jalur yang tidak banyak bercerita dengan tulisan yang berbahasa Inggris. Disitu pula kami mengingat guru olah raga yang getol membina Regu Basket, Bapak Suparno,  yang selalu mempersiapkan regu SMAB UV berhadapan dengan Regu SMA IIIB yang masuk pagi. Karena saya berbadan kecil, tidak diperhitungkan dalam Regu Basket. Mendadak beliau terkejut karena ternyata dsya tetap ingin dan tidak mau kalah dengan rekan lain. Saya menjadi ‘sangat berani’ lompat macan yang perlu keringankan tubuh’. Selama tiga tahun di SMA saya jadi jagoan karena tetap ingin diperhitungkan oleh rekan lainnya. Keinginan itu tetap berkobar yaitu ingin diperhitungkan diantara sesame sehingga selama tiga tahun di SMA IVB yang ,megah itu saya tetap memimpin majalah Gelora yang merupakan media sekolah yang sangat disegani. Majalah Gelora ini menyelenggarakan lomba tulis artikel dan yang menang artikelnya diulas oleh Pimpinan Redaksinya. Karena ulasan yang tajam, nilai rapor untuk Bahasa Indonesia tidak pernah kurang dari angka 8 delapan. Kenangan indah karena selama SMA sempat pacarabn dengan anak sari SGKP yang akhirnya putus gara-gara pacar dinikahkan orang tuanya kepada pilihan keluarganya.

Dari Gedung SMA kita keliling Kota Baru sebelum kembali beristirahat di rumah om Tarto di kilometer 9/ Sore harinya menikmati Sate Gajah yang sangat terkenal dan terrletak tidak jauh dari kediaman om Sutarto Alimuso. Sate ini pantas menjadi salah satu agenda wisata kuliner karena dagingnya empuk, ukurannya besar dan kombinasinya istimewa. Makan sate Gajah sebagai penutup wisata Budaya karena paginya kembali ke Jakatta untuk disambung dengan acara lainya. Mas Bibit dan Teguh staf kami diam-diam ikut menikmati wisata keluarga yang sangat variatif. Ya Tuhan terima kasih atas segala karunia yang telah Engkau limpahkan. Aamiin YRA.

Haryono SuyonoComment