Suami Divonis Stroke Eh.. Enggaktaunya Syaraf Kejepit
Aktivitas zoom meeting yang berlangsung pada tanggal 13 Januari 2022 menghadirkan nara sumber seorang care givers, namanya Ibu Mina Purnawan , beliau tinggal di Penang Malaysia, Ibu Mina seorang perawat stroke untuk suaminya yang merupakan pasien stroke, suaminya yang bernama Pak Andi yang bekerja di Departemen Luar Negeri kena stroke tanggal 21 April 2013, ini stroke pertama dan tahun 2018 kena stroke ke dua. Sekarang suami saya bukan saja kena stroke tetapi sudah komplikasi ke penyakit lain yaitu gagal ginjal sehingga seminggu dua kali harus cuci darah, ujar ibu Mina.
Saya berterima kasih kepada Pak Jati yang telah menggabungkan saya ke dalam grup strokers ini, awalnya suaminya saya mengeluh pada tiga jari kaki kanan merasa kesemutan, lalu tiba-tiba tiga jari kanan kesemutan juga kemudian suami saya bawa ke Instalasi Gawat Darurat rumah sakit dengan kondisi tekanan darah waktu itu 239/110, kata bu Mina.
Ujian dari Tuhan yang begitu berat dihadapi ibu Mina dengan sabar, bahkan sebelum suaminya sakit, anaknya terlebih dahulu juga sakit, sakitnya tergolong berat divonis menderita gagal ginjal, begini kisahnya waktu kecil usia o tahun anak sering demam terus menerus sampai usia 3 tahun, disaat panas mencapai puncaknya, yaitu 41,7 derajat celcius, saya minta dokter periksa dari ujung rambut sampai ujung kaki dari dalam dan dari luar, diagnosa ini berjalan sampai 6 bulan, dan hasilnya anak saya kena infeksi kandung kemih dengan stadium 4 karena fungsi ginjalnya Cuma 28, 6% ini disebabkan ada 1 saluran kandung kemih yang tidak sempurna tumbuhnya dan ini kata dokter terjadi sewaktu masih di dalam kandungan, akhirnya dokter menyarankan untuk dioperasi dan puji syukur pada Tuhan sekarang anak kondisinya baik, tetapi masalah baru muncul, baru ketahuan saat usia 6 tahun anak saya cenderung menjadi anak berkebutuhan khusus, akibat waktu kecil sering panas demam menjadikan tulang belakang anak saya tidak berpelumas dan mengalami gagal ginjal kronis, ujar bu Mina menjelaskan dengan penuh haru.
Kembali kepada kisah suami saya, waktu suami saya mengalami gejala kesemutan dijari dan kaki saya bawa ke dokter, dokter bilang suami ibu kena stroke, lalu suami dirawat 1 bulan dan semenjak dirawat harus minum obat begitu juga waku sudah pulang kerumah juga mesti minum obat, sekali minum obat jumlahnya sampai 14 macam obat, minum obat tidak boleh telat, saking takut telat minum obat saya sampai pasang alarem untuk mengingatkan, waktu keluar dari rumah sakit suami saya tidak bisa jalan, dokter memvonis suami saya kena stroke non hemoragik dan katanya ada kebocoran di jantung, mendengar itu saya mau nangis tapi tidak bisa. Saya nunggu suami dirumah sakit selama 1 bulan tidak pulang ke rumah, udah engga mikir rumah, itu rumah udah kaya kapal pecah berantakan engga ke urus, punya anak laki-laki semua, kata bu Mina. Belum lagi mendengar istilah-istilah kedokteran yang diucapkan dokter membuat suami saya menjadi takut. Saran dokter supaya suami saya dioperasi, saya udah engga pikirin biaya abis berapa yang penting saya bisa bawa suami terapi, kalo uang engga ada untuk berobat kebetulan saya punya keahlian merajut ya saya mencari kerjaan dari orang yang uangnya buat berobat suami, selama merawat suami sudah engga mikirin besok anak mau makan apa, tetapi puji syukur ya rezeki ada aja, namun saya juga sudah pasrah dengan kondisi begini jika engkau Tuhan mau mengambil suami maka ambilah.
Selama menjalani terapi tidak ada perubahan, terapi 1- 4 kali tidak ada perubahan, kemudian 3 orang terapisnya bilangin jika suaminya bukan kena stroke tetapi kena saraf kejepit, tapi kata dokter suami saya kena stroke, sudah 2 tahun nih dok suami saya jalannya kok semakin susah, waktu mau berobat lagi, terjadi wabah pandemi covid dan dokternya kena covid akhir tidak praktek 2 bulan, saking bingungnya akhirnya suami saya, saya minta bersandar saja di tembok untuk neglurusin kakinya yang kaku, saya setrap, abis saya bingung. Kata bu Mina dengan nada sedih mengatakannya. Setelah sembuh dari covid dokternya praktek lagi dan meminta maaf atas salah diagnosisnya, dan dokternya tetap memberikan resep obat.
Selama saya berobat berpindah pindah mencari dokter yang enak diajak bicara, karena kalau dokter yang kurang enak diajak bicara membuat suami kurang nyaman, maka itu saya cari dokter yang bisa mendengarkan keluhan pasien dan itu menjadi obat, dokter yang enak diajak ngobrol dokter bisa menjadi perantara antara pasien dan keluarga yang dapat memberi intruksi yang benar.
Saya pernah berobat ke suatu dokter yang menunggunya berjam – jam eh ketika datang saya baru masuk berobat dan periksa tetapi lima menit kemudian sudah suruh keluar, saya pikir ini sama aja saya Cuma absen. Saking keseringan minum obat suami saya sampai bosen minum obat, akhirnya suami tidak mau minum obat, terus saya katakan pada suami, kamu itu mau M (mati) apa Mau H (hidup), kalau mau M ya udah engga usah minum obat tapi kalau mau H ya haus minum obat. Suami saya usianya 58 tahun. Selama mengurus suami menjadikan saya menjadi kurang pergaulan, saya tidak pernah kemana mana tdak pernah berkumpul lagi dengan teman, saya pakai kacamat kuda aja, lurus aja saya konsentrasikan untuk urus suami. Puji syukur saat ini lama kelamaan oleh dokter obatnya dikurangi dan sekarang sudah tidak minum obat lagi, dokter telah menghentikan obat hipertensinya, tekanan darah sudah 140/90.
Saat ini suami terapi saraf kejepit, tetapi bulan mei 2019, suami saya kena gagal ginjal dan harus cuci darah seminggu 2 kali, saat ini kondisi jantungya bagus. Strokenya juga sudah membaik, Ujar ibu Mina mengakhiri ceritanya. Penulis : Budi Kusumanto