Bambang Soesatyo : Diperlukan Generasi Pancasilais Untuk Menjadi Pemimpin Bangsa
Gemari.id-JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengapresiasi berbagai prestasi yang dicapai Universitas Trilogi. Antara lain meraih peringkat ke-30 dari 309 perguruan tinggi swasta terbaik se-DKI Jakarta. Berdasarkan kinerja riset, Universitas Trilogi juga berhasil meningkatkan status menjadi klaster 'utama'. Serta mendapatkan penghargaan dari Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LL DIKTI) wilayah III sebagai perguruan tinggi terbaik ke-2 di Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan persentase jumlah dosen yang memiliki jabatan fungsional akademik dan sertifikasi dosen terbanyak.
"Dengan berbagai raihan prestasi tersebut, saya yakin Universitas Trilogi mampu mewujudkan visi kampus menjadi universitas yang inovatif dengan mengembangkan technopreneur, kolaborasi dan kemandirian dalam sistem ekonomi berdasar nilai-nilai Pancasila. Technopreneurship, kolaborasi, dan kemandirian adalah tiga pilar fundamental mewujudkan kampus yang berkualitas, maju, dan berdaya saing," ujar Bamsoet dalam kuliah umum dalam rangka penerimaan mahasiswa baru Tahun Akademik 2021-2022 Universitas Trilogi, secara virtual di Jakarta, Senin (6/9/21).
Turut hadir antara lain Ketua Yayasan Pengembangan Pendidikan Indonesia Jakarta (YPPIJ) Aris Setyanto Nugroho, Sekretaris YPPIJ Indra Kartasasmita, Bendahara YPPIJ Wisnu Suhardono, Rektor Universitas Trilogi Mudrajad Kuncoro, Wakil Rektor Universitas Trilogi Kabul Wahyu Utomo.
Ketua DPR RI ke-20 ini juga mengapresiasi langkah Universitas Trilogi yang mengangkat tema Pancasila dan Kebhinekaan dalam penerimaan mahasiswa baru, sebagai wujud kepedulian kampus untuk membangun wawasan kebangsaan di lingkungan pendidikan tinggi. Membangun generasi Pancasilais dan menggugah kesadaran kebhinekaan merupakan dua kata kunci, dan menjadi isu yang sangat esensial bagi generasi muda bangsa, khususnya para mahasiswa, karena dipundak mereka masa depan bangsa dipertaruhkan.
"Membangun generasi Pancasilais bukanlah pekerjaan instan. Seiring perjalanan kehidupan kebangsaan kita, Pancasila telah diuji dan ditempa oleh paradigma dinamika peradaban. Cara kita dalam merawat dan mempertahankan nilai-nilai luhur Pancasila agar menjadi jati diri dan jiwa bangsa, tentunya menuntut penyesuaian cara pandang dan pendekatan, sehingga mampu berkontestasi dengan nilai-nilai dan faham-faham kontemporer yang hadir melalui gelombang modernitas zaman dan arus globalisasi," jelas Bamsoet.
Ketua Umum Ikatan Motor Indonesia (IMI) sekaligus Pengurus Besar Keluarga Olahraga Tarung Derajat (PB KODRAT) ini menerangkan, derasnya arus globalisasi telah menepiskan batas-batas teritorial. Membawa nilai-nilai asing tanpa filtrasi, perlahan namun pasti, mulai menggeser nilai-nilai kearifan lokal, bahkan cenderung mengabaikan nilai-nilai luhur Pancasila.
"Lembaga Survei Indonesia (LSI) mencatat dalam kurun waktu 13 tahun, masyarakat yang pro terhadap Pancasila telah mengalami penurunan sekitar 10 persen, dari 85,2 persen pada tahun 2005 menjadi 75,3 persen pada tahun 2018. Center for Strategic and International Studi (CSIS) juga mencatat sekitar 10 persen generasi milenial setuju mengganti Pancasila dengan ideologi yang lain. Survey Komunitas Pancasila Muda yang dilakukan pada akhir Mei 2020 mencatat hanya 61 persen responden yang merasa yakin dan setuju bahwa nilai-nilai Pancasila sangat penting dan relevan dengan kehidupan mereka. Sementara 19,5 persen diantaranya menganggap Pancasila hanya sekedar istilah yang tidak dipahami maknanya," terang Bamsoet.
Kepala Badan Penegakan Hukum, Keamanan, dan Pertahanan KADIN Indonesia ini menambahkan, gambaran di atas mengisyaratkan bahwa membangun generasi Pancasilais membutuhkan upaya yang serius. Membutuhkan keteguhan komitmen dari segenap pemangku kepentingan. Dalam kaitan ini, perguruan tinggi tentunya mempunyai peran strategis sekaligus krusial, dalam membentuk generasi muda bangsa yang tidak hanya kompeten dan terampil secara akademis. Tetapi, juga mempunyai mempunyai karakter kuat, berjiwa Pancasila dan berhati Indonesia.
"Setiap kita juga harus menyadari bahwa bangsa Indonesia terlahir dalam keberagaman, baik dari aspek identitas budaya, agama, suku, golongan, maupun latar belakang dan pandangan politik. Heterogenitas telah menjadi fakta sejarah yang tidak bisa kita pungkiri, namun juga tidak bisa kita abaikan. Karenanya, merawat dan memperjuangkan kebhinekaan dalam keberagaman, adalah sebuah keniscayaan, sekaligus sebuah tantangan," tandas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menekankan, tantangan mengelola kemajemukan bukanlah hal mudah. Di era modern sekalipun, di sebuah negara yang maju seperti Amerika, persoalan rasisme masih menjadi noda dalam kehidupan demokrasi. Hadirnya black lives matter kembali menyeruak pasca aksi kekerasan oknum aparat yang menyebabkan tewasnya George Floyd, pria kulit hitam. Sikap rasis terlanjur menyebar luas, bahkan kepada oknum aparat yang seharusnya menjadi pembela dan pelindung nilai-nilai demokrasi.
"Kejadian tersebut menjadi pembelajaran, bahwa merawat kebhinekaan, khususnya dalam masyarakat dengan tingkat heterogenitas tinggi seperti Indonesia, adalah sebuah proses yang tidak boleh berhenti pada satu titik. Merawat kebhinekaan harus menjadi upaya berkesinambungan, juga harus dibangun oleh komitmen bersama, dan menjadi kerja bersama seluruh elemen bangsa," pungkas Bamsoet. (*)