“Dasar-Dasar Menjadi Orang Tua Hebat di Era Milenial”
Oleh : H. Nofrijal, MA
Penyuluh Keluarga Berencana Ahli Utama/IV-e
Ranking orang tua sebagai “idola” anak pada masa lalu dengan masa sekarang sangat jauh berbeda, pada tahun 60-an dan 1970-an orang tua dan guru agama berada di tingkat pertama dan kedua ketika pertanyaan diajukan kepada anak-anak “siapakah yang paling kamu idolakan dalam hidup kamu”, sekarang kedudukan orang tua, pendidik agama (ustadz, guru ngaji, pastor, pendeta) dan tokoh panutan lainnya sudah berada di ranking 4-5 dan seterusnya. Anak-anak lebih mengidolakan teman sebaya, artis dan olahragawan. Dengan demikian menjadi orang tua di era sekarang berbeda dengan masa lalu. Dahulu orng tua menjadi figur panutan anak dalam keluarga, sekarang posisi orang tua mengalami distorsi. Proses belajar sosial anak seringkali berada di luar figur orang tua.
Media, game, teman sebaya, serta pengasuh merupakan sumber belajar sosial yang melekat dengan anak (Susanto, 2016). Jika sebelumnya, bentakan, cubitan, memukul kaki dengan rotan, hardikan, ancaman dalam mendidik anak sering dipahami sebagai metode yang tepat, namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bahkan hukum dan perundangan-undangan, gaya pengasuhan demikian tidak lagi direkomendasikan, karena menimbulkan efek bagi tumbuh kembang anak. Pergaulan sosial menjadi tantangan baru bagi orang tua dalam menerapkan pola pengasuhan tradisional, proteksionis sosial dan hukum dijadikan tameng kehidupan sosial anak.
Menjadi orang tua bukan satu keniscayaan dan bukan pilihan hidup, tetapi dibarengi dengan suatu kewajiban moril, spiritual dan financial. Orang tua bersama dengan anggota keluarga merupakan paket kehidupan komunal kecil yang tidak bisa terpisah. Salah satu ajaran agama menyebutkan “jauhi dan hindarilah dirimu, keluargamu dari siksaan api neraka”, menunjukan bahwa menjadi orang tua punya tanggung jawab keduniaan dan akhirat. Menjadi orang tua yang hebat (great parents) hari ini dihadapkan dengan kompleksitas tantangan, hambatan dan rintangan, baik dari sudut internal maupun eskternal. Setidaknya terdapat 7 prilaku positif sebagai pondasi menjadi orang tua yang hebat.
1/7. Orang tua yang menjadi imam dalam keluarga. Imam tidak hanya berkaitan dengan praktek ritual keagaman (religious conducting), akan tetapi menjadi leader seutuhnya dalam keluarga, memimpin kehidupan keluarga yang berketuhanan, mengendepankan prilaku baik dan “uswatun hasanah”, motivator keluarga, menjadi orang pertama yang mendengar keluhan anak, sekaligus menjadi orang pertama yang mendiskusikan jalan keluar dari kebuntuan anak. Imam diibaratkan adalah orang yang merepresentasikan ketenangan, persuasif, komunikatif, dapat menampilkan mana yang baik dan buruk, tegas dalam prinsip menjalankan perintah Tuhan dan menghentikan larangannya.
Imam yang selama ini identik dengan orang tua laki-laki-ayah, dapat digantikan dengan peran ibu dan keluarga lainnya, baik oleh karena ke tidak hadiran ayah yang disebabkan oleh wafat, cerai atau bekerja dengan jarak tempuh yang jauh. Kita diberi contoh dengan kisah nyata kehidupan Nabi Muhammad SAW yang dibesarkan oleh ibunya Aminah dan pamannya Abdul Mutalib, banyak orang-orang yang terlahir dengan status yatim, seperti Barack Obama, Presiden Amerika Serikat yang ke 44, bintang film India ternama Shah Rukh Khan yang tumbuh tanpa sosok ayah, pada hal mereka adalah figure yang sukses dan ternama. Mereka dididik oleh ibu atau keluarganya dengan penuh kasih sayang dan terhormat.
Peran ayah sebagai imam dimulai dalam program pengasuhan anak di bawah lima tahun dalam memperkenalkan nilai-nilai keimanan dan akhlak yang baik, menjaga prilaku baik selama priode usia anak, puncaknya akan memimpin anak di usia remaja, sehingga anak tidak memiliki ketergantungan kepada orang lain dalam mengatasi persoalannya.
2/7. Orang tua yang mengembangan kelekatan. Ragam macam kriminal, kekerasan dan ancaman melibatkan anak sebagai pelaku perlu mendapat telahaan. Sebuah riset berjudul “A Focused on Child Abuse in Sex Selected Provinces in Indonesia”, ditemukan perlakuan yang salah pada anak (maltread), ternyata sebagian besar dsebabkan oleh pola asuh dalam keluarga. Kualitas kelekatan anak dengan orang tua merupakan sumber kemarahan emosional bagi anak. Selama ini orang menyamakan kelekatan dengan ketergantungan (dependency), pada hal ada dua yang mengandung makna yang berbeda. Ketergantungan anak pada figur tertentu karena merasa tidak aman. Anak kehilangan otonomi ketika tidak mendapatkan rasa aman (protection). Hal ini yang akan menimbulkan ketergantungan pada figur tertentu, sedangkan kelekatan adalah kepercayaan yang tumbuh yang dapat memberikan ketenangan. Menurut Vera Itabiliana Hadiwidjoyo (Psikolog Anak, 2019) menjelaskan kerekatan/kelekatan (bonding) adalah hubungan emosional antara orang tua dan anak di mana satu sama lain membutuhan kontak yang konsisten dan merasa cemas atau tidak nyaman bila terpisah (less and lost contact). Menurut Vera, baiknya dilakukan dengan intens pada usia anak 0-2 tahun. Dari sini akan terlibat bagaimana sikap anak tersebut kepada lingkungan keluarga dan sekitarnya.
Sebagian besar anak telah membentuk kelekatan dengan pengasuh utama (primary care giver) dengan proporsi 50% pada ibu, 33% pada ayah dan sisanya pada orang lain (Sutcliffe, 2002). Kualitas kelekatan (bonding) mempengaruhi konstruksi mental, performa pengendalian diri dan keterampilan sosial anak. Beberapa penelitian membuktikan bahwa anak yang memiliki kelekatan aman dalam pengasuhan akan menunjukan kompetensi sosial yang baik, lebih mampu menangani tugas sulit serta tidak cepat berputus asa. Sebaliknya, anak yang mengalami ganguan kelekatan (attachment disosrder) dengan figur lekatnya, akan membuat anak mengalami masalah sosial dan prilaku menyimpang.
3/7. Menghindari ketidak hadiran ayah (fatherless). Fatherless adalah ketiadaan peran dan figure ayah dalam kehidupan anak baik secara fisik maupun psikologis. Performansi prilaku anak sangat dipengaruhi kehadiran seorang ayah. Menurut Kruk, 2012) bahwa dampak “fatherless” pada anak diantaranya memiliki masalah dengan gangguan kecemasan, depresi, prilaku menyimpang dan menurunkan performansi akademik di sekolah, rendah diri (sel-esteem), perasaan marah (anger), rasa malu (shame), merasa kehilangan (lost) dan rendahnya kontrol diri (self-control). Di lain pihak, penelitian terhadap kerentanan keluarga dan survey well being anak, ditemukan bahwa seorang ayah yang memiliki anak dengan lebih dari satu pasangan (poligami) akan mempengaruhi kesehatan anak saat remaja dan penyimpangan perilku, baik secara langsung maupun tidak langsung. Keberadaan ayah dan kesetiaan ayah untuk tidak berbagi dengan anak dengan ibu yang lain, akan memberikan well-being pada diri anak yang berujung pada kualitas kesehatannya.
4/7. Mengembangkan harmoni dan kasih sayang. Menurut Alfie Kohn (2015), cinta yang tulus dari kedua orang tua akan lebih efektif untuk mengarahkan, mendidik serta membuat anak lebih bartanggung jawab, jika orang tua yang memberikan ketulusan tanpa syarat pada anaknya, maka anak akan tumbuh hormat, kontrol diri yang tinggi dan memiliki mekanisme filter prilaku yang kuat. Sementara, salah satu penelitian kriminalitas usia anak di Amerika menemukan bahwa pelaku kejahatan oleh anak cendrung dipengatuhi oleh faktor kondisi keluarga yang tidak harmonis, tanpa pengawasan yang cukup serta sering menjadi korban kekerasan dan pengabaian (Brown, 2010).
5/7. Internalisasi nilai karakter sejak dini. Setiap anak yang lahir di muka bumi, ditakdirkan berkarakter baik, perbedaan proses belajar sosial yang menjadikan satu sama lain berbeda perkembangan prilakunya. Ajaran agama Islam menyebutkan bahwa “setiap anak yang lahir seumpama kertas putih, orang tua dan lingkungannya yang membuat warna lainnya”. Menurut Freud (Santock, 2012) kepribadian dasar seseorang dibentuk dalam kurun waktu lima tahun dari kehidupan, sehingga pengalaman masa awal mempunyai peran yang lebih penting dibandingkan dengan masa selanjutnya. Maraknya, anak menjadi pelaku kriminal, kejahatan seksual, pembunuhan, tidak semata-mata karena proses belajar sosial yang diperloeh di luar institusi keluarga, namun sebagai dampak dari pola asuh saat usia dini. Konsekwensinya, orang tua penting mengenalkan nilai kebaikan, mebiasakan kecintaan kepada hal-hal yang baik dan berperilaku baik sejak dini.
6/7. Menjadi model yang tepat untuk anak. Studi Bandura ditemukan bahwa keluarga secara sistimatis dapat membentuk pola ingatan yang tergambar dalam kebiasaan tingkah laku anak melalui peniruan (imitating) dan permodelan (modeling). Namun, seringkali prilaku agresif orang tua tanpa disadari telah menjadi model bagi anak dalam proses belajar sosialnya. Hasil penelitian Scholte (2006) menemukan remaja usia 15 tahun yang terlibat perkelahian, kenakalan remaja, perilaku tindak pidana tanpaknya berhubungan erat dengan teman sebaya yang mengalami masalah dalam pengasuhan.
7/7. Mengembangkan literasi media pada anak. Tak dapat dipungkiri “persahabatan” media dengan anak semakin erat. Saat media menampilkan muatan edukatif, maka stimulasi performansi kepribadian anak cukup positif. Sebaliknya, adanya tampilan di layar kaca yang sarat dengan kekerasan, begal, pelecehan seksual dan pembunuhan, maka perlu diimbangi kemampuan literasi media yang memadai. Menurut Myers (2012) muatan kekerasan yang muncul di media bisa berampak pada keterbangkitan fisik (arousal) dan memicu prilaku egressif yang berhubungan dengan kekerasan (violence-related). Konsekwensinya, pertumbuhan budaya literasi media perlu ditanamkan pada anak sejak dini. Literasi media merupakan “ability to access, analize, evaluate and communicate the content of media messages”. Literasi media merupakan upaya menanamkan kemampuan anak untuk memahami, menganalisis dan menyaring pencitraan yang ada pada media.
Memerankan diri sebagai orang tua hebat, akan berhadapan dengan kondisi faktual dalam masyarakat. Kunci dari keberhasilan memainkan peran orang tua hebat adalah kepemimpinan seorang ayah dan ibu yang diikuti dengan kemampuan menggunakan komunikasi yang efektif, penteladanan dan sahabat lekat yang bisa membangun karakter yag kuat pada anak-anak. Semoga
Jakarta, 14 Agustus 2021