“Apa dan Kenapa dengan 2 Anak”
Oleh : H. Nofrijal, MA
Penyuluh Keluarga Berencana Ahli Utama/IV-e
Sejak awal program Keluarga Berencana di luncurkan di Indonesia, tagline “dua anak” menjadi penggalan yang tidak pernah hilang dalam pikiran orang Indonesia. Simbol dua jari baik menghadap ke depan maupun ke belakang (menghadap ke diri sendiri) dapat pula bermakna kemenangan. Tagline “dua anak” semenjak tahun 1970-an sampai sekarang silih berganti, diawali dengan “dua anak cukup, laki-laki perempuan sama saja”, tidak hanya sekedar memperkenalkan dan menyerukan dua anak sebagai target ideal pemakaian kontrasepsi sebagai alat KB, tetapi juga bermakna pendidikan kesetaraan dan keadilan gender yang melekat, anak laki-laki dan perempuan tidak direkomendasi untuk dibedakan dalam pertumbuhan dan perkembangan, serta kesempatan yang ada.
Diawal reformasi atau diakhir 1990-an muncul tagline dengan “dua anak lebih baik”, ini adalah jalan tengah untuk menyikapi serangan kelompok hak-hak asasi manusia dan penggiat hak-hak kesehatan produksi, kelompok ini adalah gabungan antara pro-natalis dan aktifis kebebasan seksual yang tidak setuju program keluarga berencana Indonesia sukses dan terkenal. Setelah terjadi stagnancy program KB di awal reformasi dan desentralisasi, maka ada keinginan banyak orang untuk menguatkan kembali tagline “dua anak cukup” tanpa embel-embel lainnya, pada saat yang bersamaan muncul kekhawatiran para pakar kependudukan akan membuat Indonesia lebih cepat menjadi “aging population” dan minta dua anak cukup diganti dengan “Ikuti KB, Anak Berkualitas”, sampai adanya kesepakatan untuk keluar dengan tagline baru “dua anak lebih sehat” pada tahun 2020 sabagai bagian dari re-branding BKKBN.
Terjadi Pergesaran Nilai Anak
Mengacu kepada konsep “Value of Children (VOC)” menurut Kagitchibasi (2004) dan Hoffman (1979) tipe nilai anak diketegorinkan menjadi tiga: tipe “nilai ekonomis” yang berkaitan dengan keamanan di masa tua yang diberikan kepada orang tua; “nilai psikologis” yang berkaitan dengan kepuasan batin yang diberikan anak kepada orang tua; dan “nilai sosial”, nilai sosial yang mengacu kepada penerimaan sosial yang didapatkan oleh pasangan yang menikah ketika memiliki anak. Dari Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya (2013) ditemukan, terdapat 4 (empat) variasi nilai yang ditemukan oleh peneliti, antara lain tipe-sosial prikologis 51,8 %, tipe psikologis (32,1 %); tipe ekonomi sosial psikologis 14,3 % dan tipe ekonomis-psikologis sebesar 1,8 %.
Nilai anak adalah bgian dari nilai budaya dalam satu masyarakat. anak diberi nilai oleh indvidu atau masyarakat terhadap arti dan fungsi anak dalam keluarga, anak bisa bernilai ekonomis, nilai psikologis, nilai sosial dan nilai religius. Setiap orang tua menginginkan kehadiran seorang anak sebagai penerus generasi, anak pertama dan kedua dipandang sebagai anugrah karena membuktikan pasangan muda dapat hamil dan memiliki anak, melalui kelahiran anak dijadikan sebagai fondasi yang paling kuat bagi terbentuknya bangunan sosial. Diibaratkan pula bahwa anak merupakan bibit tumbuhnya pohon kehidupan generasi baru yang akan menghiasi keharmonisan keluarga.
Sebagian orang tua juga memdapat peluang untuk mendapatkan anak yang tidak diinginkan yang karena kehamilan yang tidak diinginkan pula, biasanya anak yang tidak diinginkan adalah ketika seorang ibu sudah memiliki jumlah anak yang relatif banyak, ketika hamil pada waktu yang terlalu tua dan terlalu muda, atau pada saat anak masih berusia di bawah dua tahun. Kehamilan dan kelahiran yang tidak diinginkan (unwanted pregnancy) menghadirkan tekanan kejiwaan kepada orang tua dan anak itu sendiri, penting untuk dicatat bahwa anak yang direncanakan dengan jumlah yang ideal akan menghadirkan kondisi anak yang sehat, cerdas dan kecakapan sosial yang memadai.
Pandangan agama Islam juga demikian, nilai anak bisa menentukan orang tua mendapat jalan yang mudah dan terbaik setelah meninggal dunia, karena hanya “tiga amal” yang tidak akan putus-putusnya amalnya dan tersambung kepada orang yang sudah meninggal adalah “anak yang soleh” yang selalu mendoakan kedua orang tuanya; sedekah yang dikeluarkan semasa hidup dan ilmu yang bermanfaat bagi orang lain. Dengan demikian, nila anak tidak hanya membahagiakan orang tua dan keluarga di di dunia, akan tetapi juga bisa menyelematkan orang tua setelah meninggal. Pengertian anak yang mendoakan orang tua adalah anak yang berkualitas, anak yang tercukupi pendidikannya, anak yang mendapat kasih sayang orang tua dari ayunan sampai dewasa.
Terjadi pergeseran nilai anak di keluarga dan masyarakat dalam aspek sosio-ekonomi-psikologi. Bila sebelumnya di bidang ekonomi terdapat pameo “banyak anak banyak rejeki” bergeser menjadi “sedikit anak banyak prestasi”. Jumlah anak yang relatif sedikit tetapi berprestasi memberi kebanggan tersendiri bagi orang tua. Pertanyaan dan jawaban atas berapa jumlah anak bergeser menjadi dimana anak sekolah, kuliah dan bekerja bahkan diantaranya menceritakan anak yang sudah bekerja di luar negeri dengan jumlah gaji yang besar. Ini pertanda bahwa jumlah anak yang banyak tidak lagi menjadi idaman orang tua dan masyarakat.
Makna Filosofis; Demografis dan Hidup Sehat
Prof. Haryono Suyono, pada tahun 1980-an dan tahun 1990-an mengungkapkan dalam beberapa safari pidato beliau bahwa dua anak memiliki makna filosofis yang dalam, anjuran untuk memiliki anak dua sajak dimulai dari kalkulasi menikah pada usia 25 tahun, maka pada saat berulang tahun ke 50 atau berulang tahun perkawinan ke 25 (ulang tahun perkawinan perak) maka orang tua sudah memasuki dan siap-siap menikahkan putra/putrinya dan sekaligus menjadi kakek atau nenek dengan anggota keluarga baru. Tidak hanya sampai di situ, pada ulang tahun ke 75, atau pada saat merayakan ulang tahun emas (50 tahun) kakek-nenek sudah melepas lajang cucu nya dan siap-siap menerima kedatangan cicit. Makna yang terkandung adalah “kelestarian dan keharmonisan pasangan” yang sekarang menjadi trend uacapan milenial “samawa sampai kakek-nenek”.
Makna demografis, yakni mewujudkan keseimbangan dalam pengendalian penduduk. Keseimbangan alam dan lingkungan juga mendorong keluarga cukup memiliki anak 2 yang menjadi prasyarat untuk penduduk tumbuh seimbang dan dapat memberikan bonus demografi bagi suatu bangsa dan wilayah. Pertumbuhan penduduk yang seimbang mencapai titik nol sudah terjadi negara-negara maju yang sekarang mencari solusi untuk penanganan aging population, sebagai contoh Republik Rakyat China yang sampai dengan tahun 2016 menerapkan “one child policy” telah berada dalam pertumbuhan di bawah 1 % dan dengan TFR 1,3 perwanita usia subur, semejak tahun 2016 mengubah kebijakan anak satu menjadi kebijakan membolehkan punya anak 3 dalam satu pasangan. Kebijakan yang menjadi salah satu aturan keluarga berencana paling ketat di dunia itu dicabut karena meluasnya kekhawatiran soal angkatan kerja yang menuai dan membuat ekonomi stagnan serta ancaman aging population yang menurunkan produktifitas.
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo, mengatakan bahwa penelitian ilmiah menyebut keluarga yang memiliki dua anak bisa menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Dua anak lebih sehat itu adalah kenyataan, walaupun tidak menjadi kewajiban, secara medis itu memang lebih sehat dibandingkan punya anak tiga, empat dan seterusnya. Menurut data akademis angka kematian ibu lebih tinggi saat melahirkan untuk ketiga, keempat dan seterusnya. Selain itu angka kematian bayi juga meningkat pesat di anak ketiga, keempat dan kelima. Beliau menambahkan, “dua anak lebih sehat” itu bukan bahasa program tetapi adalah bahasa medis yang diterjemahkan ke dalam bahasa program, karena ibu melahirkan sering akan mengakibatkan pendarahan. Ketika seorang ibu hamil anak ketiga maka kondisi rahim ibu lebih kendur dibandingkan dengan hamil kedua dan pertama. Kondisi ini membuat ibu melahirkan secara spontan di kehamilan ketiga cendrung korkasi lebih sulit, sehingga pendarahan lebih banyak.
Propaganda untuk memiliki jumlah anak banyak mendapat tantangan secara sosio-demografis-ekonomi-psikologis, karena tidak lagi “matching” dengan dinamika dan perkembangan masyarakat global, walaupun masih terdapat sedikit kelompok masyarakat baik oleh karena berasal dari kelas ekonomi tinggi dan alasan politiik yang secara fulgar mendorong memiliki jumlah anak yang banyak. Generasi berencana Indonesia memiliki cara untuk meyakinkan kelompok sebayanya bahwa sedikit anak, berkualitas akan mendatangkan prestasi dan rejeki. Semoga.
Jakarta, Agustus 2021