“Remaja Putri di atas Jembatan Penyeberangan.”
Oleh : H. Nofrijal, MA
Penyuluh Keluarga Berencana Ahli Utama/IV-e
Sebuah cerita yang memilukan dari seorang kepala sekolah lanjutan tingkat pertama (SMP) di salah satu wilayah pedalaman kepulauan, mengungkapkan bahwa dari 250 orang murid baru (laki-laki dan perempuan) yang masuk setiap tahunnya ke sekolah yang dia pimpin, hanya sekitar 150 orang yang dapat menyelesaikan pendidikannya dan mendapatkan ijazah. Pertanyaannya, kemana yang 100 orang lagi. Jawaban yang mengagetkan, mereka berhenti sekolah karena alasan hamil di luar nikah; ditarik kembali oleh orang tua untuk mencari nafkah membantu ekonomi orang tua; dan menjadi pekerja seksual yang melayani anak buah kapal yang datang dan bersandar di pelabuhan yang tidak jauh dari lokasi sekolah mereka.
Jadi penyebab remaja putri berhenti bersekolah adalah hamil sebelum nikah/dewasa; bekerja untuk membantu orang tua; dan menjadi pekerja seksual. Menjadi sangat mengkhawatirkan dan mencemaskan adalah mereka masih berumur antara 12-15 tahun, masih muda belia.
Mengait ke judul artikel, remaja putri yang kasusnya sama dengan murid salah satu SLTP di atas sedang jatuh di jembatan penyeberangannya. Jembatan yang panjang dan air yang dalam dihuni oleh binatang buas, maka remaja putri adalah korban kejatuhan dari jembatan penyeberangannya dan menjadi mangsa binatang buas yang ada di sungai yang diseberangi. Identik dengan kehidupan yang melanda remaja khusunya remaja putri hari ini, mereka dihadapkan pada tantangan yang tidak ringan berupa perkawinan usia anak, menjadi ibu ketika usianya masih muda, menjadi pekerja anak membantu ekonomi orang tua, menjadi pelaku seksual komersil murahan, menjadi remaja yang tidak bisa menikmati masa-masa remaja dalam masa pertumbuhan menuju dewasa muda.
Penulis mencatat salah satu pesan Prof. Emil Salim dalam sebuah briefing singkat di tahun 2013 “bila anda ingin sukses dengan program keluarga berencana dan bangsa ini bisa mencapai kemajuannya, selamatkan remaja putri Indonesia, beri kesempatan untuk sekolah setinggi-tingginya, minimal beri mereka keterampilan untuk bisa hidup lebih layak dan terhormat”, secara khusus untuk program Keluarga Berencana ke depan, BKKBN tidak akan mengalami kesulitan mengajak perempuan Indonesia menggunakan kontrasepsi karena mereka sudah terdidik dan terbuka untuk kemajuan.
Dua kata yang terdapat dalam peningkatan kualitas remaja putri Indonesia adalah “pemberdayaan dan perlindungan”, hal mana yang ditempatkan sebagai ungkapan pertama dan kedua sangat tergantung pada sudut pandang dan kebutuhan. Kita telah menempatkan perlindungan sebagai kata kunci dalam menyelamatkan remaja putri Indonesi, pada saat yang sama kita melakukan pemberdayaan mereka dengan pendidikan dan keterampilan hidup.
Presiden Jokowi memberi 5 (lima) arahan terkait dengan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, yaitu 1) Peningkatan pemberdayaan perempuan dalam kewirausahaan, 2) Peningkatan peran ibu dan keluarga dalam pendidikan/ pengasuhan anak, 3) Penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak, 4) Penurunan jumlah pekerja anak, dan 5) Pencegahan perkawinan anak.
Tidak dapat disangkal bahwa pengarus-utamaan gender (gender mainstreaming) merupakan strategi pembangunan nasional dan global untuk memberdayakan serta melindungi perempuan. Perempuan berperan sentral dan berpengaruh besar terhadap hasil dan kemajuan suatu bangsa. Kontribusi perempuan secara nyata terhadap pembangunan meliputi kesehatan; pendidikan; ilmu dan teknologi; kepemimpinan dan perpolitikan. Secara umum terdapat kemajuan indeks gender dalam pembangunan nasional, akan tetapi secara spesifik masih ditemukan masalah-masalah mendasar dalam mewujudkan keadilan dan kualitas perempuan Indonesia.
Sekarang dan untuk beberapa tahun ke depan, mereka sedang berada di atas jembatan penyeberangannya, sebagian masih berada di pangkal jembatan, sebagian sedang berada di tengah dan sebagian sudah berada diujung dan selamat. Mari kita lihat bahaya yang mengancam remaja putri Indonesia, tentu ini juga akan dipersulit ketika pandemi Covid-19 melanda Indonesia.
1/7 Putus Sekolah
Terdapat kesenjangan di bidang pendidikan antara laki-laki dan perempuan, terlihat pada rata-rata lama sekolah (RLS) penduduk usia 15 ke atas. RLS penduduk laki-laki lebih tinggi dari penduduk perempuan, dimana RLS laki-laki sudah melampau target RPJMN tahun 2015-2019 yakni sebesar 8,8 tahun, sedangkan untuk perempuan 8,1 tahun. Pada tahun 2019, RLS penduduk laki-laki sebesar 9,08 tahun sedangkan perempuan tertinggal pada angka 8,42 tahun.
Putus sekolah adalah momen hidup yang paling sulit yang dialami remaja putri. Putus sekolah bisa membawa mereka untuk menikah di usia anak, menjadi tenaga kerja murahan, berada dan jatuh ke lembah hitam pekerja seksual komersial, mengalami stress dan depresi yang berat, menjadi anak rumahan yang hanya sekedar membantu orang tua. Faktor utama putus sekolah adalah ketidak mampuan orang tua untuk meneruskan dan membiayai sekolah remaja putri, sikap bias gender orang tua dan masyarakat dalam memandang kebutuhan anak laki-laki dan perempuan akan pendidikan, karena sebagian orang tua memprioritaskan kelanjutan pendidikan anak laki-laki.
2/7 Gaya Hidup Tidak Sehat
Dalam perjalanan hidupnya remaja putrri dihadapkan dengan prilaku pergaulan remaja yang negatif, rentan kecanduan narkoba, prilaku seksual menyimpang, kecanduan pornografi, terinfeksi HIV/AIDs. Prilaku dan gaya hidup tidak sehat bagian yang tidak terpisahkan dari tekanan hidup dan pergaulan remaja yang tidak terkontrol. Kerentanan terhadap penyakit tertentu juga dialami oleh remaja putri sebagai akibat dari cara-cara yang instant, konsumsi makanan yang tidak atau kandungan gizi, protein dan vitamin yang rendah, aktifitas olahraga dan pengaturan waktu istirahat yang minim.
3/7 Perkawinan Usia Anak
Studi menyebutkan bahwa anak yang dipaksa menikah di usia muda atau di bawah umur mempunyai resiko: 1) Gangguan mental yang lebih tinggi, baik itu gangguan kecemasan, stress atau depresi. Pernikahan usia anak memunculkan masalah baru dalam rumah tangga, 2) Komplikasi kehamilan, ini akan memunculkan penyakit dan penyulit kehamilan dan persalinan, dapat mendorong kematian. 3) Perceraian, terdapat lebih kurang 50% lebih tinggi potensi perceraian pada pasangan yang menikah di usia anak atau di bawah umur. Dalam studi yang lain disebutkan bahwa pasangan menikah muda memiliki resiko 38% untuk bercerai setelah menjalani 5 tahun perkawinan, 4) Kekerasan dalam rumah tangga, ini faktor utama adalah ketidak stabilan emosi dan ketidak mampuan pasangan muda mengatasi masalah ekonomi dan sosial dalam rumah tangga.
4/7 Kematian Ibu Muda Melahirkan
Kehamilan di usia muda sangat beresiko mengalami berbagai komplikasi yang membahayakan ibu yang sedang mengandung janin. Pada janin, resiko yang bisa terjadi adalah bayi lahir prematur, stunting atau berat badan lahir yang rendah (BBLR). Pada pilot sensus penduduk tahun 2020 di tahun 2018 Angka melahirkan di usia antara 15-19 tahun masih cukup tinggi, pada tahun 2017 angka sebesar 148 bayi per seribu kelahiran hidup. Resiko yang paling dekat adalah kematian ibu hamil dan bersalin; ibu melahirkan anak stunting dan cacat, mengalami tingkat penyulit melahirkan pada kehamilan berikutnya.
5/7 Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga pasal 1 mendefinisikan adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang mengakibatkan timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau pentelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Penderita atau korban dalam KDRT didominasi oleh perempuan dan anak, kekerasan termasuk kasus perkosaan lebih banyak dilakukan terhadap remaja putri.
6/7 Perdagangan Perempuan
Definisi perdagangan perempuan (women trafficking) adalah sebagai tindakan rekruitmen, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dariorang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
7/7 Pekerja dengan Upah Rendah
Dalam laporan Menteri PP & PA tahun 2020, diperoleh angka bahwa hanya 49,18% penduduk perempuan usia 15 ke atas yang bekerja dan 37,04% adalah mengurus rumah tangga. Perempuan usia 15 tahun ke atas beresiko tidak dinilai berpartisipasi pada TPAK karena melakukan pekerjaan domistik atau pekerjaan untuk kepentingan rumah tangga sendiri, memasak, mengasuh anak, merawat keluarga yang sakit, atau mendampingi orang lanjut usia. Akibatnya perempuan tidak dikategorikan bukan angkatan kerja karena mereka menghasilkan kerja untuk kepentingan sendiri atau keluarga. Dilihat dari nominal pendapatan pekerja perempuan, lebih khusus adalah pekerja di bawah umur akan memperoleh upah yang sangat rendah. Pekerja perempuan yang berada di sektor informal juga mengalami kesulitan untuk mendapatkan upah yang layak.
Menyelamatkan remaja putri melewati jembatan penyeberangan sangat ditentukan oleh komitmen pemerintah untuk mengimplementasikan peraturan perundang-undangan; peranan lembaga pendidikan formal dan nonformal yang memberikan keterampilan hidup memadai; tugas dan peran orang tua dalam mendidik dan menjaga keadilan bagi remaja putri; mempersiapkan mereka menjadi calon pengantin yang sehat dan dewasa; dan menyetarakan fungsi dan peranan perempuan di tengah masyarakat.
Jakarta, 12 Agustus 2021