“BONUS DEMOGRAFI : Karya Kependudukan”

Oleh : H. Nofrijal, MA

nov.png

           Penyuluh Keluarga Berencana Ahli Utama/IV-e

 Penyebutan bonus demografi aslinya adalah “demographic transition” dan baru kemudian terkenal dengan istilah “demoghraphic bonus”, tatkala akibat itu secara positif dianggap bisa menguntungkan. Bonus demografi yang disingkat dengan sebutan “bodem”, sesungguhnya adalah suatu keadaan yang merupakan transisi demografi, dimana terjadi pergeseran turunnya angka kelahiran total, “Total Fertility Rate (TFR)” dan “angka kematian” yang berdampak langsung kepada menurunnya angka ketergantungan “dependency ratio” di singkat dengan “DR”,

 Penurunan tersebut adalah ratio perbandingan usia produktif (penduduk usia kerja) dengan usia non produktif (penduduk usia tidak kerja). Indikator ikutannya adalah “Net Reproduktif Rate (NRR)”, yaitu ketika TFR mendekati angka 2 per wanita usia subur, maka rata-rata anak lahir hidup yang berjenis perempuan adalah 1.

 Angka ketergantuan (DR) merupakan perbandingan (rasio) antara jumlah penduduk usia non produktif (0-14 tahun dan 65+tahun) dengan jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun). Pada tahun 2020 adalah 47,7 dengan wilayah terendah adalah DKI 42,0, Bali 43,3 (angka yang sama dengan Kalimantan tengah) dan Jawa Timur 43,9. Sementara pada tingkat global DR adalah 54,0. Menurut catatan Prof. Dr. Haryono Suyono keadaan itu mulai pada beberapa Provinsi sekitar tahun 1990-an tatkala Program KB Indonesia mendapat penghargaan dunia karena berhasil menurunkan TFR menjadi sangat rendah.

 Pada puncak bodem sekitar tahun 2030 atau 2035 (karena masih ada perdebatan akademis tentang puncak bonus demografi Indonesia), diperkirakan DR Indonesia berada pada angka 46,9-47,3, sementara wilayah provinsi yang rendah DR nya adalah Kepulauan Riau 38,1-37,9, DKI 40,1-39,5, Kalimantan Tengah 40,3-39,9, Bali, Yogyakarta dan Jawa Timur.

 Keberhasilan Indonesia dalam menghadirkan transisi demografi atau bonus demografi yang bergerak dari wilayah Barat ke Timur itu tidak terlepas dari hasil karya program kependudukan dan keluarga berencana Indonesia yang ditangani pemerintah sejak tahun 1970. Apa yang menjadi buah bibir banyak orang, mulai dari Presiden sampai Kepala Desa tentang bonus demografi, merupakan “karya nyata” BKKBN dengan jajaran dan jejaringnya sampai dengan tingkat desa/kelurahan. Pahlawan bodem yang berjasa adalah petugas lapangan KB, provider tenaga kesehatan, khususnya bidan, kader institusi masyarakat pedesaan, kader PKK, alim ulama dan para pemegang kepentingan di semua lini pemerintahan. Satu dari sekian keberhasilan pemerintahan orde baru adalah keberhasilan pengendalian kelahiran dari jumlah anak rata-rata wanita usia subur sebesar 5,6 anak pada tahun 1970 setiap keluarga menjadi 2,6 anak pada tahun 1990 yang menjadi momentum menguntungkan untuk pembangunan,  penyelenggaraan kepemerintahan dan pembangunan Indonesia.

 Pada awal kelahiran BKKBN, DR Indonesia berada di angka 80-an dan setelah 40 tahun program pengendalian kelahiran dilaksanakan, DR sudah menurun pada angka 47,7 suatu prestasi pembangunan bidang kependudukan dan keluarga berencana yang membanggakan. Perlu dicermati bahwa keberhasilan dalam meningkatkan jumlah penduduk dengan komposisi umur usia kerja atau usia produktif yang jauh lebih besar memerlukan kerja keras bagaimana jumlah angkatan kerja baru itu, sebagai bonus, bisa dipersiapkan agar bermanfaat menjadi peluang dan bersifat roduktif dan memiliki kompetitiveness yang tinggi pada pasar pada  dunia internasional dan di negara sendiri.

 Bodem ditunjukan oleh dua signal terang kependudukan (1) Replacemen level, ketika TFR sudah berada di angka 2,0 perwanita usia subur dengan NRR 1 yakni kelahiran bayi perempuan hanya 1 untuk menggantikan ibu atau perempuan yang melahirkannya. Ditemukan analisa sosiologis padangan tentang TFR dan NRR 1, dengan jumlah anak 2 laki-laki atau perempuan dan anak 1 perempuan setiap PUS/WUS menjadi keinginan/cita-cita spirit keluarga berencana bahwa 1 anak perempuan dimungkinkan menggantikan posisi ibunya dalam “life span” kehiduan keluarga, kemudian 2 anak rata-rata akan menggantikan posisi demografis kedua orang tuanya setelah tidak memiliki produktifitas kesehatan reproduksi lagi.

 Antara bonus dan pemanfaatan memiliki “kesenjangan”, ilustrasinya sebagai berikut: Pengendalian Kelahiran (KB) menghasilkan Pengendalian Pertumbuhan Penduduk; pertumbuhan penduduk menghasilkan Bonus Demografi; Bonus demografi menghasilkan “Jendela Kesempatan”; Jendela Kesempatan bila dimanfaatkan menghasilkan tenaga dan pelaku kerja yang produktif; Tenaga kerja dan pelaku usaha akan menghasilkan tabungan individu dan keluarga yamh meningkat; Tabungan masyarakat meningkat, maka pasar dan ekonomi bergerak; yang menghasilkan peningkatan pendapatan/income per-kapita penduduk yang menjadi salah satu indikator kesejahteraan suatu negara.

 Bagaimana memanfaatkan bodem sebagai kekuatan dan penyangga ekonomi nasional dan daerah masa depan, (1) Setiap wilayah pemerintahan perlu memiliki kebijakan yang jelas, terpadu dan terukur tentang pemanfaatan bodem menjadi kekuatan ekonomi daerah dengan penyediaan data anak-anak muda yang potensial, analisis  dan peta peluang untuk memanfaatkannya. Kebijakan ini tertuang dalam narasi induk atau lampiran Grand Design Program Kependudukan (GDPK), yang memuat kondisi saat ini, proyeksi, perkembangan dan tantangan dalam mengelola bonus demografi. (2) Tiap daerah perlu menyediakan dan membuka lapangan pekerjaan yang banyak, menyediakan agenda pemerintah untuk menjalankan UUD 1945 dan memberikan kesejahteraan kepada rakyat, sementara membuka kesempatan bagi pencari kerja, pihak swasta dan masyarakat. Ini berarti bahwa  masyarakat luas membuka kesempatan kerja kepada angkatan kerja. Ini mendorong pencari kerja untuk membuka lapangan pekerjaan sendiri dalam sifat life-skill yang dimiliki, peluang dan prospek yang tersedia. Demikian juga para pengusaha asing dan perusahaan nasional memberikan perhatian yang seksama untuk menambah dan menyediakan lapangan pekerjaan. (3) Setiap level wilayah pembangunan dan kepemerintahan melalui Kementerian/Lembaga, dinas/badan dan organisasi daerah yang terkait, perlu memiliki program pemanfaatan bonus demografi di wilayahnya. (4) Setiap wilayah termasuk desa, menempatkan program membuka lapangan/peluang pekerjaan menjadi prasyarat utama bodem dapat dimanfaatkan. (5) Meningkatkan jumlah dan kualitas tenaga kerja yang dikirim/bekerja di luar negeri. Pemerintah Daerah dapat secara langsung dibawah koordinasi pusat melakukan kerja sama bilateral dan multilateral dengan pemasok/penerima tenaga kerja di luar negeri untuk menggerakan “remitten” (income negara dan daerah yang berasal dari luar) sebagai penyangga pendapatan daerah dan pendapatan negara.

 Bagaimana caranya “jendela kesempatan dan puncak bonus demografi” di suatu negara bisa memberi manfaat dan berlangsung lebih lama, strateginya adalah: (1) Mempertahankan angka “replacement level kelahiran” di angka 2,0 per-wanita/usia subur dengan NRR 1, berati intensifikasi dan ekstensifikasi pelayaan KB untuk pengendalian angka kelahiran mengacu kepada unsur pemerataan, keberlangsungan dan kualitas pelayanan, (2) Perhitungan dan rencana penurunan angka dependency ratio dari formula kelahiran di setiap kab/kota, provinsi dan nasional terlaksana secara merata, walaupun “opportunity” nya datang secara berbeda-beda, (3) Memanfaatkanbonus demografi plus”, ketika pemerintah memberikan perhatian kepada produktifitas dan derajat kesehatan penduduk usia lanjut. Kebijakan pro lansia tangguh dapat menjadi bagian dari upaya meningkatkan usia bonus demografi dan memberi manfaat bagi kesejahteraan. Jangan biarkan bonus berlalu, karena bonus demografi yang tidak dimanfaatkan akan menjadi “bencana kependudukan” yang berkepanjangan.

 Jakarta, 24 Juli 2021

Haryono SuyonoComment