Menghemat Anggaran Pemerintah sekaligus Bukti Kemandirian

libi1.jpg

Karena tekad BKKBN “tiada hari tanpa inovasi”, kegagalan “Kampanye Kondom 25” tidak membuat BKKBN putus asa mengajak dan mendidik peserta KB menjadi peserta yang setia, berkelanjutan dan mandiri. Setelah evaluasi bersama Prof Dr. Masri Singarimbun bersama staf dan Perusahaan Iklan yang mendukung, langsung diadakan langkah-langkah yang perlu diambil untuk inovasi program berikutnya. Salah satu yang diketemukan adalah bahwa “pembawa pesan Kampanye Kondom 25 seakan bersaing dengan Kampanye Program KB”, karena secara fisik tidak melibatkan pejabat BKKBN, biarpun kondom dan hubungan dengan lembaga donor difasilitasi BKKBN.

Dalam Kampanye berikutnya untuk “menjual Pil KB dengan logo Lingkaran Biru”  ditetapkan BKKBN sebagai bagian KB Mandiri. BKKBN bergerak secara hati-hati tidak langsung “menjual Pil” tetapi terlebih dulu menunjukkan “komitmen tanggung jawab”. Komitmen itu dilakukan melalui perkenalan  “logo Lingkaran Biru” antara lain dengan menyiarkan logo Lingkaran Biru yang melingkari wajah Kepala BKKBN. Kepala BKKBN pada tahun 1980-an sampai 1990-an, Haryono Suyono, muncul dalam kerangka Lingkaran Biru seakan memberikan petunjuk bahwa BKKBN memperkenalkan sistem Komunikasi, Informasi dan Edukasi baru dengan Logo Lingkaran Biru yang akan disebar melalui Media Masa dalam bentuk iklan, jingle dan lainnya, tidak melalui jalur formal tetapi jalur komersial yang sangat luas.

libi2.png

Pemasangan gambar tokoh ini tidak terbatas pada gambar Kepala BKKBN, tetapi juga pada tokoh Dosen Senior UI Guru Besar Ilmu Komunikasi, almarhum Prof Dr. Harsono Suwardi, MA, yang membawa pesan bahwa di dalam Lingkaran Biru terdapat unit-unit yang siap menjawab berbagai pertanyaan tentang KB apabila seseorang ingin KB secara mandiri, artinya tidak perlu ke Rumah Sakit atau ke klinik. Informasi itu disajikan dalam bentuk leaflet singkat tetapi digarap secara profesional dengan melibatkan ahli-ahli komunikasi dari perguruan tinggi dan swasta.

Di tempat lain muncul gambar seorang Bupati, Camat dan lainnya dalam Lingkaran Biru dengan tawaran yang berbeda-beda atau “topik pesan” berbeda-beda sebelum “Logo Lingkaran Biru muncul memperkenalkan Pil KB”. Baru kemudian diperkenalkan bahwa Pil KB Lingkaran Biru bisa dibeli oleh Peserta KB yang sudah mendapat pemeriksaan dokter pada saat ikut KB pertama kali. Pil itu dengan mudah tersedia di tempat-tepat penjualan Pil di Apotek atau tepat lain yang ditunjuk. Para pembeli Pil KB itu akan mendapat keuntungan karena dekatnya tepat penjualan, biasanya tidak antri seperti di Puskesmas dan biasa datang kapan saja sepanjang toko atau Apotek masih buka.

Bahkan terdapat ribuan Poster yang menggambarkan seorang bidan  dalam Lingkaran Biru yang siap menjawab pertanyaan yang diajukan setiap pasangan usia subur yang ingin mengikuti KB secara Mandiri dengan mendatangi tempat-tempat yang ada logo Lingkaran Biru. Tempat-tempat itu adalah dokter praktik atau Bidan Praktik KB, suatu swastanisasi dalam berbagai bentuk pelayanan yang diperlukan oleh peserta KB yang siap membayar untuk pelayanan yang diperlukannya. Pembayaran untuk Pil KB itu bisanya jauh lebih murah dibanding mengambil Pil KB gratis di Puskesmas.

libi3.png

Pil KB Lingkaran Biru dijual dengan harga yang sangat murah. Ternyata tanpa disadari kebijakan “harga murah” yang aslinya gratis, menimbulkan persepsi yang negatif. Publik menganggap bahwa program ini untuk keluarga miskin, sehingga keluarga menengah dan atas tidak mau membeli Pil KB Lingkaran Biru. Reaksi masyarakat itu segera ditanggapi cepat. Diadakan acara “launching Pil KB Lingkaran Emas” dengan harga lebih tinggi.

Setelah acara itu kaum menengah dan atas yang sudah ber-KB dengan pil mulai berbondong membeli Pil KB Lingkaran Emas, sehingga jumlah peserta KB Mandiri makin melonjak drastis. Padahal yang dijual dalam paket Lingkaran Emas itu Pil KB yang diisikan Pil yang sama. Suatu rahasia yang menimbulkan gagasan baru untuk KB Mandiri. Gagasan Baru itu adalah bahwa Pil KB Lingkaran Emas bisa diisi dengan keluaran beberapa pabrik yang ada di Jakarta. Perusahaan Farmasi bergabung dengan logo yang sama tetapi dijelaskan isi pil di dalam kemasan. Program itu berjalan sampai sekarang tetapi kurang mendapat dukungan Komunikasi dan Informasi yang memadai. Semoga bertambah marak karena bisa menjadi ukuran kemandirian peserta KB. Semoga.