Menggali Kepekaan dan Sikap Masyarakat

25.png

Dalam sejarah Program KB di Indonesia banyak dilakukan penelitian dan pengembangan. Ada yang dilakukan secara khusus melihat dan menyelidiki pengetahuan, sikap dan tingkah laku masyarakat terhadap program atau alat yang digunakan melalui berbagai cara. Salah satunya adalah bagaimana mengubah kebiasaan program yang alat kontrasepsinya, termasuk kondom, di berikan secara gratis kepada semua pasangan usia subur yang ikut KB, menjadi sesuatu yang karena keyakinan para peserta dianggap tinggi, mereka perlu membayar keperluannya sendiri. Pemberian gratis itu dimaksud sebagai perkenalan yang mengharapkan setelah masyarakat yakin kepentingannya tinggi, bisa dan mampu membeli alat KB sendiri.

Sama dengan Vaksinasi Covid-19 yang belum dikenal padahal manfaatnya tinggi, sehingga segala fasilitas untuk Vaksinasi semua  dibayar oleh pemerintah.

Salah satu alat KB yang paling sederhana adalah kondom yang sangat baik bagi pengantin baru yang ingin menunda anak pertamanya atau pasangan yang telah memiliki anak pertama. Sebagai pasangan baru yang ingin lebih dulu bekerja dengan baik agar rumah tangganya bisa pisah dari kedua orang tuanya bebas mandiri.

Sahabat kami almarhum Prof Dr. Masri Singarimbun dari Lembaga Penelitian Universitas Gadjah Mada yang Antropolog lulusan Universitas terkenal di Australia bersama rekan-rekannya telah meneliti sikap dan tingkah laku penggunaan Kondom di masyarakat. Beliau yakin bahwa alat kondom bisa digunakan dengan baik bukan oleh sepasang pengantin baru karena kedua orang tua mereka inginkan seorang cucu. Tetapi kondom, menurut hasil penelitian, sangat baik bagi yang sudah mempunyai satu anak sehingga biarpun kegagalannya tinggi, karena bisa hamil dan tambah anak satu lagi, tetapi jauh lebih baik dibanding rata-rata enam anak pada waktu program KB baru mulai di tahun 1970.

Alat KB kondom yang dijual itu kecuali memiliki efek samping rendah mudah diperoleh. Seorang peserta KB awal dengan kondom tidak perlu membuang waktu ke klinik sekedar ingin menggunakan kondom. Setelah menjadi peserta KB bisa bergabung bersama peserta KB lain guna memperoleh informasi lengkap tentang alat KB lain yang lebih efektif.

Setelah yakin bahwa penemuan penelitian itu valid, maka dengan bantuan kondom dari BKKBN Prof. Dr Masri Singarimbun beserta staf melakukan rencana “pemasaran kondom sebagai alat kontrasepsi” secara bebas sama dengan penjualan kondom di toko-toko obat atau di Warung-warung di berbagai tempat.  Artinya tempat penjualan hampir tidak ada bedanya dengan prinsip mudah di dapat dan tidak perlu diperiksa dokter atau bidan. Kemudian dengan keyakinan penuh Prof Dr Masri Singarimbun yakin bahwa beliau pasti sukses dengan rencana pemasaran, iklan dan jaring distribusi yang rapi. BKKBN memberikan dukungan penuh karena hasilnya akan merupakan terobosan yang sangat tinggi untuk mengajak pasangan usia subur muda yang sejak tahun 1983 menjadi sasaran utama.

Dengan rencana, tatanan dan branding “Kondom 25” yang rapi maka program itu diluncurkan secara luas melalui iklan pada media masa dengan memenuhi syarat packaging dan harga terjangkau. Dalam syarat pemasaran itu dilakukan pula “diskusi kelompok” sebelum produk itu disebarkan secara luas.

Namun karena konotasi kondom sejajar tingkah laku kurang baik, dan masyarakat menganggap Program KB bertujuan luhur, segera timbul reaksi yang intinya “jangan memasarkan kondom” secara terbuka karena dianggap mencemarkan Program KB. Akhirnya “pemasaran Kondom 25” terpaksa dihentikan. Namun disisi lain, BKKBN mendapat pelajaran berharga bahwa “pemasaran biasa” yang berlaku untuk produk komoditas yang sejajar dengan suatu program dengan cita luhur, tidak sama dengan pemasaran komoditas biasa. Keterkaitan dengan program penting seperti KB perlu prosedur tertentu agar pemasaran itu menyatu dengan program yang ada. Tulisan berikutnya mengupas pemasaran kontrasepsi yang berhasil sampai sekarang.