Lembaga Sekolah dan Guru Harus Mendorong Minat Baca
Perkenalan saya dengan dunia perbukuan yang lebih serius dimulai pada saat kelas 1 SMP di Tasikmalaya.
Saat itu belum secanggih sekarang, belum ada HP dan internet, bahkan belum ada komputer. Buku menjadi sumber pembelajaran yang sangat penting.
Saya masih ingat di awal sekolah guru Bahasa Sunda saya, Pak Rahmat, menekankan dengan keras bahwa kami harus mencintai buku dengan membaca buku – buku bermanfaat sebanyak mungkin untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.
Ia kemudian menyampaikan dengan membaca bisa mendapatkan ide dan ketrampilan untuk menulis, dengan bekal pengetahuan dari buku dan pengalaman serta pikiran.
Kami diwajibkan menjadi anggota perpustakaan daerah kota. Setiap minggu ditanya buku apa saja yang sudah dibaca. Kemudian menekankan kembali harus mencintai buku.
Mulai saat itu saya sangat antusias untuk membaca buku terutama buku – buku umum populer dan novel; baik yang ditulis pengarang nasional maupun pengarang internasional.
Membaca kemudian sudah menjadi kegiatan yang menyenangkan, sehingga menjadi ‘kutu buku’, menghabiskan banyak waktu untuk membaca buku.
Saya jadi terbiasa membaca buku – buku petualangan diantaranya yang ditulis Karl May, dengan tokoh utama Winnetou seorang lelaki kepala suku Indian Amerika dan Old Sutterhand, seorang petualang lelaki kulit putih di Amerika.
Karl May menulis sejumlah cerita berseri, tetapi bisa dinikmati secara terpisah per masing-masing buku mengenai petualangan Winnetou dan Old Sutterhand di Amerika. Meskipun ada juga cerita serial atau buku – buku secara terpisah mengenai petualang di luar Amerika.
Buku favorit saya yang lain adalah pengarang pemenang hadiah Nobel yang berasal dari Amerika Serikat Ernest Hemingway. Salah satu karyanya yang terkenal adalah ‘The Old Men and The Sea’ yang membuat Hemingway mendapatkan hadiah Nobel sastra di tahun 1954. Tentu saya membaca versi terjemahan dalam Bahasa Indonesia.
Karya Hemingway lain yang pernah saya baca waktu itu adalah ‘a Farewell to Arms’, dalam versi Bahasa Indonesia. Novel yang jauh lebih tebal dibandingkan dengan ‘The Old man and the sea’.
Penulis asing lain yang sempat saya nikmati karyanya adalah Harriet Beecher Stowe, dengan buku nya ‘Uncel Tom’s Cabin’, yang bercerita tetang nestapa perbudakan di Amerika, sebelum perbudakan dihapus.
Melalui buku saya berkenalan dengan penulis – penulis dari Jepang, Cina, India, Timur Tengah, Amerika dan Eropa melalui karya-karya yang ditulisnya.
Penulis Indonesia sendiri di era itu banyak yang menjadi favorit saya, antara lain N. H Dini, Mochtar Lubis, Hamka, Ajip Rosidi, A.A Navis dan lain – lain termasuk Umar Kayam dan Budi Darma.
Kegemaran membaca inilah yang kemudian mendorong ketertarikan untuk menulis. Meskipun banyak juga periode dimana saya absen dari kegiatan menulis.
Saat kuliah di Bandung agak sering menulis beragam tulisan yang dimuat di surat kabar “Pikiran Rakyat“, mulai dari artikel sosial ekonomi (Saya kuliah di Fakultas Ekonomi Manajemen di Universitas Padjadjaran), cerita pendek bahkan sampai reportase pendek.
Sayang setelah memasuki dunia kerja di beberapa perusahaan asing, aktifitas menulis saya sempat berhenti,
Sampai kemudian saya pindah ke sebuah perusahaan multi nasional asal Amerika. Saya memiliki kesempatan untuk menulis kolom mingguan di harian Media Indonesia, secara rutin selama kurang lebih satu tahun untuk kepentingan perusahaan.Tapi setelah itu berhenti menulis lagi.
Sekarang sebagai akademisi dituntut untuk banyak menghasilkan karya penelitian, menulis dan publikasi karya ilmiah untuk dibaca masyarakat. Bekerja sebagai akademisi seperti dibukakan pintu kembali oleh Sang Pencipta untuk terus aktif menulis.
Semua aktifitas itu dimulai dari tugas sekolah dan arahan para guru di SMP, seperti Pak Rahmat. Oleh karena itu, sekolah dan guru bisa menggerakkan minat para siswa untuk mencintai dan membaca buku.
Tradisi membaca buku bisa didesain dari sekolah dengan motivasi dan dorongan para guru.
(Aam Bastaman, Akademisi di Universitas Trilogi. www.aambastaman.com)
Foto: Sumber open access