Raili terkenang dan Melihat Buyutnya tersenyum di Kalibata
Pada Hari Lebaran hari pertama 13 Mei 2021, sejak pagi dr. Rina, karena ada berita tidak bisa ziarah ke Makam, telah menghubungi petugas Makam Kalibata menanyakan apakah aturan itu berlaku untuk Makam Pahlawan Kalibata. Alhamdulillah didapat jawaban bahwa bisa datang menaburkan bunga mendoakan orang tua yang sangat dicintai. Dengan lega kita segera melakukan persiapan menuju Kalibata guna memanjatkan doa untuk Almarhumah Ibu Astuty tercinta.
Ikut dalam persiapan itu anak-anak, cucu dan cicit tercinta antara lain Raili, nama lengkap Arunika Raili, anak mas Randi, cucu mbak Ria, dilahirkan di Negeri Belanda pada waktu bapaknya belajar di Negeri Kincir Angin itu. Tidak ketinggalan cucu-cucu, anak-anak Mas Fajar, yang badannya besar dan tinggi karena rumahnya dekat Mall. Barangkali karena kediamannya dekat Mall, sering kena asap Mall, badannya tumbuh subur.
Mas Bima yang nomor satu dalam retetan cucu Mas Fajar dan Fini, sekarang sudah pada Semester kedua Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga di Surabaya. Kalau ke rumah menegok Kakeknya selalu kita panggil Pak Dokter dan ikut melakukan tensi membantu tantenya dr. Rina. Mas Bima terasa lebih cocok sebagai dokternya karena badannya yang besar dan tinggi, bahkan kalau berjalan sudah seperti seorang dokter yang berwibawa.
Setelah acara “Open Zoom” sebagai pengganti “Open House” yang diakhiri dengan makan siang bersama, maka kita bersama sama ziarah ke Makam Almarhumah Ibu Astuty di Kalibata. Kita bersyukur ternyata Makam Pahlawan Kalibata tidak memberlakukan larangan Ziarah. Tampak banyak keluarga yang memiliki keluarga di makamkan di Kalibata melakukan ziarah dengan khusuk.
Anak-anak, cucu dan cicit yang hadir di rumah Perdatam semuanya ikut karena mulai dari yang besar dan yang paling kecil sangat kehilangan neneknya. Selama mereka masih kecil sangat dimanjakan, dengan makanan kecil kesukaan mereka masing-masing, baju dan kalau menginginkan permainan atau sesuatu selalu menggandeng neneknya manakala pergi ke Mall, tidak pada kakeknya, karena tahu dengan pasti bahwa lebih berhasil merajuk nenek, dan tidak pada kakek. Pada nenek, apa yang mereka kehendaki tanpa alasan berkepanjangan pasti dikabulkan. Cicit terkecil Raili yang sekembalinya dari Negeri Belanda tinggal bersama kakek dan nenek di Perdatam, lebih beruntung. Yayi selalu diperlakukan seperti anak terkecil oleh nenek yang biarpun tidak kuat lagi mengendongnya. Setelah tumbuh besar dan lancar berjalan, Raili selalu diajak menemani pergi ke Mall setiap minggu untuk belanja. Bagi nenek telunjuk Yayi adalah perintah, sehingga cicit yang sopan ini setiap kali pergi ke Mall, “telunjuknya yang ampuh” selalu diterapkan dengan sopan, tidak pernah menunjuk lebih dari satu barang setiap kali ke Mall. Mungkin di hati kecilnya tahu betul bahwa Minggu depan ada lagi acara ke Mall sehingga secara sistematis dia bertindak bijaksana tidak serakah “mumpung ada kesempatan”.
Kemanjaan Raili yang membahagiakan itu mirip cucu-cucu dari mas Fajar pada umumnya. Anak-anak mas Fajar biarpun berbadan relatif besar kalau datang ke rumah selalu berebut mencium nenek dan kakeknya. Setelah neneknya meninggal dunia secara bergiliran anak-anak itu tidur di Perdatam menemani tidur kakeknya dengan kasih sayang guna menghibur kakeknya yang kesepian. Anak terkecil mas Fajar , Lola sungguh sangat menyenangkan dan memberi kebahagiaan tersendiri. Barangkali, kalau tidak solider pada kakak-kakaknya, Lola lebih senang tinggal pada kakeknya di Perdatam.
Sejak dari kediaman di Perdatam Raili menenteng sebuah lukisan yang dilukisnya sendiri dengan kombinasi aneka warna penuh pesona berisi gambar jantung hati yang menurut Yayi adalah ungkapan rasa rindu dan kasih sayang untuk nenek. Kami sangat kagum bahwa Yayi tidak seperti kami yang pulang dari Amerika lalu berani menyalahkan Bos di hadapan publik di kantor “seakan paling pinter”. Untung Kakeknya segera “mendapat kuliah” dari seorang Guru Besar sangat senior yang dengan kasih sayang memberi nasehat. sehingga dikembalikan sebagai “orang Jawa” yang sopan dan menghormati orang tua.
Yayi sejak belum sadar sebagai anak batita, sudah langsung merasakan cinta kasih nenek dan kakeknya sehingga tatkala tumbuh sebagai anak balita, langsung bersikap dan berperilaku bukan sebagai anak Belanda atau anak Barat, yang sombong, mementingkan kepentingannya sendiri, tetapi selalu menurut pada orang tua, kakek dan neneknya, sehingga apabila kakek dan neneknya minta cium, Yayi tidak berulah, langsung mendekat dan menyodorkan pipi biarpun setelah dicium selalu berkata “geli kena kumis bapak embah”.
Pada waktu anak-anak yang dipimpin mbak Ria, mas Fajar, dan dr. Rina mengatur bermacam bunga di pusara ibunda tersayang Astuty, Raili ikut tidak ketinggalan menancapkan bunga Rose merah dan bunga melati di pusara neneknya. Tidak lupa Raili pesan agar lukisannya ditempatkan di pusara neneknya karena lukisan itu khusus diciptakan untuk nenek tersayang. Karena lukisan itu dibuat pada satu lembar kertas folio, agak sukar menempatkan lukisan tanpa rebah ditiup angin. Akhirnya disaksikan Raili dengan kasih sayang, lukisan itu oleh dr. Rina dijepit disela-sela helm yang ada tepat di atas Nisan makam Ibu Astuty. Lukisan itu tidak lagi rebah ditiup angin. Maka dengan lega Yayi, mungkin merasa bahwa lukisannya telah diterima neneknya tersenyum dan berterima kasih.
Waktu ditanya apakah Raili melihat nenek, jawabnya tegas, Ya Raili lihat nenek tersenyum. Sungguh sangat mengharukan, membuat acara ziarah ke Makam nenek Astuty di Hari Raya ini penuh keharuan dan kebahagiaan yang luar biasa, apalagi anak cucu, cicit, keluarga dan sahabat yang ikut acara “Temu Zoom” masih ikut bersama Ziarah ke Makam almarhumah Ibu Astuty tercinta. Semoga almarhumah Ibu Astuty bahagia dan tentram di sisi Allah Tuhan Yang Maha Kuasa, segala dosa dan kesalahannya dimaafkan. Aamiin YRA.