Ekonomi Tempe
Tempe sebagai makanan khas Indonesia berbahan baku utama kedelai. Sayangnya kemampuan produksi pertanian kedelai kita masih kurang. Kita belum mampu memenuhi kebutuhan kedelai sebagai bahan baku utama tempe, makanan khas nasional kita. Ketergantungan terhadap kedelai impor masih sangat tinggi.
Tahun 2019 impor kedelai dari sejumlah negara sebesar 2, 67 juta ton atau senilai USD 1.06 juta. Tahun 2018 sebanyak 2, 85 juta ton atau senilai US 1,11 juta. Diperkirakan kebutuhan impor kedelai tahun 2021 baik untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, maupun produksi (termasuk untuk bahan baku tempe) sebesar 2,6 juta ton. Bukan angka yang kecil.
Padahal tahun 2019 produksi kedelai lokal diperkirakan hanya sekitar 520.000 ton. Sedangkan kebutuhan kedelai pada tahun 2019 saja bisa mencapai 3, 07 juta ton. Dari impor sebanyak itu, sebagian besar berasal dari Amerika Serikat, kita mengimpor dari negeri Paman Sam tersebut sebanyak 2, 51 juta ton pada tahun 2019 dan 2, 52 juta ton pada tahun 2018.
Tempe merupakan industri strategis. Terdapat 160.000 pelaku UMKM tempe, berkontribusi pada nilai tambah industri tempe sebesar Rp. 37 Trilyun pada tahun 2012. Pada tahun 2015 terjadi lonjakan kontribusi sebesar Rp 72 Trilyun (Kompas 21 Juli 2020). Industri tempe banyak menghidupi pelaku usaha mikro dan usaha kecil.
Ketergantungan pada kedelai impor menjadi tantangan besar bagi dunia pertanian kita. Karena bagaimanapun ini mengindikasikan kemandirian pangan kita masih sangat lemah. Padahal tempe merupakan makanan khas kebanggaan masyarakat kita, mengingat kandungan gizinya yang tinggi.
Disamping itu industri tempe banyak melibatkan UMKM dengan kontribusi ekonomi yang cukup besar. Tempe juga berperan besar dalam memenuhi kecukupan gizi masyarakat. Oleh karena itu harus ada jalan keluar, dari jebakan impor kedelai. Meningkatkan kapasitas hasil pertanian kedelai menjadi keniscayaan. Dalam jangka panjang, apabila kita memiliki komitmen yang kuat, harusnya kita bisa lebih mandiri. Masa iya untuk produk pertanian yang bisa kita hasilkan sendiri masih harus impor dari Amerika, seperti produk-produk berteknologi tinggi yang banyak kita impor juga.
Pilihannya adalah mandiri pangan, meskipun tentu para mafia impor akan berusaha melestarikan kegiatan impornya yang menguntungkan dirinya sendiri. Tapi Negara tidak boleh kalah, harus ada program mandiri pangan yang fokus, termasuk komoditas kedelai. Kalau tidak, maka tempe, makanan khas kita akan terancam eksistensinya.
(Aam Bastaman. aambastaman.com).
Photo: Sumber open access