Welas Asih (Compassionate)
Tulisan ini bersumber dari hasil diskusi webinar Sabtu/24 April 2021 Komunitas Tai Chi Indonesia dengan nara sumber seorang psikolog, Dr. Mona Sugianto.
Orientasi diri sendiri, seperti ditunjukkan dalam pertanyaan saya dapat apa? Atau apa untungnya buat saya? merupakan pertanyaan – pertanyaan yang menghambat relasi karena menunjukkan orientasi diri sendiri yang kuat. Tidak berpikir ataupun memiliki kepedulian pada pihak lain (others). Cerminan perilaku egoistik yang terlalu berfokus pada kepentingan diri sendiri.
Dalam hidup adanya pengalaman penderitaan (sufferingry) seringkali tidak bisa dihindarkan. Ada kalanya penderitaan begitu banyak dialami dalam kehidupan.
Pertanyaanya bagaimana penderitaan dapat membuat kita lebih baik, lebih terkoneksi, baik vertikal (dengan Sang Pencipta). Maupun secara horizontal (dengan sesama).
Bagaimana memahami penderitaan sebagai sesuatu yang berharga (meaningful) dan bahkan bisa menciptakan rasa syukur.
Kita menyaksikan tingkat kriminalitas makin tinggi, penjara pun makin penuh. Namun diyakini tambahan penjara bukanlah solusi.
Tantangannya bagaimana menurunkan tingkat kriminalitas, seperti kampanye yang disampaikan oleh Kepolisian “ Turn Back Crime”. Ditemukan fakta – fakta yang miris: Indonesia punya predikat surga bagi para predator sex, yang mengancam anak – anak.
Apakah kita perlu ‘balas dendam” kepada para pelaku kriminal? Ternyata balas dendam hanyalah menambah permasalahan, dan menjadi sumber penyakit bagi siapapun yang memilikinya. Hidup yang sehat adalah memiliki pikiran positif dan terbebas dari pikiran dendam. Seribu kawan akan dianggap terlalu sedikit dan satu musuh akan dilihat sangat banyak.
“Sharing” Dr. Mona Sugianto 24/2/21 di Komunitas Tai Chi Indonesia, memperlihatkan ada temuan sifat berupa kesadaran yang sejal awal manusia sudah memilikinya, yaitu “compassionate” – perasaan welas asih, yaitu bentuk cinta yang spesifik yang didasari keinginan dan tindakan yang tulus untuk mengurangi penderitaan orang lain. Posisi welas asih (compassionate) lebih luas, berada di atas cinta dan empati.
Rasa welas asih sudah ada dalam diri manusia sejak manusia ada. Juga di perkuat ajaran semua agama. Sifat ini mengontrol emosi manusia yang berlebihan dalam membela dirinya dan kelompoknya. Mengontrol dalam kecenderungan manusia menyalahkan pihak lain.
Welas asih memiliki pemahaman bahwa orang lain bisa menderita, seperti dapat dialami dirinya sendiri. Pemahaman ini menjadikan orang tidak cepat menyalahkan orang lain, apalagi memusuhi dan menyerang ataupun dendam.
Memupuk kembali welas asih dapat dimulai dari institusi keluarga, yang merupakan institusi paling penting dan ada di semua budaya dan kelompok masyarakat, disamping Pendidikan di sekolah.
Dari keluarga dapat dimulai penularan belas kasih untuk membangun “trust” dan kesadaran persaudaraan dalam kemanusiaan, sehingga segala bentuk radikalsime yang berorientasi “self”, bersifat destruktif dengan menganggap yang lain diluar diri dan kelompoknya sebagai musuh yang harus dihancurkan, bisa dihapuskan di Bumi Pertiwi.
Para teroris dan para pelaku kriminal pada dasarnya adalah orang – orang yang hidupnya menderita, sudah kehilangan jiwa belas kasih karena orientasi “self” yang kuat, karena dogma yang salah, menjadikan mereka makhluk yang perlu diluruskan, dikasihani dan diberi pencerahan. Hukum penting, namun upaya pencegahan sangat penting dengan pendekatan welas asih (compassionate) untuk dapat kembali menemukan dirinya sendiri.
Rasa welas asih memahami bahwa kehidupan manusia penuh ujian dan penderitaan. Hidup tidak selalu berjalan linear. Penderitaan juga dialami pelaku kejahatan. Pemahaman kejahatan jangan dibalas dengan tindakan kekerasan di luar hukum menjadi salah satu landasan, karena berarti sama-sama memelihara kejahatan. Mengajarkan untuk bisa memaafkan. Karena semua orang tidak terbebas dari ujian dan cobaan.
Ada pepatah, jangan membangun banyak tembok yang memisahkan, tapi bangun banyak jembatan yang mempersatukan.
(Editor: Aam Bastaman)
Foto: Sumber open access