Kekuatan Kepemimpinan Cerdas Secara Emosi
Saat ini kita dihadapkan pada persoalan yang tidak berawal dan berujung. Seperti halnya soal kepemimpinan nasional, hal ini memang sangat menarik untuk diperbincangkan, ada yang mendukung dan ada pula yang merasa kecewa, menganggap bahwa kepemimpinan saat ini dianggap kurang berbobot dan jauh dari harapan rakyat banyak. Di alam demokrasi seperti yang terjadi sekarang ini, perbedaan pendapat dan cara berpikir dimungkinkan dan mendapat tempat yang cukup baik. Pro dan kontra soal kemampuan dan kapasitas seorang pemimpin selalu saja muncul di berbagai diskusi, baik diskusi secara ilmiah di kampus maupun diskusi secara terbuka di depan publik.
Sebagai contoh di Indonesia, dalam menangani permasalahan Pandemi Covid 19 yang hampir satu tahun ini, tidak sedikit orang yang mengkritik apa yang dilakukan oleh pemerintah. Dari kebijakan yang dikeluarkan, mulai adanya PSBB dan sekarang muncul kebijakan baru yaitu Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM skala mikro, banyak yang merasa bahwa kebijakan itu dianggap kurang efektif, karena terbukti penambahan kasus Covid 19 terus saja mengalami peningkatan. Bahkan ada yang secara terang-terangan melakukan propaganda dan mengkritik secara tajam oleh apa yang dilakukan oleh pemerintah. Tidak sedikit pula orang yang menyatakan bahwa, saat ini rakyat dianggap sebagai kelinci percobaan. Dengan mencoba mengeluarkan kebijakan dan bila ternyata dalam pelaksanaan di lapangan tidak efektif, maka dengan mudah diganti dengan kebijakan baru, sehingga terkesan perencanaannya tidak matang dan asal-asalan.
Sebagai contoh dalam kehidupan berpolitik, meskipun perbedaan itu diperbolehkan secara undang-undang, namun yang terjadi, kadang masalah pribadi dijadikan senjata untuk menjatuhkan lawan, ini yang perlu mendapat perhatian kita semua. Silahkan berbeda pendapat, tetapi harus diingat, kita boleh saja berbeda tetapi kita tetap satu, yaitu Indonesia. Ini yang perlu terus digalakkan dan disebarluaskan, bukannya yang beda harus dimusnahkan atau diperkarakan secara hukum. Sebagai seorang pemimpin yang handal, harusnya bisa mengayomi seluruh warganya, baik warga yang mendukung maupun yang tidak mendukung.
Bila kita menengok ke belakang, di masa pemerintahan Orde Baru misalnya, hampir tidak terdengar adanya persoalan yang berarti tentang kepemimpinan nasional. Kritikan tajam kepada pemerintah dan kebijakan yang dikeluarkan pada waktu itu hampir tidak terlihat, semua berjalan tanpa adanya kritikan yang berarti. Kebijakan pemerintah pusat langsung diimplementasikan sampai ke daerah dengan sangat mulus, berjalan bagai air mengalir dari hulu sampai hilir. Namun, setelah muncul masa reformasi, pro dan kontra mulai bermunculan. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang sedang berkuasa langsung mendapat tanggapan dan kritikan yang cukup tajam, bahkan kadang masih dalam wanaca sekalipun sudah dikritik. Yang paling menarik adalah, kita saksikan sesama anak bangsa saling menunjukkan kebolehannya dan dengan tidak segan-segan menjatuhkan temannya sendiri di depan publik. Tidak sedikit dari sesama anak bangsa hanya karena perbedaan politik dan cara pandang bisa menjadi permusuhan yang mengerikan. Mungkin yang menjadi pertanyaan banyak orang adalah, kapan kita akan bisa bersatu dan hidup dalam kedamaian seperti yang diharapkan para leluhur kita ?
Saya ingin mengajak kita semua untuk menelaah apa yang pernah diutarakan oleh seorang penulis buku terkenal dari Harvard University, Amerika Serikat, Daniel Goleman dalam bukunya berjudul Primal Leadership, bahwa tugas dasar seorang pemimpin adalah memancing tumbuhnya perasaan yang positif dalam diri orang-orang yang dipimpinnya. Ini akan bisa terjadi jika seorang pemimpin menciptakan apa yang disebut dengan Resonance, sumber sifat-sifat positif yang mampu menggerakkan orang untuk mengeluarkan upaya terbaiknya. Oleh karena itu tugas dasar kepemimpinan itu bersifat emosi. Meskipun hal ini tering terabaikan, dimensi kepemimpinan akan menentukan, apakah yang dilakukan oleh seorang pemimpin itu berhasil atau tidak, sesuai atau tidak dengan yang diharapkan.
Kecerdasan emosi atau emotional intelligence itu sangat penting bagi keberhasilan kepemimpinan. Terobosan baru riset mengenai otak menunjukkan bahwa suasana hati dan tindakan pemimpin berdampak besar terhadap orang-orang yang dipimpinnya. Penemuan ini memberi kerangka baru tentang kekuatan kepemimpinan yang cerdas secara emosi untuk menginspirasi, membangkitkan gairah dan antusiasme serta membuat orang tetap termotivasi dan berkomitmen. Kunci utama dari kepemimpinan dalam bekerja demi kebaikan dan keuntungan bagi semua orang itu terletak pada kompetensi kecerdasan emosional pemimpin itu sendiri, bagaimana memimpin dirinya sendiri dan masyarakatnya. Pemimpin yang hebat adalah mereka yang mampu memaksimalkan manfaat primal leadership untuk bisa menggerakkan emosi masyarakat ke arah yang benar, untuk itu kemampuan kecerdasan emosi itu sangatlah penting. Jadi seorang pemimpin yang handal, tidak cukup hanya terlihat baik, jujur dan sopan di depan publik, tetapi harus memiliki kemampuan yang kuat untuk menggerakkan orang lain, dalam hal ini adalah masyarakat untuk bisa bekerja secara mandiri, seluruh rakyatnya dapat hidup sehat dan sejahtera serta memiliki keterampilan yang memadai serta kehidupannya semakin lama semakin membaik secara ekonomi dan sosial.
Selain memiliki pengaruh yang lebih luas, dan bukan sekedar apa yang dilakukan para pengikut itu berjalan dengan baik, tetapi lebih dari itu, para pengikut juga mencari hubungan emosi yang mendukung dari seorang pemimpin, dalam hal ini mencari empati. Jika seorang pemimpin mampu menggerakkan emosi secara positif, maka mereka akan memancing keluar sisi terbaik dari setiap orang, sehingga memiliki dampak sebagai resonance, yang artinya mampu menggerakkan emosi masyarakat secara positif. Bila tidak maka akan muncul apa yang disebut dengan dissonance, yang artinya menggerogoti landasan emosi yang baik. Jadi layu dan berkembangnya suatu organisasi, baik itu organisasi pemerintahan maupun organisasi non pemerintah, itu tergantung pada efektifitas pemimpin di dalam dimensi emosi yang primal itu.
Bila kita memiliki pemimpin yang cerdas secara emosi, maka masyarakat akan merasakan tingkat kenyamanan yang saling menguntungkan, karena mereka bisa saling membagi ide dan saling belajar satu dengan lainnya, terutama dalam membuat keputusan bersama, dan menyelesaikan tugas bersama. Dengan demikian akan membentuk suatu ikatan emosi yang membantu mereka untuk tetap terfokus, bahkan di tengah-tengah perubahan besar dan ketidakpastian sekalipun. Pemimpin yang cerdas secara emosi itulah yang akan tahu bagaimana cara membentuk ikatan seperti itu. Mudah-mudahan kita semua selalu dalam kondisi sehat dan hidup dalam kedamaian di alam demokrasi yang penuh dengan ketidak-pastian ini. (Penulis adalah Dosen Pascasarjana dan Anggota Senat Universitas Satyagama Jakarta)