Beragam Makna Kebahagiaan
Catatan: Aam Bastaman
Senior alumni AFS saya mengirimkan tulisan “ Happiness is letting go of life is supposed to look like “. Sayang tidak disebutkan sumbernya.
Kiriman pesan berikutnya isinya sangat mirip: “ Happiness is the abscence of the striving for happiness “. Kali ini dicantumkan sumbernya : Chuang Tzu (Filsuf Cina).
Apa yang disampaikan Chuang Tzu dapat dimaknai secara berbeda, namun arti secara tata bahasa kira – kira : Bahagia itu jika kita tidak mengejar kebahagiaan. Dengan kata lain jika kita mengejar kebahagiaan tidak akan bahagia. Mirip –mirip dengan tulisan pertama : Kebahagiaan itu jika tidak memperdulikan kehidupan ideal yang ingin dimiliki.
Perspektif Agama (Islam) disebutkan sumber kebahagiaan itu dengan bersyukur dengan apapun yang diberikan Tuhan. Sederhana, kebahagiaan bisa dimiliki semua orang. Faktanya uang tidak dapat membeli kebahagiaan. Kebahagiaan tidak identik dengan kekayaan.
Menurut riset oleh World Value Survey, pengaruh sosial lainnya dapat mengatasi kekurangan atau ketiadaan uang/kekayaan. Contoh : Bagaimana rakyat miskin di Calcutta,India merasa sedikit lebih berbahagia dibanding masyarakat yang berkecukupan di belahan dunia lain. Seperti dilansir oleh majalah Time (25/2/2005), yang memuat edisi mengenai kebahagiaan, yang sempat mendapat perhatian publik secara besar: The Science of happiness.
Salah satu laporan hasil penelitian, bagaimana masyrakat miskin di Filipina bisa tersenyum lebar dan nampak siap berbahagia dibandingkan beberapa msyarakat dikawasan lain.
Masih menurut laporan Time, di Timur urusan kebahagiaan bukan hanya urusan individual, tapi juga sosial. Riset mengenai kebahagiaan di Calcutta merupakan metode berdasarkan urutan (ranking) kebahagiaan manusia dengan mengunakan skala 1-7. Calcutta yang miskin mendapatkan skor 4.
Fakta lain, bisa mendukung tentang penelitian di atas: Orang – orang yang mengakhiri hidupnya sendiri bukanlah orang – orang yang kekurangan secara materi, bahkan banyak yang kaya raya, memiliki posisi tinggi di masyarakat.
Angka bunuh diri yang tinggi justru dialami oleh masyarakat negara-negara yang secara ekonomi maju dan sejahtera, seperti Korea Selatan dan Jepang. Salah satu alasan tingginya tingkat bunuh diri adalah masalah mental. Meskipun ada juga yang berkaitan dengan masalah harga diri dan pertanggungjawaban. Terlepas dari alasannya bunuh diri mencerminkan sikap tidak menerima kehidupan.
Jadi acuan agama tentunya lebih tepat: Untuk selalu bersyukur, maka akan didapatkan kebahagiaan. Bersyukur karena kita bahagia juga tepat, karena bersyukur dan bahagia itu kerap berputar, dapat menjadi penyebab hubungan sebab-akibat. Namun bersyukur merupakan penerimaan dalam segala situasi yang ditakdirkan Tuhan sebagai yang terbaik bagi manusia.
Temuan riset Universtas Harvard menunjukkan mereka yang panjang umur dan memiliki tingkat kesehatan mental yang baik adalah mereka yang memiliki relasi sosial yang baik. Disebutkan pula rasa kesepian dan keterasingan sosial dapat memperburuk kesehatan yang dapat memperpendek umur.
Ini menunjukkan kebahgiaan berhubungan kuat dengan relasi sosial, seperti silaturahmi, persahabatan, kepemilikan jejaring sosial yang baik. dan disamping itu juga aspek spritual, seperti diwujudkan dengan rasa syukur.
(Aam Bastaman. UTrilogi. Blog: aambastaman.com)