Perilaku Konsumen: Dari Ekonomi ke Psikologi
Catatan: Aam Bastaman
M. Chasib Basri (Kompas 25/9/2020), mengutip apa yang disampaikan Derek Thomson, Jurnalis The Atlantic bahwa pendekatan paling rasional dalam studi yang berkaitan dengan perilaku manusia adalah mengasumsikannya sebagai tidak rasional.
Thomson mengacu pada analisis tajamnya Richard Thaler penerima Nobel Ekonomi 2017 dari University Of Chicago Booth School of Business. Thaler secara karikatur memberi contoh yang menarik tentang Mr. Spock dan Homer Simpson.
Mr. Spock merupakan tokoh dalam film Star Trek, dengan karakter yang dingin, rasional, selalu berhitung dengan cermat. Sedangkan Homer merupakan tokoh dalam kartun The Simpson, dengan karakter yang rakus, pemalas, emosional, tidak suka memperhitungkan.
Menurut Thaler kerap orang mengasumsikan perilaku ekonomi mirip Mr. Spock, tokoh dalam film Star Trek tersebut, yang dingin, rasional, berhitung dengan cermat, dan selalu melakukan kalkulasi dalam pengambilan keputusannya. Sayangnya manusia pada umunya lebih dekat pada Homer, tokoh fiksi dalam kartun The Simpson.
Homer cerminan figur yang “acakadut” (istilah M. Ch. Basri). Ia tambun karena rakus akan junk food, pemalas, emosional, kerap tak berhitung dalam keputusannya.
Mengambil perspektif Thaler mengenai kecenderungan irasionalitas manusia pada umumnya, maka perilaku konsumen, mulai dari pencarian, pemilihan alternatif, keputusan pemebelian, penggunaan, sampai pasca pembelian/penggunaan, bisa dipengaruhi pertimbangan yang sifatnya non-rasional.
Dari argumentasi inilah dapat dilihat orang (konsumen) mengonsumsi suatu produk (barang atau jasa) bukan hanya karena fungsinya, apa yang bisa dilakukan oleh produk tersebut, tetapi apa makna dari pembelian produk tersebut. Sehingga konsumsi menjadi simbol status sosial. Oleh karena itu fenomena pemasaran semakin bergeser ke psikologi (sosial).
Dalam fenomena ekonomi, manusia bersifat rasional, seperti memaksimalkan kegunaan dan fungsi. Terjadi pergeseran kecenderungan disebagian segmen pasar bukan fungsi semata – “Beyond Its Fuction”. Tapi makna dari konsumsi tersebut sebagai simbol status, untuk prestis, pengakuan, sampai kesenangan (fenomena hedonisme). Sehingga membahas “pasar” tidak bisa hanya dilihat dari perspektif ekonomi saja, tetapi juga perspektif disiplin lainnya, seperti psikologi atau bahkan sosiologi dan ilmu politik.
Perilaku manusia (sebagai konsumen) tidak bisa dihitung secara matematis, ataupun diprediksi melalui pendekatan rasional-nya disiplin ekonomi semata.
(Aam Bastaman. UTrilogi. Pemilik blog aambastaman.com)