Posdaya Menyegarkan Pengembangan Seni Rakyat di Desa
Kegiatan Kelompok keluarga secara gotong royong di tingkat Desa yang dikembangkan awalnya olah mahasiswa yang melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) ke desa-desa akhirnya meluas ke berbagai bidang. Kegiatan yang diawali dengan niat agar para mahasiswa yang mengolah kegiatan mengajar ke desa ada Tim terdiri dari keluarga desa melanjutkan dan menjamin suatu gerakan yang mandiri itu berhasil. Ternyata mereka membantu, melestarikan dan mengawasi gerakan mereka menjadi suatu lembaga pedesaan yang dinamakan Pos Pemberdayaan Keluarga atau Posdaya. Di Desa, Posdaya biasanya pengurus dan pemimpinnya dipilih dari ibu-ibu yang dianggap menonjol atau di tuakan di suatu desa. Pemimpin itu ada yang kemudian membentuk pengurus seakan suatu organisasi dengan sekretaris dan bagian keuangan atau lebih lengkap dengan seksi-seksi lain yang dianggap perlu. Mereka belajar dari Gerakan PKK yang ada pada setiap desanya.
Pengembangan Posdaya yang diprakarsai oleh Yayasan Damandiri dan sampai tahun 2015 dipimpin oleh Prof Dr Haryono Suyono mengalami banyak kemajuan. Posdaya yang maju mulai menggagas bahwa mereka juga melebar dalam bidang budaya seperti seni suara dan tarian guna menarik minat anggota lebih banyak mau bergabung dalam kelompok. Anak-anak muda atau ibu-ibu yang dalam usia remaja suka menyanyi atau menari biasanya ikut bergabung, biarpun poster tubuhnya tidak lagi ideal, langsing dan menarik, tetapi berhasil menarik perhatian anggota lain karena memiliki rasa [percaya diri yang kuat. . Dari foto dokumentasi yang dikumpulkan oleh Dr. Mulyono D. Saputra dapat dikenang beberapa contoh lemajuan tersebut.
Dari tahun ke tahun kegiatan seni budaya dalam Posdaya itu makin marak, sehingga dalam ulang tahun Damandiri yang kedua puluh tumbuh gagasan dilakukan Konvensi guna menampung kegiatan seni budaya tersebut secara nasional. Setelah gagasan itu dicetuskan ternyata menarik peserta kelompok seni budaya yang berasal dari desa dari seluruh Indonesia. Gagasan itu mendapat tanggapan positif dari Posdaya dari banyak daerah. Kemudian Pekan Konvensi itu dirancang secara nasional diadakan pada saat ulang tahun Yayasan Damandiri dengan gelar seni itu sebagai acara utama yang menarik. Karena perhatian yang melimpah, Konvensi Seni Budaya Posdaya berlangsung selama dua hari di Semarang dan dihadiri tokoh-tokoh dari kalangan Pemerintah Daerah dan Perguiruan Tinggi dar seluruh Indonesia dan masyarakat pengelola Posdaya.
Agar Tontonan Seni dalam Posdaya diikuti “partisipasi luas” disyaratkan setiap pertunjukan seni minimal diikuti oleh dua orang peserta, bukan perorangan, sebagai cermin latihan dan kegiatannya melibatkan khalayak untuk merangsang “hidup gotong royong”, bukan mengembangkan sifat “individualisme yang menonjol”.
Bentuk seni yang disajikan dalam Konvensi itu ternyata bervariasi, ada yang berbentuk tari tradisional, ada yang berbentuk tarik suara, berbentuk drama singkat, ada yang mencoba keluar dengan gagasan “dagelan lucu” yang dianggap akan menarik perhatian.
Pada segmen ini terjadi “kecelakaan” yang menimpa rombongan dari suatu daerah yang mengirim rombongan dari desa dagelan bermain sangat lucu di desanya. Tetapi pada panggung nasional di Semarang tidak ada seorang penonton yang ketawa, sehingga akhirnya pemain merasa aneh. Di kampung dengan budaya lokal, dagelan yang mereka mainkan terkesan sangat lucu, tetapi dalam forum nasional dengan latar belakang budaya penonton yang berbeda permainan mereka sama sekali tidak menarik sehingga dengan sangat menyedihkan para pemain meminta maaf dan turun panggung.
Suatu gagasan yang apabila bisa berkembang baik para pemain di daerahnya bisa menjadi awal dari pembangunan seni budaya sebagai modal dikembangkannya Desa Wisata yang muncul dalam Program Pembangunan Desa dan Masyarakat Desa yang sejak tahun 2015 digalakkan di Indonesia. Semoga seni budaya makin menjadi bagian dari pengembangan jiwa seni dan budaya yang mendapat dukungan masyarakat luas.