Saya dalam Tim Kerja Pak Subiakto Tjakrawerdaya
“Jadwal” kepergian kita ke alam baka hanya Allah yang tahu, namun tentunya ini suatu kepastian. Belakangan ini kita banyak kehilangan tokoh-tokoh nasional yang telah memberi warna dalam kehidupan berkebangsaan kita. Salah satunya adalah Dr. (HC) Subiakto Tjakrawerdaya, Ketua Yayasan Damandiri, Ketua Yayasan Pengembangan Pendidikan Indonesia Jakarta (YPPIJ) yang menaungi dan membina Universitas Trilogi, serta mantan Menteri Koperasi di Era Pemerintahan Presiden Suharto.
Berita meninggalnya cukup mengejutkan, karena terbilang mendadak. Almarhum meninggal di Rumah Sakit Pusat Pertamina pada tanggal 2 Januari 2021, karena sakit. Beberapa waktu sebelumnya masih aktif memimpin rapat, terutama di Gedung Granadi, kantor Yayasan Damandiri, sebuah yayasan sosial yang didirikan oleh Presiden Soeharto, Prof. Haryono Suyono, Sudwikatmono dan Sudono Salim (Liem Sio Liong).
Sebagai orang yang pernah mendampingi Pak Biakto tentu banyak ingatan dan kenangan selama berinteraksi dan bekerja bersama-sama. Saya mengenal Pak Biakto sebagai pekerja keras, sangat perfeksionis, dan seringkali tidak sabaran. Selalu fokus pada “how to get things done”, punya perhatian besar pada detail, tapi juga sangat peduli prosedur.
Bersama Prof. Haryono Suyono, pembina yayasan dan salah satu tokoh pendiri Universitas Trilogi, Pak Biakto terlibat langsung dalam penyusunan persiapan transformasi STEKPI menjadi Universitas Trilogi. Saaya sempat mendampingi pak Biakto dalam perumusan Visi, Misi dan Nilai-nilai Universitas Trilogi, saat awal permulaan pendirian. Bukan itu saja, pembuatan himne Universitas Trilogi juga tidak terlepas dari perhatiannya. Sampai kemudian logo dan warna kekhasan universitas, yang terinspirasikan dari prinsip-prinsip Ekonomi Biru yang dipelopori Gunter Pauli.
Memang dengan ritme kerjanya yang tinggi tidak semua orang bisa menyesuaikan dengan tuntutan dan pendekatan yang menjadi ciri khasnya dalam pekerjaan. Suaranya sering menggelegar saat target hasil kerja tidak sesuai dengan harapan. Emosinya-pun bisa meletup. Tapi kemudian bisa berbicara lembut pada saatnya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.
Banyak orang bilang muka saya mirip dengan pak Biakto. Sampai ada seorang mitra universitas yang bertanya: “Pak Subiakto itu apanya pak Aam, kok mirip sekali.” Tentu kalau badan kami berbeda jauh. Pak Biakto tinggi semampai. Saya mungkin dulu kurang gizi, tidak memiliki tubuh tinggi.
Kalau muka mirip mungkin saja ada kesamaan asal daerah. Meskipun saya orang Sunda dan senang disebut orang Sunda, tapi ada sebagian darah Cilacap juga dari leluhur sebelah dari orang tua (ayah) saya. Konon dulu kakeknya kakek hijrah ke Pangandaran dari Cilacap karena ada perselisihan keluarga. Orang tua saya memang dari Pangandaran, yang dengan Cilacap, tempat kelahiran pak Biakto hanya dipisahkan oleh sungai Citanduy.
Dinamika kerja saya dengan pak Biakto-pun kadang seperti pasang surut. Meskipun saya selalu mencoba memahami jalan pikirannya, namun tidak jarang juga berbeda pendapat. Pak Biakto sering memberikan ruang untuk beda pendapat, tapi ada kalanya kalau ia merasa terlalu jauh perbedaan jalan pikirannya maka bisa mencak-mencak, juga dengan nada tinggi. Habis itu besoknya biasa-biasa lagi, seolah tidak ada apa-apa.
Saat Pak Biakto menjadi Rektor pertama Universitas Trilogi, saya diminta untuk menjadi Direktur Akademik (waktu itu belum ada jabatan Wakil Rektor). Banyak tantangan dalam turut memimpin universitas yang baru dilahirkan ini. Bagi saya ini periode pematangan dalam pembelajaran organisasi. Iklim kerja sangat dinamis dengan tensi yang cukup tinggi.
Setelah itu untuk mengisi kekosongan rektor universitas Trilogi, setelah periode Prof. Asep Saefuddin, Pak Biakto (Yayasan) mengangkat saya sebagai Pjs. Rektor. Keputusan mengangkat saya diambil terutama karena universitas akan menghadapi akreditasi institusi. Padahal saya tahu pak Biakto sebenarnya menginginkan seorang guru besar yang memimpin universitas. Waktu itu jabatan akademik saya masih Lektor., dalam persiapan ke Lektor Kepala. Namun menghadapi akreditasi ini rektor nampaknya harus orang dalam, yang relatif lebih mengetahui internal organisasi. Waktu itu para guru besar yang ada merupakan guru besar eksternal.
Berkat kerjasama unsur internal universitas, alhamdulillah akreditasi institusi yang pertama mendapatkan nilai B. Ini buah kerja seluruh komponen di universitas, baik dosen maupun tenaga kependidikan, serta unsur penunjang lainnya. Peringkat universitas-pun perlahan naik. PMB pun tidk jelek-jelek amat, meskipun masih dibawah harapan. Tentu saja masih banyak hal yang perlu dibenahi.
Namun hubungan kerja rektorat dan yayasan-pun mengalami dinamika yang tinggi, terutama soal penanganan beberapa aspek akademik, seperti kurikulum. Ada saatnya saya menyampaikan pandangan saya, yang berbeda dengan pak Biakto. Pernah saya sebagai rektor membuat surat yang isinya sebenarnya mengingatkan mengenai fungsi dan tugas rektor dan yayasan, supaya ada pemisahan kewenangan yang jelas, dengan mengacu pada tata kelola universitas. Namun beliau tidak menerima. Saya tahu beliau marah.
Tepat satu tahun menjabat saya lengser, diganti, sesuai dengan tugas sebagai pejabat sementara (Pjs). Kemudian saya diminta fokus untuk mengurus kenaikan jenjang kepangkatan akademik saya. Setelah saya lengser sebagai rektor, saya merasa ada perubahan sikap pak Biakto, sangat baik! Setiap ketemu menyapa dengan ramah, menanyakan kabar, dengan senyuman yang tulus. Juga mendorong saya cepat-cepat mengurus guru besar. Kebetulan persyaratannya belum cukup.
Pernah saya diundang rapat dalam kapasitas sebagai tim penyusun buku keteknososiopreneuran di gedung Granadi. kebetulan, di saat yang sama saya harus mengajar. Saya minta ijin ke Pak Biakto untuk meninggalkan rapat sebentar karena harus komunikasi dengan mahasiswa via Zoom.
Pak Biakto, saya masih ingat, sampai menyediakan ruangan dan memastikan saya bisa berkomunikasi dengan mahasiswa. Pak Biakto sendiri yang membantu mengatur ruangan untuk perkuliahan via Zoom, sampai urusan penerangan, untuk memastikan semuanya ok.
Saya sebenarnya sempat minta ijin tertulis untuk pamit. Ada tawaran dari satu perguruan tinggi besar terakreditasi A, dekat rumah, yang saya anggap sangat menarik dan menantang. Yang terutama adalah lokasinya yang hanya 20 menita-an dai rumah di Tangerang. Mengingat usia saya yang semakin bertambah, tidak muda lagi, maka ini kesempatan baik, plus kesehatan yang harus mulai diperhatikan, toh masih mengabdi di dunia pendidikan juga. Disamping itu, Saya masih dimungkinkan bisa mengajar di universitas Trilogi. Jadi saya ke pak Biakto mengajukan permohonan pensiun dini dari Universitas Trilogi, dengan tembusan ke Rektor, Prof. Mudrajat Kuncoro.
Saya baru mengetahui ada email dari pak Biakto, sebelum wafat. Isinya: “Pak Aam, sayang sekali anda harus minta pensiun dini, Karena U Trilogi masih sangat membutuhkan pengabdian anda. Selain itu, UTrilogi punya gagasan2 yang luas dan dalam untuk mendapatkan guru besar dan pengakuan dunia. Mohon dipertimbangkan”.
Surat yang bernada lembut dan rendah hati, jauh dari kesan keseharian pak Biakto, yang sebagian orang menganggapnya keras dalam memimpin. Saya tulis ulang sesuai aslinya.
Oleh karena itu saya harus meminta maaf pada universitas besar dekat rumah saya, karena saya perlu meninju ulang rencana pemindahan “home base” saya.
Pak Biakto meninggakan “legacy” yang perlu dirawat dan dikembangkan - Universitas Trilogi.
Kini estafet kepemimpinan Yayasan (YPPIJ) yang menaungi Universitas Trilogi beralih ke seorang tokoh muda, Prof. Arissetyanto Nugroho untuk menjadi lokomotif pengarah dalam mewujudkan Universitas Trilogi yang semakin kuat.
(Aam Bastaman, mantan Pjs. Rektor Universitas Trilogi).
Photo: Bersama alm. Pak Biakto dan Bu Utari Nur Permadi, usai peresmian transformasi STEKPI menjadi Universitas Trilogi.