Pengalaman “menjabat Presiden RI” untuk beberapa jam
Hari ini tanggal 9 September adalah “Hari Olah Raga Nasional” yang biasanya diperingati khusus dengan menggelar upacara bendera di lapangan Olah Raga yang dipenuhi pasukan TNI, POLRI, pegawai negeri, pensiunan, pemuda, pelajar SMP dan SMA, serta atlit-atlit segala cabang olah raga, suatu peringatan yang sangat mengagumkan karena para atlit memiliki sahabat dan rekan kerja yang sama-sama sehat, saling mengagumi, gagah dan ceria sesama komponen pembangunan bangsa. Begitu juga pada tanggal 8 September 1999, Kantor Kepresidenan BJ Habibie disibukkan dengan persiapan Peringatan Hari Olah Raga Nasional yang santer diberitakan akan diperingati di Stadion Monumental “Manahan” di Solo, yang konon tempat awal diselenggarakannya Pesta Olah Raga PON di masa lalu. Sejak pagi Menteri Pemuda dan Olah Raga, dr. Agung Laksono, dengan staf sudah ada di Kantor Menko Kesra Taskin di Merdeka Barat untuk bersama-sama mengadakan pertemuan persiapan akhir keberangkatan Presiden BJ Habibie ke Solo guna memberikan amanat pada Peristiwa Nasional itu. Gagasan mengadakan Peringatan Hari Besar Nasional di daerah, di Solo, tergolong baru, dan diharapkan kesediaan dan kemampuan daerah, akan memberi dampak menyebarnya perhatian nasional serta kemampuan menjadi penyelenggara acara nasional, menyebarnya kesematan dan fasilitas serta menyebarnya kebanggaan nasional di seluruh daerah.
Haornas diperingati bertepatan dengan Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama di Indonesia yang digelar di Kota Praja Surakarta (sekarang Kota Solo, Jawa Tengah), 9-12 September 1948. PON I yang diselenggarakan 9 September 1948 diresmikan oleh Presiden Soekarno. Penutupan PON I pada 12 September 1948 dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX selaku Komite Olimpiade Republik Indonesia (PON). PON I diikuti atlet dari 13 kota, yakni Yogyakarta, Madiun, Magelang, Semarang, Bandung, Malang, Solo, Surabaya, Pati, Kedu, Banyuwangi, dan Jakarta.
Pesta olahraga ini diikuti sekitar 600 atlet yang memperebutkan medali dari sembilan cabang, yakni bulu tangkis, tenis, panahan, renang, basket, lempar cakram, sepak bola, dan atletik. Kala itu, kontingen Solo menjadi juara PON I dengan membawa pulang 36 medali dari total 108 medali.
Selain melihat kemampuan atlet lokal, PON I digelar guna memperlihatkan kepada bangsa lain bahwa Indonesia mampu menggelar pesta olahraga berskala nasional, meski wilayahnya dipersempit akibat Perjanjian Renville. Kesuksesan PON I itulah yang meningkatkan semangat pemerintah menggelar dan mengirim atlet lokal mengikuti pesta olahraga lainnya. Sejak saat itu, tanggal 9 September selalu diperingati sebagai Haornas. Peringatan ini dilakukan guna mengingatkan masyarakat untuk membudayakan olahraga.
Dengan membawa bahan Pidato yang sudah diedit rapi, Menko Kesra dan Menpora menghadap Presiden Habibie di Istana. Seperti biasa, Presiden dengan ramah menerima kami, melihat naskah Pidato dan memberikan apresiasi atas Pidato yang telah dipersiapkan. Tidak disangka-sangka, karena akhir-akhir periode itu setiap kunjungan Presiden BJ Habibie selalu digunakan oleh mereka yang kurang setuju bagaimana Presiden BJ Habibie mengatur jalannya pemerintahan, maka beliau memutuskan untuk “tidak hadir pada Peringatan Hari Olah Raga Nasional” di Solo itu. Tanpa menunggu pertimbangan beliau memutuskan Menko Kesra mewakili Presiden RI didampingi oleh Menpora.
Segala sesuatu segera dipersiapkan dengan matang untuk rombongan Menko Kesra dan Menteri Olah Raga serta stafnya melalui penerbangan lewat Semarang. Di Semarang kami terkejut bahwa Gubernur Jateng, Bapak Mardiyanto, dan Pangdam Diponegoro, Jendral Bibit Waluyo, memberikan pesan bahwa perjalanan rombongan dari Semarang ke Solo dikawal dengan protokol pengawalan Presiden RI agar peserta upacara Haornas di Solo tidak kecewa bahwa Presiden RI tidak bisa hadir. Barulah kita sadar bahwa “kami diperlakukan sebagai Presiden RI” yang “ternyata tidak bebas” dan “harus tunduk pada aturan protokoler”.
Sebelum sampai ke Lapangan Olah Raga di Solo, yang penuh barisan berjajar rapi, “ajudan Presiden memberi pesan” agar kami “tidak melakukan salaman satu demi satu kepada tamu yang hadir” di ruang VIP, tetapi segera duduk manis di tempat yang di sediakan. Ini dimaksud agar kami tidak kelihatan publik yang ada di lapangan atau tamu-tamu VIP yang penuh sasak. Jadilah “sosok Haryono” seorang sosok “Presiden” yang tidak ramah, sedikit senyum, “sangat dibatasi” gerak geriknya demi acara yang tertib dan berjalan lancar.
Segera acara dimulai dengan tertib, sangat sakral dan luar biasa karena Panitia Daerah betul-betul menunjukkan bahwa mereka bisa menjadi Penyelenggara Acara Nasional lengkap yang berskala besar dengan sempurna. Sambutan dibatasi dengan Walikota dan Gubernur yang memberi gambaran tentang makna Hari Olah Raga Nasional dengan awalan PON di Solo yang gegap gempita. Sebelum giliran Pidato Presiden BJ Habibie, kami dipesan agar tidak mulai pidato dengan permintaan maaf bahwa Presiden tidak hadir, karena menurut Jendral Bibit Waluyo, dari jauh kami kelihatan kecil mirip Presiden RI BJ Habibie. Sehingga harus langsung seakan kami adalah Presiden RI yang membaca Pidato Hari Olah Raga Nasional. Berkat pengalaman komunikasi massa menghadapi pasangan usia subur, “perintah Panglima Kodam Diponegoro” itu dapat dilaksanakan dengan baik, Pidato yang naskahnya kami susun bersama Menpora, dengan semangat dan antusiasme yang sangat tinggi kami bacakan dan memperoleh tanggapan perhatian yang meledak. Para elite di Podium, yang jarang mendengar Pidato Kepala BKKBN, merasa terkagum dan memberikan apresiasi tinggi pada Pidato Presiden RI pada Haornas 1999 tersebut.
“Jabatan Presiden RI hampir berakhir”, Gubernur dan Panglima menanyakan apa acara kami berikutnya. Kami sampaikan bahwa kami harus segera mengejar pesawat ke Jakarta karena akan ada Rapat Terbatas tingkat Menko bersama Presiden. Kami harus mengejar pesawat dari Yogya, sehingga segera, tanpa harus duduk menikmati suguhan yang terpampang di meja, kami di naikkan Helikopter diterbangkan ke Adisutjipto di Yogyakarta, mengejar pesawat ke Jakarta. Upacara naik Heli masih seperti Presiden RI, tetapi begitu Heli tinggal landas, Haryono kembali sebagai seorang Menko yang “impian indahnya” sebagai Presiden RI pada tanggal 9 September jam 9.00 – 9.15 menjadi kenangan yang indah. Alhamdulillah YRA. Sampai di Jakarta, Presiden RI BJ Habibie yang mendengar kisah itu tersenyum dengan rasa puas tetapi tidak mengeluarkan “surat Keputusan Pejabat Presiden RI” untuk bekal pensiun.