Gerakan KB menjadi Pendorong Gerakan Gizi Keluarga secara Nasional

up1.jpg

Pada tahun 1975, hasil pengembangan program KB berbasis masyarakat yang koordinasi pengembangannya dilakukan Deputi Penelitian dan Pengembangan BKKBN bersama ratusan peneliti dari Perguruan Tinggi, PLKB dan Bidan dengan dukungan dana yang sebagian besar berasal dari Donor Komunitas seperti UNFPA PBB, USAID dan Ford Foundation makin ketahuan dan dihargai oleh Presiden sehingga pada tahun 1976 Deputy Penelitian dan Pengembangan dipindah tugaskan sebagai Deputy Operasional BKKBN. Mulai saat itu kegiatan Operasional Program KB di titik beratkan pada pendekatan Kemasyarakatan dengan lebih banyak melibatkan masyarakat mulai membentuk Kelompok Peserta KB di desa-desa. Proses pembentukan itu di dukung dengan komitmen yang tinggi oleh Pemerintah Daerah, mulai Bupati, Camat dan Kepala Desa sekaligus dengan dukungan Rapat BKKBN melalui berbagai kunjungan dan pendampingan di lapangan. Kegiatan peninjauan lapangan itu dilakukan oleh petugas Kabupaten, Pimpinannya termasuk Bupati dan aparatnya. Tidak jarang peninjuan itu dilakukan pula oleh Pejabat Eselon I dari pusat, termasuk oleh Kepala BKKBN dengan rombongan pendamping dari berbagai instansi. Kepala BKKBN tidak lagi hanya meninjau klinik KB milik Departemen Kesehatan, tetapi ke desa-de4sa di mana pelayanan KB makin banyak di lakukan di kelurahan dan di tempat-tempat di luar klinik KB.

up3.jpg

Dalam suatu peninjuan ke Desa yang sedang menggelar kegiatan KB di lapangan, memberikan penerangan dan sekaligus pelayanan spiral dan alat kontrasepsi lainnya, terlebih dulu Kepala BKKBN dr. Suwardjono Suryaningrat, yang didampingi Deputy KB Dr. Haryono Suyono, lengkap dengan jajaran dari pusat dan daerah, serta Bupati dan aparat senior daerah, beliau menyempatkan diri bersalaman dan melakukan dialog dengan para ibu muda yang berjejer menyambut kedatangan beliau dan rombongan.  Saat bertemu dengan seorang ibu muda yang sedang menggendong anak berusia sekitar satu setengah tahun, anak itu sedang menangis. Kepala BKKBN dr. Suwardjono menganjurkan sang Ibu untuk memberikan air susunya, ada kemungkinan anak itu haus. Tetapi spontan ibunya menjawab bahwa anaknya tidak mau lagi menyedot air susunya. Deputy KB yang ada bersama Kepala BKKBN menyela bahwa mungkin ibu itu mengandung lagi. Kepala BKKBN yang ahli kandungan menolak, tetapi ternyata ibu itu mengandung lagi sementara anaknya belum berusia dua tahun dan keadaannya sangat tidak layak untuk mengandung lagi karena badannya kurus kurang gizi.

up2.jpg

Sejak itu jajaran Deputy KB mendesak agar BKKBN ikut menangani program Gizi Keluarga, waktu itu disebut sebagai Usaha Peningkatan Gizi Keluarga atau UPGK, yang diselenggarakan oleh Depkes di banyak daerah dengan lebih intensif agar program KB tidak harus mendapat “musibah” karena minat KB yang melimpah padahal ibu dan anak balitanya kurang gizi serta bisa berakibat fatal kalau anaknya meninggal dunia karena kurang gizi tersebut.

Kepala BKKBN menyetujui gagasan tersebut tetapi BKKBN tidak memiliki anggaran lebih, sehingga Jajaran Deputy KB berusaha mencari dukungan dan akhirnya mendapat “dukungan dari UNICEF” untuk menggelar “program Gizi Keluarga” pada 30.000 desa, atau separo dari jumlah desa di Indonesia. Karena Program Gizi utamanya adalah wewenang Departemen Kesehatan, Kepala BKKBN menganjurkan agar dilakukan koordinasi dengan jajaran Depkes. Untuk itu setelah dipelajari dan dikonsultasikan, BKKBN diminta mengajukan “proposal” untuk ikut menagani Program Gizi Masyarakat tersebut kepada Jajaran DepKes. Karena itu beberapa pejabat senior Jajaran Deputy KB bersama para ahli dari UNICEF mempersiapkan Proposal lengkap paparan melalui Media Transparan lengkap untuk disampaikan oleh Kepala BKKBN kepada Jajaran Eselon I Depkes.

keb1.jpg

Pada waktunya jajaran Eselon I Depkes siap adakan Rapat bersama Jajaran Eselon I BKKBN ingin mendengarkan “proposal” dan gagasan implementasinya. Namun Kepala BKKBN dengan alasan pangkat militernya Kolonel, merasa “kurang nyaman” berhadapan dengan Sekjen Depkes yang “pangkat militernya Mayor Jendral” sehingga menyerahkan kepada Deputy KB menghadapi jajaran Kepala Pusat Penelitian Depkes Ibu Prof. Dr. Sulianti Saroso yang terkenal sangat berwibawa dan cerdas serta para Dirjennya antara lain Dr. Subekti yang membina seluruh jajaran Puskesmas di seluruh Indonesia. Akhirnya dengan dukungan para ahli dari UNICEF, Deputy KB Dr. Haryono Suyono dan jajaran datang pada Rapat bersama yang dipimpin oleh Kepala Badan Litbang Ibu Prof. Dr. Sulianti Saroso bersama jajaran Eselon I dan II Depkes mendengarkan paparan “proposal BKKBN” tentang Rencana Program Gizi Keluarga untuk 30.000 desa atau “separo” dari jumlah desa di seluruh Indonesia.

Karena persiapan matang, program yang jelas dan siap tayang, serta penyediaan anggaran disanggupi oleh UNICEF, tanpa harus mengambil dana dari APBN atau DepKes, maka Prof. Dr. Sulianti menganggap bahwa rencana BKKBN siap untuk segera di mulai. Disepakati bahwa esok harinya Deputi BKKBN bertemu lagi dengan Dirjen Binkesmas, dr. Subekti, untuk mengatur secara operasional mekanisme teknis lebih lanjut. Pagi harinya, karena kesiapan Depkes melalui penyediaan dokter dan bidan, maka untuk tingkat awal, melalui Posyandu dan Klinik Puskesmas, program akan disiapkan untuk 15.000 Desa. Pada tahapan berikutnya, program diperluas menjadi 30.000 Desa. Dan akhirnya, apabila segala sesuatu berjalan lancar, maka Program Gizi Masyarakat melalui UPGK itu bisa dilaksanakan untuk 60.000 Desa di seluruh Indonesia.

Peristiwa itu menandai kerja sama antara BKKBN dan DepKes dalam pelaksanaan Program Gizi Keluarga UPGK untuk 15.000 Desa di seluruh Indonesia. Pelaksanaan Gebyar Program Gizi ini dilakukan pada tahun 1979 di Banjarnegara dihadiri oleh Jajaran Eselon I Depkes, Menteri Dalam Negeri Supardjo Rustam, Ketua Tim Penggerak PKK Ibu Supardjo Rustam, Kepala BKKBN dr. Suwardjono Suryaningrat, Gubernur Jawa Tengah, Bupati Banjarnegara dan Jajaran Deputy KB, para PLKB dan bidan serta lembaga Swadaya Masyarakat seperti PKK, Muhammadiyah dan NU. Pada tahun itu juga segera diikuti pelatihan tenaga besar-besaran terdiri dari PLKB dan Bidan, dari daerah Kabupaten di Pulau Jawa meluas ke seluruh desa di sekitar 15.000 Desa yang disepakati.

Gerakan itu berjalan lancar. Pada tingkat awal PLKB mengumpulkan ibu muda dengan anak balitanya untuk ditimbang dengan timbangan sederhana seperti timbangan dacin untuk menimbang beras, karena seorang anak balita dianggap sehat apabila setiap bulan berat badannya naik. Kemudian fasilitasnya makin setelah pemerintah ikut menyediakan anggaran untuk perbaikan alat-alat yang diperlukan. Hasilnya sungguh menakjubkan karena itu segera diperluas menjadi 30.000 Desa dan pada tahun 1990-an sudah meluas ke seluruh desa di Indonesia. Secara mengejutkan pada tingkat awal kelihatan ada kenaikan “kasus gizi buruk”, ternyata bukan karena kasusnya meningkat, tetapi karena cakupan anak balita yang ditimbang meningkat sehingga salah paham yang timbul antara petugas BKKBN dengan jajaran Depkes segera dapat diatasi.

Pada akhir tahun 1990-an kasus Gizi Buruk sangat menurun dan kasus yang biasanya diributkan karena ada “kurang gizi” yang gawat tidak lagi terjadi. Kasus stunting tidak ada beritanya sehingga media masa tidak lagi memperolok-olok desa atau orang tua yang melantarkan bayi atau balita lagi. Tetapi sayang, pada akhir tahun 2000 kebijaksanaan berubah sehingga pada tahun 2015 mulai timbul ribut-ribut kasus kurang gizi dan stunting.

keb3.jpg

Karena itu ada berbagai usaha untuk mengatasi masalah tersebut secara terpadu, tetapi tanpa adanya lembaga yang di beri tanggung jawab melakukan koordinasi secara terpadu, usaha itu akan sia-sia. Perhatian Presiden Joko Widodo untuk menugasi BKKBN sebagai lembaga Koordinasi guna mengatasi stunting dan kurang Gizi seperti keadaannya di tahun 1980-2000  perlu disambut dengan baik. Bersamaan dengan Gerakan “Kurikulum Pagi” membangun “kebun Bergizi”, usaha ini akan bisa membangun “demam Makanan Bergizi” yang memperbaiki menu makan anak balita dan ibu hamil, yang memperbaiki nilai gizi keluarga muda.

Insya Allah keadaan akan menjadi lebih baik. Semoga Bapak Dr. dr. Hasto Wardoyo Sp.OG selaku Kepala BKKBN dapat memanfaatkan pengalaman dan semangat kebersamaan yang dikembangkan bersama Lembaga dan Organisasi Swadaya Masyarakat yang dinamis. Upaya ini harus menjadi gerakan bersama yang gegap gempita, sasaran yang jelas. peta pengembangan yang terarah, indikator setiap tahap yang terukur serta  target akhir yang bisa dicapai dengan komitmen tinggi serta mutable yang berarti setiap sasaran akhirnya bisa melakukan dan memelihara kesertaannya secara mandiri. Selamat kerja pak Hasto Wardoyo dan jajaran BKKBN serta mitra kerjanya.





Haryono Suyono1 Comment