Pendidikan Bidan Berkelanjutan mendapat angin segar
Minggu lalu Ketua Stikes Mitra RIA Husada di Cibubur, Dr. Sri Danti Anwar MA dengan dudampingi para Wakil Ketua, para Dekan, Wakil Dekan, Ketua Yayasan Ibu Milangoni Subiakto, Ketua Dewan Pembina Prof. Dr. Haryono Suyono serta jajaran petugas senior lainnya, mengundang Ketua Umum Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ibu Dr. Emi Nurjasmi, MKes disertai jajaran Pengurus PB IBI lainnya, dalam Pertemuan Maya melalui Sistem Zoom yang berlangsung dengan sangat akrab dan menarik.
Ibu Ketua Umum IBI rupanya seorang bidan yang berpengalaman yang sejak muda di tahun 1970 sudah mulai bekerja di Irian Jaya dan secara tekun meniti kariernya sambil melanjutkan pendidikan sampai akhirnya mendapatkan gelar Akademis sebagai seorang doktor. Begitu juga Ibu Dr. Emi Nurjasmi, MKes rupanya mengesankan bahwa, dari gaya bicaranya dalam acara Webinar, sungguh sangat lancar menguasai materi sebagai seorang Ketua Umum Organisasi IBI yang besar, terkesan sebagai seorang pejuang yang cocok dengan profesinya yang gigih. Tetapi ternyata juga bahwa beliau sekaligus Dosen Politehnik Kesehatan Jakarta yang memiliki Akreditasi A dan menjadi rujukan banyak Sekolah Tinggi di tanah air.
Dalam pertemuan yang akrab tersebut dengan mantab Ibu Ketua Umum IBi yang ikut bersama pemerintah dan parlemen memperjuangkan UU Kebidanan yang baru disyahkan, memberi penjelasan bahwa kalanagan kebidanan dewasa ini bertambah mantab karena telah dilindungi untuk pertama kali dengan UU yang disyahkan oleh pemerintah dan DPR. Oleh karena itu profesi bidan, termasuk penduidikan dan pengembangannya makin mantab. Turunan selanjutnya dalam implementasi UU tersebut tidak bisa lain kecuali mengacu pada UU tidak semata selera pejabat yang sedang berada pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, Pemerintah Daerah atau Organiasi profesi seperti IBI dan berbagai “Sekolah iinggi Kebidanan” yang menghasilkan lulusan untuk melayani masyarakat luas sampai ke desa-desa.
Masing-masing stake holder tidak bisa bertindak sendiri-sendiri tanpa mengacu pada UU yang berlaku atau Peraturan Pemerintah yang diturunkan dari UU, atau tidak boleh bertentangan dengan UU yang berlaku. Oleh karena itu, hampir dapat dipastikan bahwa pengalaman masa lalu yang sebagian besar menjadi acuan dikembangkannya UU tersebut akan ditindak lanjuti dengan konsisten dan penuh pengertian sebagai modal dasar tanpa kecuali ada yang harus dirugikan atau di jadikan kambing hitam sebagai korban pengembangan pelayanan bidan di Indonesia. Suatu pengembangan dan kemajuan selalu akan berorientasi pada kemajuan dan keuntungan bagi semua kalangan, sehingga kalau perlu ada mekanismenya agar keuntungan dan kemajuan tidak menimbulkan kerugian bagi kalangan tertentu atau mereka yang diperkirakan mendapat kerugian, diberikan kompensasi yang sepadan agar kerugian tidak terjadi bagi warga negara yang telah berjuang untuk bangsa ini dengan ikhlas dan penuh pengorbanan di masa lalu.
Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa pengalaman yang luar biasa dari Stikes Mitra RIA Husada adalah sebagai lembaga Pendidkan Bidan yang telah menghasilkan ratusan Bidan melalui Pendidikan D3 yang banyak melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Kemudian muncul Isu bahwa jumlah bidan lulusan D3 tidak diperlukan lagi, yang sesungguhnya tidak tepat karena di banyak desa, utamanya di desa-desa terpencil, sampai dewasa ini masih langka atau sama sekali belum memiliki “bidan Desa” padahal Desa mereka memiliki Klinik Kesehatan atau Posyandu, gara-gara adanya “dana Desa” yang dikirim langsung ke desa.
Begitu juga Ibu Dr. Emi, seorang Akademisi dengan gelar Doktor, akan sangat paham bahwa biarpun pendidikan asal beliau adalah bidan, beliau bisa melanjutkan pendidikan sampai mencapai gelar Doktor, dalam kesempatan “pendidikan berkelanjutan” di negeri ini, yang juga berlaku di negara maju lainnya. Karena itu “Pendidikan Sarjana Kebidanan” bisa lanjut ke pendidikan “profesi” menjadi “Bidan Profesi”. Pendidikan “Bidan Terapan” bisa juga menjadi “Sarjana Bidan” dengan kemampuan sebagai “Bidan Terapan”, bahkan kalau mau melanjutkan pendidikan menjadi Sarjana Hukum juga boleh, tetapi “harus memenuhi tambahan beberapa mata kuliah” sebagai kelengkapan untuk syarat menjadi Sarjana pilihannya itu.
Selanjutnya Pembina Sekolah Tinggi Mitra RIA Husada, Prof. Dr. Haryono Suyono yang minggu lalu sengaja bersilaturahmi dengan Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Prof. Ir. Nizam, MSc, DIC, PhD yang didampingi para Direkturnya, menyampaikan terima kasih atas perkenan Ketua Umum IBI memenuhi undangan para Petinggi ST Mitra RIA Husada pada pertemuan silaturahmi yang sangat berharga pada hari itu. Prof Dr. Haryono Suyono secara singkat menyampaikan hasil konsultasi bersama dengan para pejabat resmi Dirjen Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan bahwa pendidikan bidan memang masih diperlukan guna mengisi Desa dan daerah-daerah yang belum berhasil memiliki tenaga bidan.
Prof. Haryono Suyono yang memiliki kerja sama yang sangat baik dan akrab dengan jajaran Bidan dan IBI hampir 40 tahun, antara tahun 1973 sampai akhir tahun 1990-an, mengalami suka dan duka yang luar biasa tatkala jumlah bidan di Indonesia baru sekitar 8000 orang dan hampir seluruhnya lulusan D3 saja. Pada tahun 1980-an, gara-gara BKKBN diperintahkan melaksanakan Program KB menjadi Gerakan Masyarakat sehingga pendekatan KB berkembang dari semata “Pendekatan Klinik” menjadi Pendekatan Kemasyarakatan dibarengi pendekatan Klinik yang terpadu, maka Kepala BKKBN pada waktu itu, Dr. Haryono Suyono, mendapat dukungan sangat kuat dari Presiden HM Soeharto yang mengeluarkan “inpres Bidan” yang menghasilkan tumbuhnya “Sekolah Bidan” yang luas untuk mengejar pengisian bidan di desa, “satu bidan untuk setiap desa”.
Hasil dari “inpres Bidan” itu sungguh luar biasa karena “target penyediaan Bidan” dapat dipenuhi, tetapi karena “bersifat memenuhi target”, sebagian Sekolah Bidan tidak sempat “melatih calon Bidan dengan kasus praktek” yang memadai, sehingga ada mahasiswa yang belum praktek dengan jumlah kasus yang cukup, atau baru dalam status “mahasiswa sekolah kebidanan yang memandang praktek” karena tiidak cukup kasus persalinan selama masa kuliah, sudah harus “lulus”. Karena itu timbul keluhan dari banyak kalangan di lapangan, sehingga BKKBN bersama Departemen Kesehatan, Donor Komunitas bersama IBI mengusahakan berbagai Program atau Kursus tambahan guna “memperbaiki mutu bidan” yang “sudah terlanjur lulus” tersebut. Muncul “Program Bidan Delima” dan sebagainya guna memperbaiki kualitas para bidan yang ada.
Ketika kami mulai bergabung dengan Sekolah Tinggi Kebidanan di Cibubur, kelihatan adanya “kebingungan” adanya D3, yang terpisah dan tidak “berlanjut” ke jenjang S1 Kebidanan. Ada pula Profesi Kebidanan, dan ada pula Sarjana Bidan Terapan, seakan semuanya berdiri sendiri-sendiri. Bahkan sebelum UU disyahkan, ada “isu seakan resmi” yang “menjelaskan bahwa Pendidikan bidan D3 dihapuskan” karena dianggap cukup dan pendidikan selanjutnya “harus mulai dari tahun pertama” untuk Sarjana Bidan dengan “Gelar Akademis Sarjana S1”.
Karena munculnya Isu-isu tersebut menyebabkan perhatian Sekolah Tinggi RIA Mitra Husada di Cibubur kendur dalam pembinaan Sekolah Bidan D3 dan karena itu, sejak dua tahun terakhir perhatian terhadap upaya pemeliharaan mengendur, akhirnya jumlah penerimaan mahasiswa merosot dari tahun ke tahun. Hasil Konsultasi dengan Dikti dan pertemuan bersama Ketua Umum IBI yang mengacu pada UU baru, tidak ada alasan bahwa D3 harus dibubarkan, apalagi dengan “Sistem Sekolah Tinggi Berkelanjutan” . Seorang lulusan D3 prinsipnya bisa melanjutkan ke jenjang S1, biarpun, seperti pada Program Studi di Perguruan Tinggi lainnya, perlu ada penyesuaian mata kuliah tambahan yang harus diambil lagi, suatu sistem Pendidikan yang berkelanjutan seperti halnya di banyak negara lainnya.
Melalui dua konsultasi resmi dengan Jajaran Pendidikan Tinggi dan Organisasi Profesi IBI yang bertindak sebagai “Organisasi Pendukung Perjuangan para Bidan”, bukan “Penghalang Anak Bangsa yang memilih Profesi Bidan” yang ingin maju. “Bidan Profesi” dan atau “Bidan Terapan” adalah profesi bidan atau “tingkatan kemahiran” yang saling berkaitan erat satu sama lainnya, sehingga seorang yang memilih suatu profesi bidan bisa dan harus boleh mengikuti berbagai jenjang untuk mendapatkan “gelar akademis” atau “tingkatan profesi” setinggi tingginya sehingga Republik tercinta ini benar-benar menganut Kuliah Merdeka guna mencapai tingkat pendidikan dan profesionalisme yang setinggi-tingginya guna mengabdi dan membangun Negara Kesatuan RI yang “luar biasa” dan “sangat maju” pada ulang tahun ke 100 di tahun 2045 mendatang. Insya Allah.