Menggagas Sekolah Tinggi Bidan Berkelanjutan

cibuburk3.jpg

Pada tahun 1980-an, tatkala Program KB Nasional sedang gencar-gencarnya dan pengembangan KB berbasis partisipasi masyarakat dianggap oleh banyak kalangan merupakan solusi unggul menggerakkan masyarakat ikut mengambi peran yang sangat tinggi secara sistematis, tidak seperti di banyak Negara, Presiden HM Soeharto memutuskan penempatan seorang Sosiolog, bukan dokter, Dr. Haryono Suyono, sebagai Kepala BKKBN. Penempatan itu di dasarkan study pengembangan yang dilakukan oleh Haryono sebagai Deputy BKKBN yang dianggap pelayanan berbasis masyarakat sebagai inovasi yang sarat dengan penghargaan dunia internasional, sehingga satu tahun sebelumnya Haryono diberikan Penghargaan Bintang Mahaputra Utama karena inovasi dan jasa-jasa yang diakui dunia internasional tersebut.

Karena program study yang di pimpinannya dalam lingkungan BKKBN telah menemukan syarat-syarat suksesnya perluasan jangkauan untuk seluruh tanah air, yaitu dibentuknya kelompok-kelompok penggerak di setiap desa dengan petugas lapangan KB sebagai pengawal aparat pemerintah dan tenaga bidan sebagai tenaga profesional pendukung pelayanan medis, maka Dr. Haryono Suyono sebagai Kepala baru langsung melapor kepada Presiden diperlukannya tambahan bidan dari jumlah pada waktu itu sebanyak 8.000 bidan menjadi 60.000 bidan agar setiap desa, yang jumlahnya sekitar 60.000, setiap desa memiliki satu orang bidan untuk membantu Kelompok-kelompok melayani para peserta KB. Kelompok-kelompok itu kemudian disepakati bersama Departemen Kesehatan menjadi Posyandu, atau Pos Pelayanan Terpadu membantu dan melayani pasangan usia subur, ibu hamil, bayi dan anak balita, sehingga kebutuhan bidan pada setiap Posyandu menjadi sangat vital.

cibuburK1.jpg

Untuk melayani kebutuhan tenaga bidan, Departemen Kesehatan tidak mampu, sehingga Presiden RI mengeluarkan Inpres Bidan  yang menyebabkan lahirnya berpuluh Sekolah Bidan yang menghasilkan puluhan ribu bidan. Karena sifatnya masal, Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan rupanya kurang mampu mengawal dengan sempurna sehingga produk tenaga bidan yang dihasilkan kualitasnya bervariasi. BKKBN dan Depkes, melalui bantuan Lembaga Donor,  berusaha bekerja sama dengan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) berusaha meningkatkan kualitas bidan yang ada di lapangan melalui program pelatihan tambahan. Karena itu ada “Bidan Delima” atau lainnya yang berarti bidan tersebut telah mendapat pelatihan tambahan dan dianggap lebih profesional.

Di samping itu, karena banyak bidan yang maju, sebagian melanjutkan pendidikan menjadi sarjana FKM atau jurusan lain, atau menjadi Bidan Senior yang sangat berwibawa. Dengan adanya peningkatan para bidan senior, maka IBI bertambah maju, sehingga wibawa Organisasi IBI serta pengaruhnya dalam pelayanan untuk Ibu hamil dan melahirkan atau asuhan bayi dan balita bertambah tinggi. Bersama pengguna bidan, yaitu Kementerian Kesehatan, mulai dikembangkan syarat-syarat  bagi seorang bidan untuk bisa melakukan pelayanan secara mandiri, atau praktek mandiri, seakan jajaran Kementerian Kesehatan “menilai atau memberlakukan syarat lain” sebelum seorang bidan “boleh praktek mandiri”, seolah sebagai “penilaian kerja dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan” yang menghasilkan pendidikan Bidan melalui Sekolah Bidan atau Perguruan Tinggi. Pada waktu Menkes dijabat oleh Ibu Prof. Dr. Nila Moeloek kami pernah berdiskusi dan ternyata belum bisa di pecahkan, mudah-mudahan dengan adanya UU baru segera dua Kementerian tersebut mengembangkan kerja sama yang lebih baik.

Dalam suasana seperti itu, di mana sebagian bidan menjadi bidan senior dan bergelar Sarjana atau menguasai tingkat profesionalisme yang tinggi, terbentur pada aturan kepegawaian antara bidan lulusan Sekolah Bidan dan sarjana. Dengan sendirinya sepereti dalam Profesi lainnya ada kecenderungan upaya peningkatan pada gelar Sarjana Kebidanan, Sarjana Terapan Kebidanan, atau Sarjana Profesi Kebidanan, mirip-mirip dengan pembagian pada sarjana Kedokteran, Spesialisasi Dokter, dan aneka macam keahlian khusus yang ada pada seorang dokter.

Dalam keadaan jumlah bidan yang melimpah, sesungguhnya kalau distribusinya merata, kita mungkin sudah cukup bahwa setiap desa memiliki satu orang bidan. Bahkan mungkin bisa saja setiap Posyandu bisa memiliki satu orang bidan, lulusan D3 atau bahkan sebagian lulusan yang lebih tinggi. Dengan demikian tidak ada lagi ibu hamil yang tidak pernah ditolong oleh dukun bayi, karena semua sudah ditangani seorang bidan lulusan D3 atau bahkan Sarjana yang lebih tinggi. Keadaan di lapangan tidak seindah itu, bahkan tingkat kematian Ibu hamil, ibu melahirkan serta angka kematian bayi dan balita masih tetap tinggi, suatu kesalahan tata kelola yang menyedihkan. .

Dalam pertemuan virtual antara Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Mitra RIA Husada di Cibubur Jakarta bersama seluruh Pimpinan Prodi dengan Ketua Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan Ibu Milangoni Subiakto dan jajarannya serta Ketua Dewan Pembina Prof. Dr. Haryono Suyono dan jajarannya serta para pengawas, utamanya setelah mendapat arahan dari Dirjen Dikti Prof. Ir. Nizam MSc, DIC, PhD minggu sebelumnya, Ketua Prodi Profesi Bidan – Sarjana Terapan Kebidanan. Ibu Nurulicha, SST, MKeb dan Ketua Prodi Diploma III, Kebidanan, Ibu Yocki Yuanti SST, SPd, MKes, menjelaskan bahwa dalam lingkungan Prodi Kebidanan, dewasa ini dimiliki mahasiswa yang cukup banyak dan dalam waktu singkat akan meluluskan mahasiswa DIII yang cukup besar jumlahnya tetapi tidak dianjurkan menerima mahasiswa untuk program study ini. Untuk Prodi Sarjana Terapan dan Sarjana cukup memadai.

Menanggapi keadaan itu, mengacu pada hasil Pertemuan dengan jajaran Dirjen Dikti, UU Bidan yang baru, yang aturan lebih lanjut belum seluruhnya siap, Ketua Dewan Pembina memberikan dua alternatif sebagai arahan. Pertama melanjutkan apa yang sudah dikembangkan dalam Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Mitra RIA Husada tersebut. Arahan kedua adalah suatu Sistem, yang sekaligus perlu diperkenalkan pada jajaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu Penduidikan Bidan berkelanjutan sebagai terjemahan “Merdeka Kuliah” atau “Merdeka Menempuh Pendidikan Tinggi”. Merdeka kuliah tersebut akan memberi kesempatan kepada anak muda dari kelurga miskin atau orang tuanya pas pasan untuk mengikuti kuliah secara bertahap di “seling libur kuliah untuk bekerja” dan kembali kuliah lanjutan sampai tingkatan yang tertinggi. Atau bisa disebut sebagai “kuliah Berkelanjutan”.

Tahapan  pertama adalah tiga tahun pertama setara DIII dan lulusan sampai ke tingkat itu bisa bekerja sebagai Pembantu Bidan, utamanya di desa-desa yang tidak ada bidan penuh guna memenuhi kebutuhan tenaga untuk membantu Ibu hamil, melahirkan, pemeliharaan bayi dan anak balita serta kebutuhan tenaga untuk program KB dalam pendekatan kemasyarakatan. Karena jumlah desa dewasa ini mencapai hampir 75.000, maka lulusan tiga tahun tersebut bisa diusahakan berasal dari desa atau kampung dengan dibantu Dana Desa guna melengkapi Posyandu yang telah dibiayai pembentukan dan pengadaannya dengan Dana Desa selama lima tahun dan sedang dilanjutkan untuk lima tahun berikut sekarang ini. Kalau ini dilaksanakan dengan disiplin tinggi, maka kurang gizi dan stunting bisa di lenyapkan dari bumi Indonesia. Kalau tidak, penduduk masa depan akan dibebani dengan jumlah manusia kerdil yang sangat tinggi jumlahnya dan memalukan.

Setelah bekerja di lapangan dan memiliki pendapatan, maka anak-anak muda itu bisa kembali melanjutkan kuliah untuk menjadi Sarjana Bidan, dan selanjutnya kuliah lebih tinggi lagi,  menjadi Bidan terapan atau spesilisasi lain yang berkembang di kemudian hari. Prinsipnya adalah Sekolah Tinggi, atau Perguruan Tinggi seakan “Merdeka Kuliah” seperti di gagas oleh Menteri P dan K da;am artian Pendidikan Tinggi berjenjang yang makin dibiayai oleh peserta didik secara mandiri atau dengan makin sedikit subsidi dari pemerintah.

Dalam suasana periode kuliah dari rumah Ketua Dewan Pembina mengajak Pimpinan, Ketua Prodi  dan para Dosen untuk mengadakan kuliah yang lebih intensif dengan Sistem Virtual dan sekaligus kepada mahasiswa diajarkan lebih banyak kegiatan menghidupkan Promosi Hidup Sehat melalui ciptaan sederhana yang isinya promosi kesehatan, kesehatan Ibu hamil dan melahirkan, maupun memperkenalkan pola hidup sehat dengan menikah pada usia dewasa dan lebih dari itu pada study berkelanjutan tersebut tetap mengarah pada budaya baru dengan norma baru menghindari Covid-19 atau bentuk lainnya. Kalau semua dosen dan mahasiswa bergerak dengan komitmen dan frekuensi tinggi, siapa tahu bisa menolong masyarakat yang kurang disiplin untuk hidup lebih sehat dan merangsang masyarakat sekitarnya menyongsong budaya baru dengan norma yang lebih sehat dan sejahtera.

Haryono Suyono2 Comments