Marketing di Era 4.0: Kesadaran Spiritualitas dan Semangat Kemanusiaan
Marketing (pemasaran) sebagai disiplin ilmu mengajari kebaikan dan kemaslahatan dalam memerankan fungsinya: Memenuhi kebutuhan dan keinginan Pasar. Hubungan produsen dan pasar (pembeli ataupun calon pembeli potensial) bersifat unik. Terdapat proses pertukaran pada keduanya, dengan kerelaan dan tanpa paksaan, dengan konsep menguntungkan kedua belah pihak. Prinsip-prinsip utama pemasaran, umumnya mengacu kepada nilai-nilai kebaikan, seperti nilai kejujuran dalam membangun hubungan. Kejujuran merupakan modal utama dalam membina hubungan jangka panjang, sehingga tercipta “trust” (kepercayaan) diantara keduanya. Sehingga keberhasilan pemasaran pada dasarnya adalah memenangkan hati, pikiran dan “jiwa” (spirit) pelanggan.
Dengan demikian, membangun dan membina hubugan (relationship) merupakan suatu proses yang penting dalam pemasaran. Hubungan yang dimaksud adalah hubungan jangka panjang yang saling menguntungkan, bukan hubungan transaksional jangka pendek. Hubungan seperti ini hanya bisa berlangsung jika ada trust. Oleh karena itu, sekarang konsumen bukan lagi diperlakukan sebgai objek, namun mitra yang dapat diajak bekerja sama dan melakukan co-creation.
Saya cukup lama menekuni sebagai praktisi pemasaran di sebuah perusahaan Multinasional (MNC) asal Amerika Serikat. Saya melihat realita dan sering berpikir ada yang salah dengan pandangan terhadap dunia pemasaran, sehingga banyak kalangan memiliki persepsi yang keliru terhadap bidang ini. Bahkan sampai kini. Banyak kalangan yang menganggap pemasaran adalah ilmu yang mengajarkan trik-trik supaya orang membeli, mengajari teknik tipu-tipu dengan berkedok kreatifitas. Ada juga yang menyangka pemasaran adalah penjualan, atau pemasaran adalah promosi yang membeikan iming-iming, supaya orang mau beli. Banyak sekali salah kaprah lainnya.
Padahal seyogyanya pemasaran merupakan disiplin yang bersifat “nobel” membantu manusia dalam mengupayakan pemenuhan kebutuhan dan keinginan. Membantu bagaimana pasar terpuaskan, happy, bangga, senang, sehingga menjadi loyal, dan bahkan bisa menjadi “advocate” (pembela) merek atau perusahaan. Keberhasilan ini akan membuat perusahaan tumbuh berkembang dan sustainable. Sebagai suatu disiplin pemasaran turut membantu mencapai kesejahteraan. Memang, bisa saja ada dampak negatif yang ditimbulkannya, seperti terjadinya dorongan konsumsi yang berlebihan. Namun itu ekses.
Saya kemudian menjadi akademisi, dan banyak “bertapa”, melakukan pencarian. Sampai kini di era revolusi industri 4.0 ini apa yang baru dari pemasaran, perubahan apa yang terjadi dalam pemasaran, seiring dengan revolusi industri 4.0? Saya mungkin termasuk telat atau kelamaan, rasanya tidak mendapatkan hasil yang memuaskan atas pencarian tersebut. Namun syukur perdebatan mengenai dampak revolusi industri 4.0 dan “kehadiran” konsep Society 5.0 dari Jepang memberikan pencerahan (enlightment), dan mendapatkan dua kata kunci untuk bidang pemasaran: Kesadaran spiritualitas dan semangat kemanusiaan.
Era Revolusi Industri 4.0 membuat hidup semakin terfasilitasi oleh kemajuan teknologi, dalam bermacam-macam bentuk, baik teknologi robotik, kecerdasan buatan (artificial intelligent), augmented reality, internet of things dan tentu saja teknologi digital yang membuat manusia saling terhubung. Kemajuan teknologi yang pesat ini mempengaruhi peradaban manusia, bisa memberikan manfaat, namun bisa juga mengancam kemanusiaan, karena rawan penyalahgunaan. Oleh karena itu spiritualitas penting dalam marketing di era 4.0 ini. Hidup dengan teknologi, namun tetap berpusat pada kemanusiaan. Tanpa kesadaran spiritualitas produsen dan konsumen akan sama-sama “liar”.
Pemasaran akan terus beradaptasi dengan kemajuan teknologi dengan segala manfaat dan dampak negatifnya. Kekhawatiran mengenai kasus gadis robot di Jepang, misalnya, yang dapat berperan sebagai teman hidup, bukan saja “membantu” mempermudah hidup, namun berfungsi pula sebagai “teman” dalam memenuhi hasrat seksual. Terjadi kontroversi dan masalah etis. Kemampuan teknologi manusia mampu menciptakannya, meskipun tidak bisa seratus persen seperti manusia, tentu saja. Namun perasaan, seperti tersenyum bisa disetel oleh teknologi. Namun tanpa kesadaran spiritualitas dan semangat kemanusiaan, penyalahgunaan akan mudah terjadi. Sehingga bisa mendegradasi kemanusiaan. Manusia bisa diperbudak teknologi. Padahal manusia bisa menentukan batas-batas etis sesuai dengan kesadaran spiritualitas dan keagamaan.
Oleh karena itu pemasaran (marketing) bukan hanya dilihat dari kacamata taktis dan teknis, bahkan strategis, namun juga dari kacamata filsafat dan spiritual. Sehingga bisa memberikan rambu-rambu batasan kreatifitas bagi produsen, maupun permintaan pasar terhadap suatu produk tertentu yang kebablasan. Dengan begitu kesadaran spiritualitas dalam pemasaran di era revolusi industri 4.0 bisa menjaga sebagai ilmu yang “etis” dan bermanfaat bagi kehidupan.
Teknologi semakin maju, pasar ataupun konsumen dan pelanggan bisa berubah, gaya hidup dan selera bisa berubah, pemasaran-pun harus bisa selalu beradaptasi, namun pasar tetaplah manusia. Oleh karena itu pemasaran di era 4.0 tidak bisa hanya mengandalkan kemajuan teknologi yang bersifat high tech dengan perangkat dan media on line–nya, namun juga memerlukan sisi fisik yang bersifat off line yang penuh dengan high touch. Karena perubahan apapun dalam teknologi dan pasar, pasar tetaplah manusia.
Kita melihat, banyak orang sibuk komunikasi dalam grup WA atau bentuk komunikasi digital lainnya, namun tetap keinginan untuk reuni, bertemu secara fisik, selalu mendapat tempat di kalangan anggota grup. Di era digital ini konsumen perlu sentuhan fisik juga. Konsumen hidup dalam dunia on line dan off line. Kesadaran spiritualitas dalam pemasaran di era revolusi industri 4.0 juga memberikan keseimbangan kehidupan antara dunia fisik dan dunia maya.
Aam Bastaman – Univ. Trilogi (Dosen dan Penulis).