Buku Bermutu, Murah dan Merata

Catatan Aam Bastaman

Bangsa-bangsa dan peradaban besar dibangun melalui buku. Begitu kata seorang pakar perbukuan, mantan pimpinan sebuah perguruan tinggi di Jakarta, yang juga pernah menjadi Atase Pendidikan di London.

buku 3.jpg

Namun lanjutnya, di Indonesia urusan buku yang sangat penting ini tidak ditangani secara sungguh-sungguh. Tidak ada strategi dan kebijakan buku nasional, padahal buku merupakan media strategis untuk mencerdaskan bangsa.

Seorang mantan pejabat di Kemdikbud sendiri dalam suatu kesempatan bahkan mengatakan negara tidak terlalu serius terhadap persoalan buku. Padahal dunia perbukuan nasional menghadapi berbagai permasalahan yang tidak sedikit. Misalnya sekitar 50% buku ajar yang sudah terbit dan beredar tidak layak secara mutu. Belum lagi masalah masih lemahnya etika penerbitan, dengan indikasi masih sering terjadi penyalahgunaan tulisan dalam buku dibuat untuk kepentingan politik tertentu. Disamping itu juga masalah pembajakan buku yang belum ada solusinya.

Keluhan masalah mutu buku menjadi isu paling penting untuk segera ditangani. Masalah lainnya yang tidak kalah penting adalah masalah harga buku yang masih mahal. Buku perlu dibuat murah melalui berbagai mekanisme yang dimungkinkan, supaya menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk membeli buku. Membeli buku diharapkan seperti membeli makanan, sama pentingnya untuk konsumsi meningkatkan pengetahuan. Upaya meningkatkan minat baca bisa didukung dengan pengenaan harga buku yang lebih terjangkau bagi masyarakat umum.

Peningkatan minat baca sangat penting untuk tercapainya generasi dan masyarakat yang cerdas dan berpengatahuan. Harga buku yang mahal disinyalir menjadi kendala bagi masyarakat untuk membiasakan membaca buku.

Tantangan lain dunia perbukuan di Tanah Air adalah peredaran dan distribusi buku yang tidak merata. Peredaran buku, termasuk buku-buku yang berkualitas terlalu berpusat di pulau jawa. Padahal anggaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk pengadaan buku rata-rata pertahun (sebelum Covid-19) bisa mencapai Rp. 10 trilyun. Banyak pihak yang berkepentingan hanya melihat dari sisi peluang ekonominya (urusan distribusi buku di sekolah-sekolah seringkali dianggap basah), bukan masalah kualitas dan manajemen pemanfaatan bukunya.

Indonesia sebenarnya sudah memiliki Undang-Undang Sistem Perbukuan No. 3/2017, juga sudah ada Peraturan Pemerintah No. 75/2019 mengenai Peraturan Pelaksanaan UU No. 3 tentang Sistem Perbukuan Tahun 2019, namun urusan perbukuan nasional masih banyak menyisakan pekerjaan rumah. Padahal buku merupakan penggerak kemajuan peradaban. Melalui buku bisa mendorong meningkatkan upaya pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga kualitas SDM kita bisa meningkat dan lebih produktif.

Betul, ada banyak pihak yang terlibat dalam industri buku yang memerlukan perhatian, yaitu: Pengarang, penerbit, editor, desainer, distributor dan toko-toko eceran baik off line aupun on line. Semua harus bisa hidup dengan layak dan baik, sesuai dengan kontribusinya masing-masing. Namun saat ini umumnya pelaku industri buku belum menikmati kesejahteraan secara ekonomi. Kecuali para penerbit dan distributor buku yang mendapatkan priveledge memenangkan tender atau mendapatkan penunjukkan untuk menyalurkan buku-bukunya ke sekolah-sekolah. Termasuk pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan sistem distribusi buku untuk keuntungan pribadi, meskipun kadang-kadang mengatasnamakan sekolah.

Dengan demikian distribusi buku dari pemerintah ke sekolah-sekolah juga rawan masalah etis, contoh yang tidak elok yang sering diperlihatkan sebagian insan dunia pendidikan dasar dan menengah dan birokrat pendidikan.

Sangat miris kalau melihat data-data mengenai minat baca masyarakat kita yang masih sangat rendah. Rendahnya minat baca akan mempengaruhi kualitas pengetahuan dan kecerdasan masyarakat. Seperti yang kita alami sekarang. Belum lagi waktu membca sekarang banyak dihabiskan untuk bersosial media. Membaca juga, namun seringkali tidak terarah, bersifat instant, tidak jarang memberikan berita yang penuh kepalsuan, yang justru dikhawatirkan dapat terjadi pembodohan.

Buku digital di lain pihak belum membudaya dengan baik, masalah kenyamanan dan kesehatan mata menjadi tantangan. Keluhan membaca buku digital yang panjang cukup melelahkan mata sehingga membosankan sering kita dengar. Penataan dan perbikan konsepsi buku-buku digital juga perlu dilakukan. Buku cetak bagaimanapun saat ini masih tetap diperlukan.

Buku adalah kunci kemajuan peradaban, jendela kemajuan bagi peningkatan kualitas SDM, sarana untuk mencerdaskan bangsa. Semoga pemerintah, para politisi di badan legislatif dan semua pihak yang terkait dapat menunjukkan komitmennya untuk memajukan perbukuan nasional.

(Aam Bastaman, Uni Trilogi). Sekretaris jenderal Afiliasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia (APPTI).


Gambar: Istimewa (sumber open access)

Aam BastamanComment