Ekonomi Biru: Prinsip kemandirian

Catatan Aam Bastaman

Menarik mengenenai apa yang disampaikan oleh Dr. (HC) Subiakto Tjakrawerdaya, mantan Menteri Koperasi dan UKM di era Presiden Soeharto, bahwa kemandirian bukan diartikan hanya bekerja sendiri, tidak tergantung pada pihak lain. Esensinya bukan itu. Ia mengutip dari berbagai masukan para ahli yang kemudian menyimpulkan bahwa kemandirian merupkan suatu paradigma dan praktek dimana terjadi semakin kecil kebergantungan, namun semakin besar saling kebergantungan.

Madu Timor 3.jpg

Dari perspektif yang berbeda apa yang dimaksud dengan kemandirian bisa berbeda pula. Terutama dalam fokusnya, atau pendekatannya. Misalnya ada yang mendefinisikan dari perspektif individual kemandirian adalah kesiapan dan kemampuan individu untuk berdiri sendiri yang ditandai dengan mengambil inisiatif. Selain itu mencoba mengatasi masalah tanpa meminta bantuan orang lain, berusaha dan mengarahkan sikap dan tingkah laku yang positif, kreatif untuk lebih baik, menuju kondisi yang dimimpikan.

Manusia, organisasi, komunitas, bukanlah entitas yang berdiri sendiri. Sifat manusia sebagai homo socius tidak bisa lepas dari entitas sosial lainnya, bukan mahluk yang terasing dari lingkungannya. Oleh karena itulah apa yang disampaikan oleh Pak Subiakto lebih tepat daripada mendefisnisikan kemandirian sebagai tidak bergantung pada pihak lain, bekerja sendiri, melakukan atau mengerjakan sesuatu dengan kemampuannya sendiri.

Hal ini juga sesuai dengan konteks kemandirian dalam perspektif Ekonomi Biru, memperkecil kebergantungan, namun memperbesar saling kebergantungan, dengan perilaku yang kreatif dan proaktif, karena pendekatan Ekonomi Biru lebih banyak melibatkan inisiatif dan kerja bersama masyarakat komunitas lokal, sehingga praktek memperkuat saling kebergantungan merupakan hal yang esensial.

Hal yang perlu ditekankan dalam praktek mengurangi kebergantungan, terutama kemandirian Usaha Kecil dan Menengah (UKM) adalah kebergantungan dari pihak pemodal besar, kaum kapitalis, rentenir, umpamanya, yang seringkali mengarah kepada praktek penguasaan sumber daya, sehingga tenaga kerja lokal terjebak hanya sebagai buruh, bukan aktor yang bisa secara kreatif memberdayakan sumber daya lokal yang dimiliki.

Semakin mengurangi kebergantungan, dan semakin bisa meningkatkan saling kebergantungan, maka semakin mandiri suatu entitas, individu ataupun suatu usaha.

Kompas, 2 Juni 2020 menurunkan laporan sosok Robby Gordon Yohanes Mano, asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang dengan kemandirian yang dimilikinya mengangkat dan mempopulerkan madu hutan Amfoang khas Kupang. Secara mandiri ia membangun industri madu hutan khas Kupang tersebut, dengan mempertahankan kualitas sebagai madu murni, sehingga mendapatkan kepercayaan dari berbagai pihak.

Namun mandiri bukan berarti bekerja sendiri. Ia menggandeng masyarakat setempat untuk terlibat sebagai perajin madu, sehingga ia bisa bekerja sama dengan sekitar 2.400-2.700 perajin madu, yang terhimpun dalam 54 kelompok petani madu.

Produk Madu Hutan Amfoang

Produk Madu Hutan Amfoang

Setiap musim panen ia tidak kurang membeli 30.000-40.000 liter madu dari peternak dengan harga yang bagus, sekitar Rp. 375.000 per jeriken atau 5 liter. Upayanya tersebut berhasil menggerakkan perekonomian warga di pedalaman Amfaoang yang berjarak sekitar 85 km dari kota Kupang. Sebagian besar produksi madunya justru untuk tujuan ekspor ke berbagai negara, mulai Singapura, Malaysia, Jepang sampai negeri Belanda.

Madu hutan merupakan warisan turun temurun masyarakat Timor, disamping cendana. Keberlanjutan dari usaha madu tersebut sangat bergantung pada pelestarian hutan. Oleh karena itu Robby paham sekali pentingnya melestarikan hutan, supaya usahanya bersama masyarakat sekitar berkelanjtan. Oleh karena itu ia sering mengajak dan mengingatkan warga mengenai pentingnya merawat dan menjaga hutan, serta aneka binatang endemik yang hidup di dalamnya.

Dalam membangun usahanya ia melakukan pendekatan pembentukan kelompok tani sehingga mudah melakukan pembinaan dan sosialisasi, antara lain agar budi daya lebah hutan terus terjaga dan berkelanjutan, dengan tetap memperhatikan kelestarian ekosistem hutan Amfoang.

Sosok Robby merupakan pribadi pengusaha yang mandiri, tidak bergantung kepada pengusaha besar dan investor dari luar daerah, namun memiliki saling kebergantungan dengan petani lokal yang menjadi mitranya. Sama-sama bertumbuh, dan berbagi kesejahteraan. Yang tidak kalah pentingnya status masyarakat lokal bukanlah buruh tani, melainkan mitra usaha yang juga memiliki kemandirian.

(Aam Bastaman, Uni Trilogi). Penulis.

Madu Timor 2.jpg

Foto-foto: Istimewa (sumber open access).

Aam BastamanComment