Nama Orang dengan Hanya Satu Suku Kata

Catatan Aam Bastaman

Masih mengenai nama. Di era WFH ini saya jadi banyak buka-buka buku, terekspos pada banyak nama, apakah penemu, peneliti, ahli, tokoh yang ada di beragam buku. Kemudian jadi teringat pada teman-teman yang hanya memiliki nama satu suku kata (mungkin pula karena tempo hari saya menulis tentang pemberian nama pada orang-orang Inggris), maka terbayanglah nama: Endri, Hendri, Rizal, Arman, Andri, Razak, Ibnu, Sumarno, Sudirja, Marwoto, dan masih banyak lagi, tanpa diikuti atau diakhiri nama kedua ataupun nama keluarga. Mereka mewakili banyak suku di Tanah Air. Bahkan dua orang presiden kita hanya memiliki nama dengan satu suku kata: Sukarno dan Soeharto. Hal yang tidak lazim di Barat atau umumnya di belahan bumi lainnya.

Di banyak negara selalu dipakai nama pertama, nama kedua (middle name) dan nama keluarga (surname). Konsep pemakaian nama keluarga bukan hanya di Barat saja, namun juga di negara negara Asia Timur, seperti Jepang, Cina, Korea. Atau seperti di Timur Tengah, minimum digunakan nama ayah, dan kemudian bisa plus nama kakek, sehingga membentuk tiga suku kata. Sedangkan di Tanah Air, nama bisa cukup satu suku kata saja.

Rupanya nama dengan hanya satu suku kata banyak digunakan di beragam suku di Tanah Air, seperti suku Minang, Sunda, Jawa, Makassar. Selintas aman-aman saja, bisa tertulis di KTP, Kartu Keluarga, akte lahir, ijazah atau bukti identitas lainnya. Namun saat urusan komunikasi internasional termasuk saat membuat paspor akan menjadi masalah, karena banyak negara umumnya mensyaratkan adanya nama keluarga (surname). Jadi paling tidak harus memiliki dua suku kata. Bahkan beberapa negara Timur Tengah seperti Arab Saudi, pelamar visa harus menggunakan tiga suku kata.

Apa yang dilakukan teman-teman yang hanya memiliki nama satu suku kata? Di paspor kemudian mereka menuliskan namanya sebagai nama pertama (first name), sekaligus nama keluarga (surname). Jadi teman yang bernama Rizal, tertulis Rizal Rizal, kalau dipanggil Mr. Rizal. Lucunya, sewaktu mau umroh di paspor harus ditambahkan nama satu suku kata lagi, umumnya nama orang tua, karena nama ayahnya Abdullah, jadilah Rizal Rizal Abdullah.

Namun ada juga teman yang hanya memiliki nama satu suku kata di paspor menambahkan nama ayahnya langsung. Seperti Sumarno, nama ayahnya Suparno, menjadi Sumarno Suparno. Untuk urusan umroh kemudian nama kakeknya dipakai (Majid), menjadi Sumarno Suparno Majid. Nama di ijasahnya SD, SMP, SMA, S1 ataupun KTP dan akta lahir tetap saja Sumarno, tidak berubah.

Saya tidak tahu nama presiden Soeharto di Paspor, apakah Seoharto Soeharto? Sehubungan di arena internasional beliau biasa dipanggil Mr. Soeharto atau H.E Mr. Soeharto. Begitu pula dengan presiden Sukarno, mungkin di paspor tertulis Sukarno Sukarno.

Cara pemberian nama di Indonesia memang sangat beragam. Ada pula suku-suku yang menggunakan nama keluarga (marga), seperti di Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Maluku ataupun NTT, namun banyak juga suku yang tidak menggunakan nama keluarga. Sebagian kecil keluarga di suku Jawa ataupun suku Sunda menggunakan nama keluarga, terutama di kalangan priyayi (menak), seperti di Sunda: Wirahadikusuma, Iskandardinata, Kartasasmita, Kusumaatmaja, atau di Jawa seperti Sastrowardoyo, Wongsoatmojo, Gondokusumo, Brojonegoro, atau yang lainnya. Namun umumnya keluarga-keluarga di Sunda atau di Jawa tidak biasa menggunakan nama keluarga. Bahkan tidak sedikit yang hanya menggunakan nama satu suku kata saja, seperti nama kedua presiden kita.

Namun di beberapa keluarga ada pula yang menambahkan nama ayah, setelah namanya sendiri, mengacu pada konsep nama di jazirah Arab dengan konsep “bin” untuk bisa menelusuri silsilah keluarga, dengan mencantumkan nama ayah, seperti Andi bin Saefuddin, atau binti untuk anak perempuan, seperti Nuraeni binti Saefuddin. Anehnya, pemakaian “bin” untuk menunjukkan nama ayah secara tradisi lebih banyak tertulis di batu nisan. Meskipun sewaktu hidup tidak menggunakan “bin”. Budi Ahmadi saat hidup (Ahmadi nama bapaknya), tertulis Budi bin Ahmadi di batu nisan. Atau kalau Budi Ahmadi merupakan nama sendiri (misalnya), maka nama ayahnya (Sodikin) ditulis di batu nisan melengkapi namanya: Budi Ahmadi bin Sodikin.

Sistem penggunaan nama di Indonesia kadang-kadang menimbulkan kebingungan teman-teman orang asing. “Masa tidak ada nama keluarga?”, itu pertanyaan yang sering diajukan. “Seperti tidak ada bapaknya”. Maka ada baiknya, keluarga di Tanah Air menggunakan nama lebih dari dua suku kata plus nama ayah (atau nama keluarga) dipakai. Memudahkan dalam komunikasi internsional. Tapi pemberian nama ini juga tradisi, bagian dari budaya, jadi terserah anda.

(Aam Bastaman, Uni Trilogi).

Aam+Bastaman.png