Kita dan Dominasi Korporasi Digital

Catatan: Aam Bastaman

Dengan pandangan linear, sekilas nampak kehidupan masa kini serba canggih, banyak produk jasa yang ditawarkan beragam korporasi digital yang mempermudah kehidupan kita, baik dalam berbisnis maupun dalam menjalankan kehidupan sosial. Hari-hari kita sepertinya tidak terlepas dari Google, Microsoft, Whatsapp, Facebook, Instagram, Twitter, dan lain-lain, serta perangkat canggih - smart phone, yang menyediakan beragam program aplikasi untuk mendukung kehidupan modern kita saat ini.

Namun ada syarat dalam mengoperasikan beragam aplikasi dan menggunakan beragam media tersebut - penyerahan data. Akibatnya, data-data kita ada di mana-mana, sebut saja nama, tempat dan tanggal lahir, alamat, pekerjaan, nama ibu kita, bahkan pasangan kita dan keluarga kita. Itu baru data-data dasar. Kita membeli produk apa, dimana, dengan harga berapa, dengan mudah bisa terdeteksi, termasuk kebiasaan kita, nonton, makan apa di luar rumah, olah raga, bahkan preferensi politik kita atau informasi apa saja yang bersifat pribadi. Hampir tidak ada yang tidak terekam. Termasuk sedang dimana posisi kita saat ini, dapat dengan mudah diketahui. Seolah tidak ada lagi tempat untuk bersembunyi. Data-data diri kita sangat terbuka, transparan, bahkan terang benderang. Apalagi nanti kalau semua data kependudukan sudah terintegrasi dengan berbagai laporan kewajiban sebagai warga negara, seperti laporan pajak, laporan imigrasi, dan lain-lain. Semua bisa terekam dalam aplikasi digital yang kita gunakan.

Hidup kita diatur produk-produk korporasi besar (terlepas dulunya mereka kecil-kecil), yang memudahkan dan membuat hidup kita lebih nyaman, namun sekaligus mengikat. Korporasi digital dengan mudah bisa mengakses data-data kita, karena mereka sang penguasa data. Padahal kebergantungan kita pada korporasi-korporasi digital ini begitu besarnya, seolah kita tidak bisa hidup lagi tanpa perangkat digital. Coba kita lihat, bagaimana reaksi seseorang saat HP pintarnya ketinggalan, barang sehari saja…

Meskipun dengan gagah kita mengatakan sekarang dunia ada dalam genggaman kita, namun esensinya menjadikan kita memiliki kebergantungan yang tinggi pada perangkat smart phone dan perangkat digital lainnya, dengan beragam fitur dan aplikasinya. Faktanya bukan hanya kebergantungan, namun sudah kecanduan. Kita jadi pengikut dan konsumen yang setia. Kita merasa diuntungkan, namun merekalah sang pemiliknya.

Manusia modern sepertinya tidak bisa menghindari dari ketergantungan pada beragam program dan aplikasi digital yang diciptakan oleh segelintir korporasi ini. Sudah menjadi bagian gaya hidup. Karena pilihan kita menjadi anggota masyarakat yang terbuka, menjadi anggota masyarakat dunia pengguna digital, berarti kita dengan suka rela menyerahkan data-data kita dan setiap informasi yang kita miliki pada beragam korporasi digital. Terkumpul menjadi data besar.

Dalam dunia digital, penguasaan pasar berarti kepemilikan data dan informasi. Korporasi bisa menggunakannya sesuai dengan kepentingan mereka, untuk keperluan komersial, bahkan politik dan inteljen. Parahnya, korporasi-korporasi tersebut berpusat di negara dan kawasan tertentu. Bukan di kawasan yang bisa kita kuasai. Masalah keamanan data menjadi sangat penting.

Seperti sebelumnya ditulis, kita bisa saja mengatakan dunia ada dalam genggaman kita, namun sebenarnya kita ada dalam genggaman korporasi digital. Jadi, harus kritis juga, sebagai konsumen.

(Aam Bastaman - Uni Trilogi).

Aam+Bastaman.png
Aam BastamanComment