Media Sosial, Cukup Sudah

Catatan: Aam Bastaman

Saya simpatik dengan beberapa anjuran pembatasan media sosial (medsos) di masa pandemik Covid-19 ini, bahkan seterusnya. Cukup sudah kita dengan media sosial. Disamping banyak hal-hal positif, media sosial juga berpotensi membuat banyak hal menjadi runyam. Makin hari mudaratnya makin besar. Di situlah terkumpul berbagai horor fitnah, kebencian, kabar bohong, kedengkian, ajang dendam, sampai ajang narsis puja puji dan pamer ria. Meskipun banyak juga informasi yang menghibur dan bermanfaat, namun lebih banyak lagi informasi dengan kategori sampah, tanpa bisa disaring.

Cukuplah sudah kegilaan kita dengan media sosial, mari kita kembali hidup “normal”, Kebahagiaan dan kesejahteraan kita tidak bergantung pada media sosial. Sayangnya banyak dari kita, termasuk saya sendiri dengan sukarela menggantungkan diri pada media sosial. Ternyata menjadi kecanduan. Ibarat narkoba medsos menimbulkan ketergantungan.

Berapa waktu kita habis untuk membuka media sosial, mulai dari WA, Facebook, Instagram yang konon sekarang menjadi satu grup usaha dibawah satu kendali, atau aplikasi medsos lainnya. Berapa banyak kegiatan produktif yang kehilangan waktu karena lama-lama membaca grup WA, yang bertebaran di layar HP kita? Jangan-jangan kita semakin tidak produktif, dan hidup kita habis dalam imajinasi komunikasi yang semu.

Kadang lucu, melihat orang cekikikan sendiri, atau senyum-senyum sendiri, atau menunjukkan muka masam, muka sebel, muka murka saat meliat HP nya. Gara-gara membuka media sosial. Rupanya banyak orang terpengaruh informasi sampah. Lebih dari itu, semua orang sekarang sibuk dengan dirinya sendiri, dengan muka menatap ke bawah ke arah layar HP. Bisa posisi berdiri ataupun duduk, ataupun jongkok. Pemandangan yang kita lihat setiap hari. Obrolan hangat saat berkumpul seolah hilang, digantikan kesibukan dengan HP nya masing-masing.

Di satu pihak HP tepatnya HP pintar (smart phone) menjadi benda ajaib yang membantu kehidupan kita menjadi lebih mudah dan praktis, seperti urusan pembayaran, transfer uang, lihat peta, pesan barang, cari informasi, komunikasi, kirim berita, baca berita, bahkan banyak dipakai juga untuk urusan pekerjaan, namun di sisi lain begitu banyaknya aplikasi di dalamnya, termasuk sosmed, membuat komunikasi hidup kita yang sudah berjarak semakin menjauh lagi. Plus lagi berita dan kabar yang melimpah dan tidak terbendung saking derasnya, orangpun sulit menyaring, kalaupun sempat disaring hanya yang sesuai dengan kepentingannya (seperti preferensi politik).

Dalam sosmed semua orang bisa berkuasa, bahkan seorang individu yang bukan siapa-siapa, dengan modal nekad bisa mengalahkan para pakar dibidangnya. Sosial media memunculkan pakar-pakar palsu yang kesepian, dengan kenekadannya ia bisa membunuh rasa sepinya dengan eksis dan narsis di sosmed, atau pura-pura pintar menyebarkan informasi yang menguntungkan dirinya (bisa jadi hanya sekedar ingin eksis), namun membahayakan kehidupan banyak orang. Muncul tirani individu yang lumayan sulit dikendalikan, karena semua orang bisa menulis dan menyampaikan apa saja.

Aneh, sosmed juga mengubur para pakar yang sebenarnya, seolah membiarkan para pakar-pakar palsu, yang tiba-tiba bisa muncul bak patriot, pura-pura pembela negara, pembela ideologi, pemebela agama, pembela rakyat, dengan potongan ayat, ataupun potongan informasi yang ia comot dari berbgai sumber medsos lain yang kemudian menyebarkannya kembali untuk kepentingannya, atau sekedar ingin eksis, karena di dunia nyata ia bukan siapa-siapa. Para pakar palsu ini senang dengan retorika “ayo viralkan!”.

Demam medsos juga melanda anak-anak. Jangan kaget perilaku “bullying” terjadi juga di media yang tidak sosial ini. Dunia medsos kita menemukan lebih banyak lagi korbannya, para anak-anak. Apalagi beberapa penelitian menunjukkan media sosial bisa memicu depresi. Sayangnya, banyak orang tua mengambil pendekatan praktis, memberikan HP pintar kepada anak-anaknya, meski belum cukup umur. Dengan diberikannya HP pintar anak-anaknya menjadi diam, tidak cerewet, atau kadang dianggap menjadi “tidak nakal”. paradigma yang salah. Secara tidak langsung banyak orang tua menjerumuskan anak-anaknya menjadi korban medsos, atau korban ketergantungan HP. Padahal di banyak negara orang tua baru memberikan HP kepada anak-anaknya setelah mencapai usia 15 tahun. Betapa bebasnya negara kita.

Cukup sudah dengan sosmed, saya setuju dengan anjuran itu. Minimal melakukan pembatasan. kalau saat ini kita melakukan pembatasan sosial, maka sekalian saja juga pembatasan media sosial. Media sosial lebih disarankan untuk komunikasi yang mendukung pekerjaan, atau komunikasi keluarga, atau penggunaan secara terbatas, kalau masih mau dipakai. Idealnya mari mengatakan “tidak” pada media sosial yang berlebihan. Jadi bukan hanya social distancing, tapi juga social media distancing (kalau distancing diartikan sebagai pembatasan). Bukan apa-apa sekarang ini media sosial seringkali menjadi media yang sangat tidak sosial.

(Aam Bastaman). Penulis.

media-sosial-lebih-picu-depresi-ketimbang-bermain-game-4eOUdfT0gp.jpg
Aam BastamanComment