Tanggal 1 Maret Diusulkan Jadi Hari Besar Nasional

Maret1.jpg

Telah diusulkan agar tanggal 1 Maret sebagai pertanda peristiwa pengambil aliran kembali Ibu Kota RI dari tangan Belanda selama enam jam ketangan RI kembali setelah diduduki oleh Belanda sejak akhir bulan Desember 1948 melalui serangan yang brutal oleh Belanda yang ingin kembali menjajah RI setelah merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai Hari Libur Nasional. Konon usulan Hari Besar Nasional itu sedang di proses dengan harapan segera di kabulkan. Seperti diketahui pada tanggal 1 Maret 1949 dibawah kepemimpinan Letkol Suharto Ibu Kota RI Yogyakarta direbut kembali dari jakahan Belanda biarpun hanya untuk enam jam tetapi peristiwa itu menjadi awal dari pengakuan dunia bahwa Negara RI masih ada dan sedang melakukan konsolidasi dan gerilya di desa-desa di seluruh Indonesia. Letkol Soarto mendapat dukungan yang kuat dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Jendral Soedirman yang jga mengungsi karena ibukota yang diduduki Belanda tersebut. Setelah enam jam menduduki kembali Ibu Kota RI Yogyakarta, tentara TNI dan rakyat memutuskan untuk kembali ke desa-desa demi mencegah korban yang lebih banyak karena Belanda mendatangkan pasukan bantuan dari beberapa daerah dan melakukan gempuran balas dendam yang membabi buta tanpa peri kemanusiaan menembak siapa saja yang ada di sekitar, anak-anak termasuk para ibu yang tidak berdosa.

Maret2.jpg

Gempuran brutal itu membuat Komandan Lapangan Let Kol Soeharto mengambil keputusan agar para prajurit TNI dan pemuda yang semula bertahan di Ibu Kota Yogyakarta segera kembali ke desa. Tetapi di desa setiap malam tentara TNI bersama pemuda melanjutkan perjuangan dengan “perang gerilya” yang lebih dahsyat. Bahkan di siang hari para prajurit TNI dan para pemuda yang diam-diam sering menyaru sebagai petani menyerang patroli Belanda dengan antek-anteknya di jalan-jalan sehingga pasukan patroli lama kelamaan menjadi sangat ngeri melakukan patroli ke desa-desa. Atau mereka melakukan patroli bersama pengawalan yang lebih ketat mengantisipasi cegatan tentara dan pemuda yang dilindungi rakyat banyak dengan fanatisme yang tinggi membela tentara Republik. Tidak tanggung-tanggung apabila ketahuan ada mata-mata masuk desa sebagai orang asing, dengan serentak para pemuda dan prajurit TNI akan menghabisi nyawanya dengan cara yang membuat makin lama petugas mata-mata Belanda ketakutan untuk datang ke desa, baik secara fisik atau dalam penyamaran karena rakyat yang makin kompak.

Maret3.jpg

Para prajurit Kraton yang biasanya hanya bertugas menjaga sekitar Kraton atas perintah Sri Sultan Hamengku Buwono IX bergabung dengan prajurit TNI dan para pemuda di desa. Prajurit Kraton umumnya adalah anak muda pilihan yang tidak jarang memiliki “ilmu kebatinan” yang tinggi dan tidak jarang yang kelihatan biasa saja tetapi memiliki “ilmu sakti” yang dikembangkan melalui “laku kebatinan yang tinggi”. Prajurit Keraton ini menjadi kelompok andalan yang memimpin juga perang gerilya di malam hari karena mereka juga terlatih melindungi Kraton dan wilayah Kraton yang dianggap angker.

Maret4.jpg

Para gerilyawan itu di semua desa hampir tidak kecuali dilindungi oleh rakyat sehingga setiap kali bisa masuk rumah untuk berlindung sebelum melakukan aksinya mengganggu ketentraman penjagaan Belanda dan antek-anteknya di tempat-tempat strategis seperti di dekat Benteng di wilayah dekat Alun-alun atau di tempat-tempat pusat pemerintahan lainnya. Dengan system gerilya yang dipandu dan di kendalikan oleh Jendral Soedirman dari tempat persembunyiannya di Lorok Pacitan dengan pasukannya yang terus dilatih dan sangat jauh dari pengamatan atau patroli Belanda, maka pasukan Letkol Soeharto mendapat informasi dan tambahan tenaga TNI terlatih serta pemuda-pemuda yang di ltaih di desa yang sangat jauh dari jangkauan patroli rutin Belanda yang hanya mampu melakukan patroli ke desa-desa sekitar Kota Yogyakarta secara terbatas.

maret5.jpg

Dengan perang gerilya yang makin intensif itu akhrnya pada pertengahan bulan Juni tahun 1949 Belanda merasa terdesak untuk menyerah karena serangan terhadap patroli Belanda makin memakan korban yang lebih besar. Dan pada awal bulan itu ditentukan bahwa pada akhir bulan Juni itu, tepatnya tanggal 29 Juni tahun 1949 Belanda secara resmi menyerahkan Kota Yogyakarta kembali kepada Republik Indonesia. Para prajurit TNI dan anak-anak muda yang ikut berjuang di desa secara resmi berbodong-bondonh kembali kepada keluarganya yang ternyata berada di Kota Yogyakarta secara sembunyi-sembunyi tidak diketahui olegh Belanda. Selanjutnya tanggal 29 Juni itu oleh Kepala BKKBN Haryono Suyono diusulkan menjadi Hari Keluarga Nasional dan oleh Presiden HM Soeharto ditetapkan sebagai Hari Keluarga Nasional yang setiap tahun di peringati dengan gegap gempita sebagai peringatan kembalinya prajurit TNI dan para pemuda yang berjuang di desa kembali kepada keluarganya masing-masing, mulai dengan kehidupan normal dan damai membangun negeri tercinta bersama keluarganya.

Haryono SuyonoComment