Obrolan Santai Bersama Dr. Purwanto dari Puskesmas di Banyuwangi

Pur3.png

Dalam keadaan hujan rintik-rintik di Jakarta rasanya malas keluar rumah, kami pergunakan untuk ngobrol di era 4.0 ini melalui WA dengan seorang dokter senior yang bekerja di suatu Puskesmas di Banyuwangi, dr. Purwanto. Karena bekerja di Puskesmas, menurut dugaan saya dr. Purwanto dianggap tokoh yang banyak dijadikan teladan dan pusat rujukan bukan masalah penyakit tetapi juga masalah lain pusat perhatian masyarakat. Agar tidak membosankan, kami sajikan cerita pengalamannya sebagai tokoh di luar bidang kesehatan, siapa tahu seperti dr. Hasto Wardoyo yang dokter Puskesmas, bisa jadi dokter ahli kandungan, kemudian terpilih menjadi Bupati Kulon Progo untuk dua kali masa jabatan dan sebelum habis masa jabatannya, kini dipercaya sebagai Kepala BKKBN, suatu kedudukan langsung dibawah Presiden, seperti halnya seorang Menteri.

Dalam hubungannya dengan lingkungan hidup, khusus dalam hubungan dengan pohon-pohon di pinggir jalan, dr. Purwanto memiliki resep yang ampuh. Menurut dokter yang bertindak “sebagai ahli pohjon pinggir jalan” ini, biasanya pohon pinggir jalan di tanam dengan sistem setek sehingga akarnya tidak dalam. Karena tidak dalam maka kalau sudah besar dan tertiup angin kencang, mudah roboh. Kalau pohonnya rindang, kerobohan itu bisa menjadi petaka bagi segala sesuatu yang ada di sekitarnya, misalnya merobohi orang yang berlindung atau mala petaka bagi mobil parkir di sebelahnya. Menurut dokter Purwanto, hati-hati berada di sekitar pohon pinggir jalan yang ditanam secara instan karena tidak memiliki akar yang dalam dan kuat menahan angin kencang sehingga mudah roboh, suatu peringatan preventif yang jarang di sajikan kepada publik.

Pur2.png

Nasehat lain dokter Purwanto yang patut diperhatikan para petugas Dinas Pertamanan Pemerintah Kota adalah masalah pemotongan dan perapian pohon di pinggir jalan. Dimohon Dinas memperhatikan tehnis pemotongan pohon dipinggir jalan. Kekeliruan yang sering terjadi terkait pemotongan pohon di kanan kiri jalan raya adalah pemotongan lebih banyak cabang cabangnya, samping sampingnya sedang yang keatas, bagian tingginya pohon, tidak dipotong, atau dipotong lebih sedikit, sehingga rasio tinggi kurus ke atas lebih banyak daripada pendek gemuk pohonnya.

Rasio ke atas kurus yang lebih dominan dibanding pendek gemuk menyebabkan pohon rentan sekali roboh, apalagi saat musim hujan. Bagaimana seharusnya, dokter yang peduli terhadap akibat yang bisa di sebabkan karena kesalahan ini, berargumentasi bahwa rasio pemotongan keatas/tinggi pohon yang tidak seimbang dibanding pemotongan kesamping/cabangnya, bisa berakibat banyak pohon yang roboh seperti Angsana adalah karena ditanam dengan stek batang dan kedalaman rendah sehingga akar serabut lemah dan ketika hujan dan angin besar gampang tumbang. Pohon asam yang ditanam sejak jaman Belanda jarang tumbang karena ditanam dari biji.

Sebagai dokter Puskesmas, setelah mendalami teori tentang pengabdian kepada masyarakat akhirnya dokter Purwanto menemukan bahwa kata kunci pengabdian kepada masyarakat adalah Edukasi yang bisa dipahami dan mampu diterapkan sehari hari oleh masyarakat untuk mengatasi masalah seperti stunting dan gizi buruk melalui pemberdayaan bukan kerja program, artinya betul-betul bisa memberikan perubahan pola pikir dan perilaku kehidupan sehari hari. Itulah sebabnya Dr. Haryono Suyono, ketika menjabat sebagai Deputy Operasional BKKBN, tidak keberatan sewaktu masyarakat Yogyakarta menyebut IUD bukan sebagai spiral tetapi “Iki Ucul Dadi” , salah tetapi mudah diingat. Apa lagi masyarakat Aceh menyebut Susuk KB sebagai “alwalit” singkatan “Alat dibawah Kulit”, berbau bahasa Arab, tetapi mudah diingat dan kelihatan sangat akrab dengan masyarakat.

Beliau bertanya, bagaimana caranya,  Dr. Purwanto dari Penmas Banyuwangi menjelaskan bahwa penyebab stunting adalah Kemiskinan, pendidikan yang rendah, gizi buruk, rendahnya kesadaran kesehatan serta fasilitas sanitasi yang tidak memadai. Karena itu harus secara jelas diketahui sasaran untuk menyelesaikan stunting dan gizi buruk dengan tepat. Sasaran itu adalah Ibu hamil, Ibu menyusui, anak usia 0-6 bulan, anak usia 7-23 bulan. Sasaran itu harus mendapat pencerahan dan menjadi tujuan utama dari berbagai intervensi yang dijalankan.

Pur1.png

Lebih dari itu, perhatian berikutnya terkait makanan tambahan untuk mengatasi kekurangan energi protein kronis,  pemberian fe,  asam folat,  dan kalsium bagi ibu hamil,  inisiasi menyusui dini,  ASI eksklusif, imunisasi lengkap,  memantau tumbuh kembang anak.

Tindakan berikutnya menyangkut Intervensi gizi sensitif, tidak langsung berkaitan dengan sasaran untuk stunting dan gizi buruk yaitu menyangkut akses air bersih, akses sanitasi pribadi, akses Yankes dan KB, edukasi pengasuhan anak yang tepat oleh orang tua dan edukasi kesehatan seksual, reproduksi dan gizi pada remaja. Selain faktor-faktor tersebut,  penting diperhatikan Kolaborasi positif tanpa rasa curiga, saiing menunjang serta sangat manis dari para pakar, utamanya para pelaksana beserta sesama dalam jejaringnya yang luar biasa dalam penanganan stunting dan gizi buruk di lapisan paling bawah yang berada di dekat para orang tua dan keluarga yang anaknya menderita stunting atau gizi buruk dengan tidak merendahkan mereka tetapi memberi harapan bahwa dengan komitmen, penanganan yang sungguh-sungguh dan konsisten masalah itu dapat di selesaikan. Menanggapi itu semua dr. Purwanto memberi jawaban mantab bahwa akhirnya para orang tua, petani, peternak dan siapa saja adalah pahlawan sejati yang bisa mengatasi stunting dan gizi buruk. Pasti dengan tekad, kalau bukan kita siapa lagi. Selamat malam Minggu dokter Purwanto dengan dedikasi yang tinggi di daerah pedesaan. Salam perjuangan yang sangat mesra dari semua pecinta anak bangsa yang sehat, cerdas, siap mandiri dan menjadi sumber daya manusia dan keluarga pembangun bangsa yang dinamis, berhasil dan sejahtera. Amin semoga doa kami terkabul.

Haryono SuyonoComment