Manajemen: Turbulensi Dunia Bisnis

Oleh: Aam Bastaman

Perkembangan teknologi iinformasi yang pesat mengantarkan para pebisnis baru pada dunia digital yang berbasis bit, dengan model bisnis baru, yang seringkali menjadi ancaman dan mengganggu  perusahaan- perusahaan mapan bermodel bisnis lama.  Dunia digital  menawarkan kecepatan proses, efisiensi  dan berbiaya lebih murah, karena bisa memangkas beragam perantara yang sering menjadikan biaya membengkak, sehingga memberatkan konsumen.

Model bisnis baru yang efisien dan convenience ini telah mengancam eksistensi perusahaan-perusahaan dengan model bisnis lama, termasuk perusahaan-perusahaan besar sekalipun, yang dulu banyak orang berpikir tidak mungkin terganggu, apalagi sampai bubar. Saat ini tidak ada ungkapan kepastian  ataupun stabilitas dalam manajemen bisnis, karena model bisnis  baru yang berbasis digital ini bisa mengganggu secara kreatif dan inovatif, bahkan menghancurkan dan meluluhlantakkan.

Masih ingat, saat perusahaan taksi Blue Bird dengan para pengemudinya melakukan demo protes
terhadap layanan jasa transportasi berbasis on line?  Blue  Bird menyadari kompetisi datang dari perusahaan diluar kompetitor  tradisionalnya – sesama perusahaan taksi, tapi telah muncul kompetitor  baru perusahaan transportasi berbasis aplikasi on line, yang sama sekali tidak memiliki armada, namun mampu menggerakkan sumber daya yang ada di masyarakat untuk bergabung menjadi mitra.

Bukan hanya perusahaan transportasi taksi yang terganggu, juga perusahaan agen penjualan tiket
perjalanan dan hotel,  media cetak, televisi, jasa hotel, industri ritel berbasis outlet, toko-toko konvensional, jasa perbankan, bahkan bukan tidak mungkin ke depan akan terganggu juga dunia pendidikan dan universitas oleh aplikasi pendidikan melalui Mass Open Access berbasis on line. Kehadiran aplikasi Pendidikan Ruang Guru yang berbasis online misalnya, telah  mengganggu kehadiran lembaga-lembaga kursus dan lembaga pendidikan lainnya. Kini telah bermunculan beragam jasa aplikasi pendidikan berbasis on line lainnya yang lebih menarik, efisien dan efektif. Sekarang kita menyaksikan semakin banyak profesi yang hilang tergerus arus perubahan yang diakibatkan oleh semakin canggihya teknologi dengan artificial intelligence-nya, yang bisa menggantikan peran tenaga manusia.

Apa boleh buat untuk bisa sustain bisnis harus melakukan adaptasi model bisnis di dunia yang penuh turbulensi ini. Bisnis dituntut untuk selalu mengamati dan menyesuaikan selera konsumen yang terus berubah secara dinamis, seiring dengan perubahan dalam lingkungan teknologi informasi yang sangat cepat dan masif. Diperlukan inovasi baru yang secara kreatif bisa menghadirkan value yang lebih bermakna kepada pasar yang semakin demanding.

Persaingan saat ini semakin tidak terduga, bagi perusahaan dengan model bisnis lama, selain datang pesaing dari ‘dunia lain’ seperti beragam perusahaan-perusahaan rintisan (start up) aplikasi on line, baik dalam bentuk platform market place maupun e_commerce, namun persaingan ketat pun terjadi diantara perusahaan-perusahaan rintisan digital. Tidak heran selain bermunculan perusahaan rintisan digital yang berkembang dan sustain, banyak pula yang tumbang di tengah jalan.  Yahoo mungkin dulu sempat Berjaya, sekarang goyang menghadapi Google. Perusahaan rintisan dengan platform media sosial bernama Path kini tinggal nama, juga dulu kita sempat mendengan nama platform media social Friendster, kini kalah oleh Facebook.  Twitter yang sempat populer sekarang belum tentu aman. Begitu pula dengan perusahaan jejaring sosial Myspace yang sempat berkembang kemudian menghilang.

Turbulensi akan terus melanda dunia bisnis. Hampir semua organisasi (dan bisnis) terus menerus dalam posisi tidak aman. Kecuali terus berinovasi dan mencari jalan melalui adaptasi dan mempertahankan kemampuan untuk selalu belajar mengenai pasar, terutama konsumen dan pesaing, sehingga mampu memberikan penawaran nilai yang superior, yang lebih unggul dari kompetitor.

Terlalu banyak perusahaan-perusahaan besar yang berstatus ‘almarhum’, paling tidak meredup,
padahal dulu tidak ada orang yang berpikir bakal tumbang, karena kebesaran namanya. Tentu masih ingat dengan Sonny Ericsson, IBM, Nokia, Blackberry, Kodak, Fuji. Atau di dalam negeri berapa banyak perusahaan maskapai penerbangan yang tumbang? Juga perusahaan transportasi yang tumbang, perusahaan kredit yang tumbang, perbankan yang tumbang, asuransi yang tumbang, ritel yang tumbang, otomotif yang tumbang? Deretan nama-nama merek besar yang tumbang atau bermasalah semakin panjang.  Kemudiaan muncul merek-merek baru yang masih ‘ingusan’, namun gesit, lincah, efisien dan murah dengan model bisnis baru, membolak-balikkan peta persaingan.

Selamat datang ketidakpastian, selamat berselancar dalam turbulensi. Pilihannya ada dua dalam menghadapinya: inovasi atau mati.

Aam Bastaman (Uni Trilogi). Penulis.  Editor Senior Gemari.id

Aam Bastaman1.png
Aam BastamanComment