Misteri Sukses
Catatan Aam Bastaman
SUKSES seolah menjadi kata ajaib dalam kehidupan di abad 21 ini. Semua orang berlomba-lomba mengejarnya dengan segala risiko untuk mendapatkan “makhluk” satu ini. Sukses dipandang sebagai sebuah pencapaian atas sebuah impian, ataupun puncak perolehan dari apa yang kita harapkan dalam hidup ini.
Namun, orang ternyata mendefinisikan sukses secara relatif. Orang yang mempunyai kedudukan tinggi baik di perusahaan swasta, perusahaan Negara maupun kedudukan dalam kenegaraan bisa dianggap sebagai sukses. Orang tua yang dapat menyekolahkan anak-anaknya sampai pendidikan tinggi bisa dianggap sebagai orang tua sukses. Orang yang dapat menimbun kekayaan sehingga jauh diatas rata-rata kepemilikan orang lain, rumah mewah, mobil, harta lain termasuk uang yang melimpah juga bisa dianggap sukses.
Seorang dosen yang menyelesaikan pendidikan S3-nya dan kemudian menyandang gelar profesor juga bisa dianggap sebagai dosen sukses. Ternyata segala hal yang menjadi hasil pencapaian bisa dianggap sebagai sukses. Tapi, sukses itu juga relatif, meskipun merupakan hasil dari sebuah upaya pencapaian atau buah dari suatu proses dan ketekunan. Mungkin ada faktor hoki, namun jika kita melihat sejarah hidup orang-orang besar, ternyata faktor hoki ini hanya sebagian kecil saja. Oleh karena itu tidak heran, banyak para cendekia mengatakan sukses itu sebuah perjalanan, bukan tujuan.
Sayangnya, karena banyak yang hanya melihat hasil akhir sebagai ukuran sukses dan bukan prosesnya, maka terlihat bahwa sukses selalu didewa-dewakan secara berlebihan, apalagi ukuran sukses terkadang selalu diartikan pada pengumpulan materi (harta) secara sempit. Sehingga, proses pencapaiannya (memperolehnya) seringkali diabaikan. Oleh karena itu dalam konteks ini budaya korupsi yang mengental dalam masyarakat kita sulit diberantas, karena perilaku korupsi abai atau masa bodo dengan proses, tapi jalan pintas yang bertentangan dengan kaidah-kaidah sukses (kita terlalu sering mengacuhkan proses). Jangan heran kalau perilaku korupsi demikian marak, karena ukuran sukses hanya dilihat dalam bentuk rumah, mobil, tanah, uang dan hal-hal berbau materi lainnya, sebagai “hasil”, padahal dalam prosesnya dilakukan dengan menghalalkan segala cara.
Maka perlu mendengar orang-orang bijak yang mengajak, saatnya kita sekarang menengok proses (bekerja, berusaha dan berjuang) sebagai ukuran kesuksesan dan bukan hasil akhir semata (jabatan, harta, materi dan uang). Sehingga kegagalan bisa lebih dihargai atau dilihat dari kacamata positif sebagai sukses tertunda. Penghinaan terhadap sebuah kegagalan telah menghambat banyak orang untuk mencoba atau berusaha, yang justru melahirkan keterbelakangan baru—tiadanya kreativitas.
Memang orang sering kali tidak tahan atau tidak sabar dengan proses, inginnya memperoleh hasil secara instan (seperti makanan cepat saji), terhidang seketika. Tidak heran kalau orang sering melakukan jalan pintas (gambling, dukun dan usaha-usaha irasional lainnya). Padahal sukses yang ideal harus diperoleh dengan ketekunan, kesabaran, kerja keras dan usaha tiada henti. Kita sering kali lupa bahwa pada saat kita menjalani sesuatu sebagai proses, kita perlu mencintainya. Seorang pengusaha besar mengatakan mencintai apa yang kita lakukan merupakan sukses langkah pertama. Pikiran dan bagaimana kita memandang sesuatu akan menentukan apresiasi dan pandangan kita terhadap suatu hal.
Masih ingat cerita tentang seorang tukang batu? Ketika sedang bekerja, dia ditanya seseorang apa yang sedang dilakukannya. Dia menjawab dirinya sedang turut membantu membangun sebuah gedung paling megah di kotanya. Dalam pandangan sempit sebenarnya apa yang ia kerjakan adalah membelah batu (tukang batu). Tapi, bagaimana ia memandang pekerjaannya dalam kacamata batin dan pikirannya yang besar—membangun sebuah bangunan yang termegah di kotanya.
Dalam kaitan ini pulalah seorang motivator di Jakarta menekankan pentingnya kita mempunyai impian, ingin menjadi apa dan ingin seperti apa. Apa yang dicita-citakan seorang aku dalam mengarungi samudra kehidupan ini, termasuk harapan di hari akhir kelak. Visi pribadi diperlukan sebagai pembimbing kea rah kehidupan yang kita inginkan. Menjadi professional puncak, menjadi wirausahawan besar, menjadi bapak yang mempunyai waktu luang untuk anak dan keluarganya, menjadi pecinta lingkungan, penegmbara yang bisa melihat lebih banyak hal di belahan dunia lain, penulis atau relawan bagi lingkungannya? Banyak visi pribadi yang membentang sebagai pilihan, tentu saja selanjutnya (seperti kata sang motivator) terserah Anda.
Yang jelas, kita tidak bisa ongkang-ongkang kaki untuk mendapatkan sesuatu, termasuk kesuksesan, seperti yang disampaikan seorang pengusaha besar. Ketidaksabaran dan ketidaktekunan ini justru akan menjadi penghalang seseorang untuk sukses. Banyak yang lupa sukses perlu perjuangan dan pengorbanan, dan usaha yang sungguh-sungguh dan tiada mengenal lelah.
Banyak orang besar yang justru merasakan suksesnya hanya kurang dari 1% dibandingkan dengan semua kegagalannya. Jadi, sukses bisa menjadi misteri, namun bukan misteri kalau kita menjalani proses pencapaiannya dengan ketekunan dan kesabaran. Kembali sang motivator mengibaratkan seperti mendayung di laut, “daratan” akan kelihatan juga jika mendayung dilakukan dengan benar dan arah yang benar.
Dari berbagai biografi, umumnya pengusaha sukses sependapat: Banyak orang takut gagal, dan karenanya tidak pernah mencoba. Akibatnya, tidak menciptakan perubahan apa-apa dan juga tidak menjadi apa-apa. Takut gagal sebenarnya lebih berbahaya daripada kegagalan itu sendiri. Mencoba adalah langkah pertama, termasuk menghilangkan ketakutan terhadap kegagalan. Kita tidak akan berubah kalau kita tidak melakukan apa-apa. Kuncinya memang keberanian untuk melangkah. Kunci kecil dalam menggapi impian besar adalah langkah kecil dan sederhana: memulai!
(Diadaptasi dari tulisan Aam Bastaman sebelumnya, dengan judul yang sama)