Mengentas Kemiskinan Sambil Bersihkan Lingkungan dari Sampah

ranting.jpg

Dalam suasana Pandemi Corona dewasa ini petunjuk yang berlaku adalah segala sesuatu di kerjakan dari rumah, tinggal di rumah., sekolah dari rumah dan bekerja dari atau di rumah. Bagi pendudk di pinggir laut, apalagi di sebelahnya ada sungai, sungguh sangat menjengkelkan karena di rumah pasti bising karena deburan ombak dan ada kalanya kalau air pasang, bisa saja air laut meluap ke halaman rumah, membawa sampah terdiri dari ranting-ranting kecil dan sampah yang berserakan mengotori halaman dan seakan mengubah halaman rumah menjadi tempat pembuangan sampah.

Di masa lalu sampah-sampah itu tidak ada gunanya kecuali mencemarkan dan membuat halaman rumah penduduk di pinggir pantai menjadi kotor dan lama kelamaan menjadi hambatan gerak dan menurunkan derajad kesehatan keluarga yang ada di sekitarnya. Hanya kalau “ada rob” air laut yang melimpah ke halaman rumah, ada kalanya membawa ikan, sehingga penduduk tidak perlu ribut dan bekerja keras mencari atau mengambil ikan ke laut karena ikan-ikannya diantar ke halaman rumah, termasuk ikutan udang dan yuyu atau jenis ikan lainnya, suatu berkah yang tidak selalu datang, tetapi kalau sampah ranting-ranting kecil dari potongan dahan kecil atau  pohon kering yang selalu atau akan datang berserakan memenuhi halaman rumah dan hampir seluruh pinggir pantai.

rumahSp.png

Dalam waktu dekat kelihatannya keadaan akan berubah sehingga keluarga sekitar pantai, tidak saja di Bekasi atau pantai Bahagia Bagelen, dimana usaha kerja keras keluarga di pantai yang miskin akan segera diajak kerja keras mengumpulkan sampah ranting-ranting kayu kecil itu untuk diproses, diolah dikembangkan menjadi pelet sebagai bahan bakar atau bahasa kerennya “wood pellet” sebagai bahan bakar kompor rakyat untuk berbagai keperluan pemanasan, bakar sate, kompor rumahan yang bahan bakarnya terbarukan, tidak mahal dan sangat ramah lingkungan karena kalau sukses di perkenalkan, bisa menghabiskan sampah ranting kecil yang mengotori pantai-pantai di seluruh Indonesia, suatu garapan yang sangat super dan bagi Kementerian Lingkungan Hidup, pantas memberikan penghargaan karena tertolong mengolah kembali limbah yang di masa lalu sangat mengganggu pantai yang indah di seluruh Indonesia.

Program yang diperkenalkan ini dirintis oleh Yayasan Penyandang Cacat yang dipimpin oleh Ibu Isminarti Yuli dari Bekasi, binaan Prof. Dr. Haryono Suyono, Pembina pula dari Yayasan Anugerah di Jakarta, yang bersama-sama dengan Bapak Kyai Faishal Iskaq dari Jombang, akan memberi petunjuk bagaimana sampah ranting-ranting yang langsung datang ke halaman rumah apabila terjadi “rob air laut yang melimpah ke halaman rumah”, dengan bekerja keras bisa dikumpulkan dan diolah dengan baik. Keluarga sekitar pantai, tidak saja di Bekasi atau pantai Bahagia Bagelen, di mana masih banyak keluarga yang miskin, akan segera diajak kerja kers mengumpulkan sampah ranting-ranting kayu kecil itu untuk diproses, diolah dikembangkan menjadi pelet sebagai bahan bakar atau bahasa kerennya “wood pellet” sebagai bahan bakar kompor rakyat untuk berbagai keperluan pemanasan, bakar sate, kompor rumahan yang bahan bakarnya terbarukan, tidak mahal dan sangat ramah lingkungan karena kalau sukses di perkenalkan bisa menghabiskan sampah ranting kecil yang mengotori pantai-pantai di seluruh Indonesia, suatu garapan yang sangat super dan bagi Kementerian Lingkungan Hidup pantas memberikan penghargaan karena tertolong mengolah kembali limbah yang di masa lalu sangat mengganggu pantai yang indah di seluruh Indonesia.

Gagasan ini berawal ketika Panitia Natal PB PWRI beberapa waktu lalu mengadakan Perayaan Natal di Jakarta. Panitia dari Pensiunan Dirjen Imigrasi ingin memberi sumbangan yang ada artinya kepada masyarakat luas. Oleh Ketua Umum PB PWRI disarankan agar di berikan berupa mesin cacah sampah plastik untuk kelompok keluarga miskin dan penyandang cacat di Bekasi. Maka dibelikanlah sebuah mesin pencacah sampah plastik yang mampu mengolah sampah menjadi plastik lembut untuk dimanfaatkan kembali sebagai bahan baku di pabrik plastik. Ternya mesin itu bisa untuk mengolah sampah ranting kecil menjadi bubuk kayu yang bisa diolah menjadi “pelet kayu” sebagai bahan baku yang memiliki kapasitas mengalahkan “arang” yang biasa di gunakan untuk memasak oleh nenek moyang kita.  Bahan bakar bubuk ranting itu bisa di kentalkan menjadi “pelet kayu” dengan dicetak kecil-kecil dalam bentuk “butiran arang” yang manis dengan “perekat lokal” agar tidak pecah atau ambyur berantakan.  Pelet ini laku jual dengan harga eceran sekitar Rp. 2000,- atau kalau dibeli di “pabriknya” bisa sekitar Rp. 1300,-, suatu perubahan dari sampah pantai yang tidak ada harganya sama sekali.

Dalam waktu singkat Mesin Cacah hibah dari PWRI tersebut akan ditempatkan di suatu bangunan yang ide sewa oleh Ibu Isminarti Yuli di Kampung Miskin di Muara Gembong di mana ada suatu Tim yang akan dilatih bersama oleh Abah Faishal yang datang langsung dari Jombang dan bersedia melatih pemberdayaan keluarga miskin tersebut mengumpulkan ranting-ranting kecil berserakan, termasuk pohon Magrove kering untuk dicacah dan diolah menjadi bubuk kayu dan selanjutnya di bentuk menjadi “wood pellet” sebagai arang bahan bakar terbarukan yang sangat efektif. Suatu teknologi sederhana yang bisa di laksanakan oleh keluarga miskin sebagai sarana membangun keluarganya menjadi keluarga yang bahagia dan sejahtera sekaligus menata kembali lingkungan yang asri dipinggir pantai. Insya Allah.

plastikp.jpg

Gagasan ini berawal ketika Panitia Natal PB PWRI beberapa waktu lalu mengadakan Perayaan Natal di Jakarta. Panitia dari Pensiunan Dirjen Imigrasi ingin memberi sumbangan yang ada artinya kepada masyarakat luas. Oleh Ketua Umum PB PWRI disarankan agar di berikan berupa mesin cacah sampah plastik untuk kelompok keluarga miskin dan penyandang cacat di Bekasi. Maka dibelikanlah sebuah mesin pencacah sampah plastik yang mampu mengolah sampah menjadi plastik lembut untuk dimanfaatkan kembali sebagai bahan baku di pabrik plastik. Ternya mesin itu bisa juga untuk mengolah sampah ranting kecil menjadi bubuk kayu yang bisa diolah menjadi “pelet kayu” sebagai bahan baku yang memiliki kapasitas mengalahkan “arang” yang biasa di gunakan untuk memasak oleh nenek moyang kita.  Bahan bakar pelet ini laku jual dengan harga eceran bisa sampai sekitar Rp. 2000,- atau kalau dibeli di “pabriknya” bisa sekitar Rp. 1300,-, suatu perubahan dari sampah pantai yang tidak ada harganya sama sekali.

SAMPAHg.jpg

Dalam waktu singkat, dengan restu Pembina Prof. Dr. Haryono Suyono, Mesin Cacah hibah dari PWRI tersebut akan ditempatkan di suatu bangunan yang disewa oleh Ibu Isminarti Yuli di Kampung Miskin di Muara Gembong di mana suatu Tim dilatih oleh Abah Faishal yang datang langsung dari Jombang dan bersedia melatih pemberdayaan keluarga miskin tersebut mengumpulkan ranting-ranting kecil berserakan, termasuk pohon Magrove untuk dicacah dan diolah menjadi bubuk kayu dan selanjutnya di bentuk menjadi “wood pellet” sebagai arang bahan bakar terbarukan yang sangat efektif. Suatu teknologi sederhana yang bisa di laksanakan oleh keluarga miskin sebagai sarana membangun keluarganya menjadi keluarga yang bahagia dan sejahtera. Insya Allah.

Haryono SuyonoComment