SD Inpres Pak Harto dan Penerima Hadiah Nobel Ekonomi 2019

Catatan: Aam Bastaman

Beberapa waktu yang lalu saya mengulas mengenai kebangkitan diaspora India. Topik tulisan kali ini masih ada hubungannya dengan keberhasilan diaspora India tersebut. Salah seorang penerima hadiah Nobel bidang ekonomi tahun 2019 merupakan seorang Ekonom Amerika keturunan India - Abhijit Banerjee, seorang profesor di MIT, ia berbagi hadiah yang didambakan banyak ilmuwan tersebut dengan istrinya, Esther Duflo, dan Michael Kremer, professor dari Harvard. Tiga ekonom penerima hadiah nobel Ekonomi tersebut akan berbagi hadiah  9 juta Krona Swedia ($ 915.164).

Mereka diakui karena pendekatan eksperimental mereka untuk mengurangi kemiskinan global, seperti yang disampaikan Akademi Nobel Swedia yang berbasis di Stockholm. "Penelitian yang dilakukan oleh penerima nobel (Laureates) tahun ini telah sangat meningkatkan kemampuan kita untuk memerangi kemiskinan global," demikian siaran pers Akademi Nobel tersebut. "Hanya dalam dua dekade, pendekatan berbasis eksperimen baru mereka telah mengubah ekonomi pembangunan, yang sekarang menjadi bidang penelitian yang berkembang."

Banerjee, yang saat ini adalah Ford Foundation International Professor of Economics di Massachusetts Institute of Technology (MIT), adalahekonom Amerika-India kedua yang memenangkan Hadiah Nobel. Sebelumnya, Profesor Harvard Amartya Sen warga Amerika Serikat yang juga keturunan India dianugerahi Hadiah Nobel pada tahun 1998.

Banerjee, yang lahir di Maharashtra, memiliki silsilah ekonomi yang hebat. Orang tuanya, Nirmala dan Dipak Banerjee, keduanya adalah profesor ekonomi. Setelah menyelesaikan gelar masternya di bidang ekonomi dari Universitas Jawaharlal Nehru, Banerjee datang ke Amerika Serikat untuk mendaftar sebagai mahasiswa S3 untuk mendapatkan gelar PhD di Universitas Harvard.

istrinya, Esther Duflo adalah orang Amerika-Prancis, merupakan penerima Nobel ekonomi termuda. Duflo saat ini baru berusia 46 tahun,  sekaligus perempuan kedua yang dianugerahi Hadiah Nobel ekonomi. Dia adalah seorang profesor di Massachusetts Institute of Technology (MIT), seperti suaminya.  Dulfo lahir pada 25 Oktober di Paris, Prancis, dari pasangan Violaine Duflo, seorang dokter, dan Michael Duflo, seorang profesor matematika.

Sedangkan Michael   Kremer (55 tahun), mitra peneliti keduanya adalah Profesor dan ekonom di Universitas Harvard, dianggap sebagai pelopor di bidang penelitian berbasis eksperimen, yang memiliki minat penelitian  yang sama dalam upaya mengentaskan kemiskinan global.

Berbeda dari kebanyakan peneliti yang melihat masalah kemiskinan secara luas, ketiga ekonom ini fokus pada isu-isu yang lebih spesifik seperti upaya pengembangan pendidikan pada masyarakat miskin. Salah satu fokusnya adalah bagaimana meningkatkan kinerja sekolah di daerah-daerah miskin.

Akademi Nobel Swedia mengaggap bahwa penelitian ketiga ekonom itu "membantu kita memerangi kemiskinan global."  Ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat perbaikan dramatis baru-baru ini,  namun salah satu masalah kemanusiaan yang paling mendesak adalah pengurangan kemiskinan global, dalam segala bentuknya. "lebih dari 700 juta orang di muka bumi masih hidup dengan pendapatan yang sangat rendah." Demikian penilaian Akademi Nobel tersebut.

Seperti dilansir berbagai media, akademi Nobel tersebut menilai penerima Nobel (Laureates) tahun ini telah memperkenalkan pendekatan baru untuk mendapatkan jawaban yang dapat diandalkan tentang cara terbaik untuk memerangi kemiskinan global. Singkatnya, melibatkan dan membagi masalah ini menjadi pertanyaan-pertanyaan yang lebih kecil, lebih mudah dikelola - misalnya, intervensi paling efektif untuk meningkatkan hasil pendidikan atau kesehatan anak. Mereka telah menunjukkan bahwa pertanyaan yang lebih kecil, lebih tepat,  sering kali paling baik dijawab melalui eksperimen yang dirancang dengan cermat di antara orang-orang yang paling terpengaruh.

Dengan demikian, ketiga ekonom tersebut, yaitu Abhijit Banerjee, Esther Duflo, dan Michael Kremer telah menginisiasi sebuah pendekataan untuk mengurangi kemiskinan yang berbasis pada sebuah desain eksperimen yang sangat hati-hati. Desain eksperimen tersebut nantinya akan menjadi jawaban dari sebuah pertanyaan-pertanyaan terkait kebijakan tertentu.

Ketiga ekonom tersebut telah memberi solusi soal pengentasan Kemiskinan di berbagai Negara berkembang. Duflo, misalnya, meneliti kebijakan SD inpres yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia di era 1973 hingga 1978. Periode tersebut merupakan era pemerintahan presiden Soeharto. Hasil penelitian tersebut diterbitkan pada tahun 2000 dengan judul Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia: Evidence from an Unusual Policy Experiment, yang diterbitkan oleh jurnal American Economic Review.

Dalam publikasinya itu, ekonom Amerika Serikat tersebut menganalisa dampak dari program pemerintah tersebut terhadap pendidikan dan tingkat upah penduduk Indonesia saat itu, yaitu dengan menggabungkan perbedaan jumlah sekolah di berbagai daerah dengan perbedaan antar-kelompok yang disebabkan oleh waktu atau durasi program. Penelitian tersebut berbasis pada realita yang terjadi di Indonesia pada periode tahun 1973 dan 1978. Dimana pemerintah Indonesia kala itu membangun lebih dari 61.000 Sekolah Dasar.

Dalam penelitiannya Duflo juga menjelaskan bahwa pembangunan SD Inpres menyebabkan anak-anak usia 2-6 tahun pada 1974 menerima 0,12 hingga 0,19 tahun lebih banyak pendidikan untuk setiap sekolah yang dibangun per 1.000 anak di wilayah kelahiran mereka.

Program SD Inpres, menurut penelitian Duflo, secara khusus telah mendorong proporsi yang signifikan dari populasi masyarakat Indonesiauntuk menyelesaikan lebih banyak tahun pendidikan dasar. Peningkatan ini telah diterjemahkan ke dalam peningkatan upah 1,5 hingga 2,7 persen untuk setiap sekolah tambahan.

Kebijakan pembangunan SD Inpres di era Pak Harto merupakan kebijakan dan program yang cemerlang dalam rangka meningkatkan derajat pendidikan masyarakat. Meskipun disayangkan penelitiannya justru dilakukan oleh peneliti luar negeri dari dua universitas terkemuka dunia, yaitu MIT dan Harvard. Namun bagaimanapun ini bukti keseriusan dan keberhasilan pemerintahaan pak Harto dalam meningkatkan taraf pendidikan masyarakat dan mengentaskan kemiskinan. Tentu saja kita perlu mengapresiasi hasil kerja keras pak Harto dan Prof. Wijoyo Nitisastro tersebut. 

(Aam Bastaman, dari berbagai sumber)

Photo: Istimewa

nobel-economics-2019-ap-1_ratio-16x9.jpg
Aam BastamanComment