Refleksi: Radio, Televisi dan Surat Kabar
Oleh: Aam Bastaman
Apakah anda masih mendengar radio? Saya masih, kalau sedang mengemudi. Di rumah? Sangat-sangat jarang. Apakah anda seperti saya? Ternyata survey terakhir menunjukkan bahwa masyarakat, terutama di kota Jakarta umumnya tidak lagi mendengar radio di rumah. Mendengar radio hanya saat mengemudi. Jadi siapa “pasar” radio? para pengemudi kendaraan pribadi, sebagian pengemudi taksi dan pengemudi kendaraan aplikasi on line.
Saya produk jaman “kolonial”, generasi “baby boomer”, masa kecil terbiasa mendengar radio, terutama musik dan berita. Tapi yang paling mengesankan adalah mendengar siaran radio Australia, karena bisa belajar Bahasa Inggris lewat radio. Sering pula meminta bukunya ke Kedubes Australia, alhamduillah, selalu dapat. Jadi belajar bahasa Inggris tidak lewat kursus, selain di sekolah juga lewat radio, dan buku pendukungnya yang dikirim Kedubes Australia di jakarta.
Bagaimana dengan televisi? Dulu juga termasuk langka, oleh karena itu radio sangat berjaya. Kini siaran televisi begitu banyak ditawarkan beragam stasiun televisi, apalagi dengan TV cable. bisa ratusan channel, paling tidak puluhan. Toh yang ditonton paling-paling hanya segelintir channel (stasiun TV saja). Tapi meski jaman sekarang sudah dimanja oleh beragam channel, mulai dari film, berita, musik, hiburan komedi, olah raga, pengetahuan, seperti National Geographic Chanel, dan beragam TV berita luar negerai, seperti CNN, BBC, CNBC, Channel News Asia, Al-Jazeera, Europe News, Australia, dan seabreg channel lainnya di TV cable berbayar. Stasiun TV dalam negeri juga tidak kalah banyaknya. Beda dengan jaman “kolonial” para baby boomer seperti saya sempat hanya bisa menikmati satu stasiun TV saja, yaitu: TVRI, karena TV swasta masih belum diperbolehkan, atau minimal belum ada dengan berbagai alasan.
Tapi sekarang ditengah melimpahnya stasiun TV, toh stasiun TV pun menghadapi persaingan sengit, bukan diantara sesama stasiun TV, tapi persaingan datang dari luar industri - smart phone. Melalui smart phone banyak tayangan yang menjadi alternatif pengganti TV, yang lebih menarik dan bisa mencari sendiri sesuai kebutuhan. Konsumen bisa mengontrol sendiri apa yang dimau, sepeti channel You Tube atau melalui aplikasi Google, ataupun melalui beragam media sosial. Jadi bukan hanya radio yang menghadapi proses kompetisi yang berubah, termasuk televisi.
Apalagi surat kabar! Berapa dari kita yang masih membaca surat kabar? terus terang saya masih membaca Harian Kompas. Harian yang sudah baca selama puluhan tahun. Ada ritual yang sampai sekarang belum hilang. Membaca koran sambil minum kopi, plus makanan kecil seperti goreng pisang. Duduk di kursi depan rumah, asyik. Tapi kebiasaan ini yang barangkali juga dilakukan oleh ribuan orang lainnya, perlahan mulai berkurang. Bahkan generasi “kolonial” baby boomer-pun banyak yang beralih ke benda ajaib bernama smart phone. Disitulah aneka berita bisa kita cari sendiri dan baca. Lebih nyaman.
Konon surat kabar pada periode tertentu di tahun-tahun ke depan akan hilang. Dan kini sudah dimulai, seperti fenomena penutupan banyak surat kabar belakangan ini, bahkan yang sudah berumur ratusan tahun, kini tinggal nama.
Meskipun saya masih membaca surat kabar, kawan-kawan saya sudah banyak yang tidak melakukannya lagi. Tapi saya yang “kolonial” ini sudah terlanjur terbiasa dengan membaca surat kabar, dan saya masih menikmatinya, sambil minum kopi, terutama hari Sabtu dan Minggu pagi. Sampai kapan? Mungkin sebentar lagi kebiasaan ini akan hilang.
Jaman berubah, dan kita layak mengucapkan “selmat datang masa depan.”
(Aam Bastaman, Penulis buku serial Refleksi).