Gerakan Takesra Kukesra untuk Mengentaskan Kemiskinan
Pada akhir tahun 1995 setelah dipandang persiapan untuk memulai suatu Gerakan Pengentasan Kemiskinan pada 40.000 desa-desa non IDT sebagai bagian dari Pelaksanaan Inpres Keluarga Sejahtera (IKM) yang pelaksanaannya dipercayakan pada BKKBN, maka secara teoritis kegiatan yang semula dilakukan melalui “lelang Kepedulian” dan “gotong royong” antar keluarga kaya di desa membantu keluarga prasejahtera seperti dengan “gerakan aladin”, membantu keluarga prasejahtera dengan perbaikan atap, lantai dan dinding rumahnya. Dengan adanya kesiapan dukungan untuk menabung dari Konglomerat atau orang kaya, akan segera ditambah melalui kegiatan ekonomi gotong royong yang sudah matang, yaitu mengajak dan mendidik keluarga prasejahtera atau keluarga miskin belajar menabung dan mengambil kredit Bank untuk usaha ekonomi produktif secara gotong royong.
Pada akhir bulan Desember 1995 itu BKKBN menyerahkan jumlah keluarga dan nama-nama keluarga prasejahtera hasil pendataan keluarga yang terakhir kepada Bank BNI untuk persiapan Buku Tabungan yang setiasp bukunya diisi dengan Tabungan awal sebesar Rp. 20.000,- setara nilai US $ 1.00 pada waktu itu. Rencananya setelah upacara pengukuhan Yayasan Damandiri pada tanggal 15 Januari 1996, seluruh jajaran Bank BNI di seluruh Indonesia, bekerja sama dengan para Petugas PLKB BKKBN dan Jaringan PT Pos Indonesia menyerahkan Buku Tabungan dengan isi Rp. 2.000,- kepada setiap keluarga yang daftarnya sudah ada pada Bank BNI. Pada waktu itu Rp. 2.000,- sama dengan US$ 1.00.
Mulai tanggqal 15 Januaari 1996, setelah Presiden HM Soeharto, sekaligus sebagai Ketua Yayasan Damandiri meresmikan Yayasan Damandiri bersama pendiri lainnya, Haryono Suyono, Sudwikatmono dan Liem Sioe Liong (Soedono Salim), maka secara resmi operasional Tabungan yang dinamakan Takesara atau Tabungan Keluarga Sejahtera resmi diluncurkan melalui jaringan Bank BNI dengan bantuan jaringan PT Pos Indonesia. Kredit untuk keluarga prasejahtera atau keluarga miskin juga mulai bisa diambil dari Bank BNI dinamakan Kredit Keluarga Sejahtera atau Kukesra yang langsung bisa diambil bagi mereka yang sudah menerima buku Tabungan dengan isian awal Rp. 2.000,-, sebanyak sepuluh kali tabungannya, sehingga kredit pertama bisa sebesar Rp. 20.000,-. .
Tetapi ternyata penyiapan dan pemberian Buku Tabungan itu tidak semudah rencana yang dipersiapkan oleh aparat Bank BNI biarpun di lapangan dibantu oleh hampir 60.000 PLKB BKKBN. Dengan bekerja keras, sekitar 13,6 juta keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera I yang miskin menerima Buku Tabungan Bank BNI dalam waktu dua belas bulan atau satu tahun. Pada waktu diserahkan diberi tahukan bahwa setiap keluarga yang telah menerima Buku Tabungan boleh mengambil kredit pinjaman pada Bank BNI sebanyak sepuluh kali besarnya dana dalam tabungan. Diberi tahukan pula bahwa tabungannya tidak dapat diambil karena “dijadikan agunan” pinjaman kredit yang diambil dari Bank BNI. Disyaratkan pula bahwa setiap mengambil kredit, maka sepuluh persen dari jumlah kredit yang diambil harus ditabung dan ditambahkan sebagai isian Buku Tabungannya.
Karena Buku Tabungan pertama berisi Rp. 2.000,-, maka keluarga yang bersangkutan pada bulan yang sama bisa mengambil kredit sebanyak Rp. 20.000,- yang sebanyak Rp. 2.000,- diisikan kembali pada Buku Tabungan miliknya sehingga isi Buku Tabungannya berubah menjadi Rp.4.000,-. Keluarga yang mengambil kredit segera bergabung dalam Kelompok Akseptor KB di desanya. Kelompok ini kemudian berkembang menjadi Kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Akseptor (UPPKA). Karena keluarga keluarga Akseptor KB yang tidak miskin tidak menerima kredit, dan mereka ingin bergagung dalam kelompok, maka Kelompok berubah menjdi Kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS). UPPKS menyatukan para Akseptor KB yang tidak miskin dan miskin dalam usaha bersama dengan modal yang disetor kepada kelompoknya.
Apabila pinjaman sudah lunas, maka keluarga miskin itu bisa mengambil kredit baru sebesar sepuluh kali tabungannya sehingga pinjaman kedua adalah sebanyak Rp. 40.000,- dan langsung disimpan kembali sebanyak Rp. 4.000,- sehingga tabungannya menjadi Rp. 8.000,-. Begitu seterusnya sehingga makin rajin berusaha dan melunasi pinjamannya, maka pinjaman berikutnya bertambah besar dan bisa menjadi modal usaha bersama, atau bahkan menjadi modal untuk usaha mandiri.
Pada bulan Januari Februari itu, Yayasan Damandiri bersama BKKBN, disamping mengelola Tabungan dan Pinjaman melalui Bank BNI, masih tetap mengembangkan upaya pemberdayaan keluarga melalui berbagai cara termasuk memberikan kelapa hibrida, mengembangkan wilayah dengan dukungan anggaran dari BKKBN dan sponsor luar negeri, dengan tujuan agar penduduk miskin segera lepas dari kemiskinan dan berkembang menjadi keluarga mandiri, bahagia dan sejahtera. Upaya gotong royong sesama keluarga di desa yang difasilitasi dengan dorongan menabung dan mengambil kredit dari Bank karena telah memiliki tabungan pada Bank Bank BNI 46 itu dilapangan dibina oleh “pasukan PLKB” yang jumlahnya mencapai hampir 60.000 orang karena satu PLKB ditugasi membina satu desa dan lebih dari 60.000 kelompok Keluarga Sejahtera karena ada saja desa yang memiliki lebih dari satu Kelompok Keluarga Sejahtera, suatu gerakan spontan yang dibina dengan baik oleh Kelompok Ibu-ibu PKK bekerja sama dengan para PLKB di emua desa secara sangat dinamis. Peran Ibu-ibu PKK dalam kegiatan UPPKS dan kegiatan ekonomi desa sungguh sangat luar biasa karena dipimpin di tingkat Kabupaten umunnya oleh istri Bupati, di tingkat Kecamatan oleh istri Camat dan di tingkat Desa oleh istri Kepala Desa. Kalau pejabatnya perempuan, maka pimpinan di alihkan kepada istri pejabat senior lainnya.
Usaha dengan dukungan Takesra Kukesra itu juga mendapat tambahan stimulan dari kegiatan TNI ABRI masuk Desa yang mengadakan bakti TNI ABRI bersama masyarakat di desa. Para tenaga TNI ABRI itu memberi bantuan pelatihan dan tidak jarang modal tambahan untuk usaha masyarakat di desa. Masyarakat desa juga tidak menolak bantuan lembaga sosial kemasuarakatan yang memberikan pelatihan memproses bahan baku yang ada di desa menjadi produk laku jual dan menguntungkan, suatu gerakan gotong royong yang disambut baik dalam kebersamaan gotong royong dengan masyarakat luas.
Setelah semua keluarga prasejahtera menerima buku tabungan pada akhir tahun, jumlah keluarga yang mengambil kredit mencapai sekitar 11,3 juta keluarga dengan jumlah pinjaman yang bervariasi dari Bank BNI, karena ada yang baru mulai dengan Rp. 20.000,-. ada yang sudah dua kali dengan jumlah kredit Rp. 40.000,- atau tiga kali dengan jumlah kredit Rp. 80.000,- sehingga pinjamannya cukup tinggi untuk bisa memiliki usaha pribadi. Pada keluarga yang baru mulai biasanya mengadakan usaha bersama, salah satu contohnya lima keluarga dagang ayam. Satu keluarga tugasnya membeli ayam, keluarga kedua memotong ayan dan mencabut bulu serta keluarga ke tiga menunggu dagang ayam di pasar, sedang keluarga lain lagi mengedarkan ayam potongnya agar perdagangan ayam di desa itu tidak bersaing tetapi setiap keluarga memiliki tugas dan fungsi dalam kebersamaan. Ada lagi yang keluarga dagang nasi pecel dan suaminya mengayuh becak. Semula hanya di rumah sendiri melayani kawan-kawan suaminya sama-sama ukang becak dan tetangga dekatnya untuk sarapan. Dengan adanya pinjaman Bank BNI sebesar Rp. 40.000,- atau yang diterima Rp. 36.000,-, anak-anaknya juga buka dagang nasi pecel di tempat lain sehingga dagangannya memiliki dua tempat. Pada saat uang pinjamannya bertambah lagi, suami yang semula bekerja sebagai penarik becak, terpaksa berhenti karena mondar mandir mengantar supply untuk anak-anaknya yang dagang nasi pecei dengan “merek sama” di beberapa tempat, suatu “jaringan nasi pecel” yang populer gara-gara “Takesra Kukesra”.
Pada tahun 1997, kegiatan IDT dan IKS serta kegiatan Takesra dan Kukesra serta kegiatan pendidikan ketrampilan dan pemberdayaan oleh berbagai instansi lain telah memberikan andil penurunan tingkat kemiskinan dari sekitar 70 persen di tahun 1970 atau sekitar 30 persen di tahun 1993/1994 menjadi sekitar 11 persen pada tahun 1997 sehingga PBB mengutus Dirjen UNDP untuk menyerahkan penghargaan PBB dalam pengentasan kemiskinan kepada Presiden RI HM Soeharto langsung di Istana Negara di Jakarta. Sungguh mengharukan, dua copy penghargaan PBB itu satunya diserahkan kepada Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas dan satunya lagi kepada Prof. Dr. Haryono Suyono sebagai Menteri Kependudukan/Kepala BKKBN. Satu tahun kemudian kedua pejabat itu di berikan tugas oleh Presiden HM Soeharto masing-masing sebagai Menko Perekonomian/Kepala Bappenas dan Menko Kesra dan Taskin/Kepala BKKBN melanjutkan koordinasi upaya terpadu pengentasan kemiskinan yang masih tinggi. Sebelum prfomosi dalam jabatan itu, kedua pejabat dianugerahi penghargaan Bintang Mahaputera Adipradana, suatu Bintang kehormatan yang sangat tinggi di Republik Indonesia. Satu tahun kemudian Presiden JB Habibie memberikan penghormatan kepada kedua pejabat itu “Bintang Republik Indonesia” yang biasanya dianugerahkan kepada Presiden, Wakil Presiden atau Presiden dan Perdana Menteri Negara Sahabat. Suatu kenangan indah dan memberi kebanggaan pada perjuangan bersama rakyat di seluruh desa di Indonesia. Bagi kami penghargaan itu adalah milik rakyat dan seluruh komponen pembangunan yang berjuang dengan sungguh-sunguh, tanpa kenal lelah dan tanpa pamrih. Alhamdulillah Tuhan Maha Besar.