Langlah-langlah Persiapan Takesra Kukesra untuk Keluarga Miskin

kb1.jpg

Setelah Pak Harto dan BKKBN mendapat dukungan yang besar pada Pertemuan dengan para Konglomerat tanggal 2 Oktober di Bina Graha, yang ditindak lanjuti dengan Pertemuan dengan Calon-calon Pendiri Yayasan guna mengelola sumbangan Para Konglomerat di Istana, maka Kepala BKKBN dan staf senior, utamanya dr. Loet Afandi SpOG, Drs. Moch. Soedarmadi dan lainnya, ditugasi tanpa kenal lelah mengadakan kunjungan silaturahmi kepada tokoh-tokoh penting “Konglomerat Kelas Kakap” yang dianggap akan didengar atau mewakili atau diikuti para Konglomerat lainnya. Karena Menteri Kependudukan/Kepala BKKBN “tidak biasa” berhubungan dengan konglomerat, biasanya dengan rakyat kecil di desa, maka pertemuan dengan Konglomerat seperti makan siang dan tempat pertemuannya, oleh staf BKKBN dipersiapkan secara rapi lengkap dengan konsumsi dan makan siangnya. Salah satu yang mengesankan adalah pertemuan dengan “tokoh” yang Konglomerat yang waktu itu agak menonjol dan dianggap saangat penting, yaitu Bos Sinar Mas Group Eka Cipta Widjaja (Almarhum) dan rekan-rekannya yang diatur di salah satu Restoran mentereng di Jakarta.

OMLiem.jpeg

Seperti pertemuan dengan rakyat di desa, staf BKKBN mempersiapkan meja dan hidanganya, termasuk “makan siang” sesuai standar yang cukup menarik karena kita “memancing kerja sama” dan ingin mendapatkan dana sumbangan yang besar dari beberapa Konglomerat yang diundang. Setelah acara selesai dan seluruh hidangan di bayar oleh staf BKKBN, seorang Konglomerat Senior berkata dengan ceria bahwa tidak biasa Konglomerat diundang pertemuan dan makan siang di Restoran dibayari oleh pengundang dari kalangan pemerintah. Secara spontan mereka berkata akan membalas kunjungan ke Kantor BKKBN yang ada di bilangan Halim untuk memastikan bahwa kerja sama itu efektif.

Benar saja, beberapa hari kemudian Kantor BKKBN kedatangan tamu para Konglomerat yang meyakinkan bahwa mereka telah menerima pesan kerja sama dan akan memberikan kontribusinya melalui Yayasan yang akan dibentuk guna mengumpulkan modal yang secara terbuka akan dibagikan kepada setiap keluarga miskin sebagai tabungan agar mereka memiliki :agunan” untuk mengambil “kredit” dari Bank tersebut. Di luar dugaan tamu-tamu itu membawa “beberapa kresek” sebagai oleh-oleh, termasuk “kresek khusus” untuk Kepala BKKBN. Karena tidak biasa menerima “kresek khusus” maka langsung diserahkan kepada staf untuk disimpan di lemari pajangan seperti oleh-oleh dari desa yang biasanya dipajang sebagai bukti simpati yang datang langsung dari rakyat.

Setelah tamu pulang, Sekretaris melapor bahwa isi kresek sebaiknya tidak dipanjang karena isinya “jam Rolex” yang sangat mahal harganya. Seminggu kemudian kejaadian itu di laporkan kepada Presiden berupa “hasil gerilya diplomasi” dengan para Konglomerat, termasuk :hadiah jam tangan”. Pak Harto senyum saja dan mempersilahkan memakai jam itu dengan anggapan sebagai rejeki nomplok karena peduli keluarga miskin. Tetapi, sebagai Kepala BKKBN yang hampir setiap hari berkunjung ke Desa, rasanya tidak tega sehingga sampai sekarang jam itu tetap utuh tidak pernah di pakai, siapa tahu bisa diwariskan kepada anak cucu yang mungkin lebih modern. Sedangkan unuk pejabat lain secara merata dapat “hadiah Pulpen emas” yang tidak pernah terbayangkan.

Selanjutnya Presiden memberi petunjuk untuk menyempurnakan pendataan dan merapikan daftar keluarga prasejahtera dan sejahtera I yang dianggap pantas menerima bantuan untuk tabungan awal. Sekaligus di persiapkan suatu Bank pemerintah guna mengelola Tabungan Keluarga miskin dan melayani kredit bagi keluarga miskin yang telah menerima bantuan tabungan. Menindak lanuti petunjuk itu, secara paralel para pejabat Senior BKKBN dibagi untuk mengembangkan pendekatan dengan beberapa Bank. Bank pertama yang didatangi adalah Bank BRI karena kedekatan Bank ini di desa dan banyaknya cabang BRI di desa sehingga akan mudah mengelola Tabungan dan kredit rakyat desa.

miakin3.jpg

Dalam kunjungan kepada Direksi lengkap Bank BRI, ternyata dengan sangat sopan Dirut Bank BRI “menolak” dengan alasan sopan yang masuk akal, yaitu bahwa apabila BRI menjadi penyalur “kredit murah” untuk keluarga miskin ini akan berakibat “bunuh diri” karena BRI memiliki skim di desa yang sama dengan bunga pasar yang relatif tinggi. Masyarakat desa akan serta merta mengaku miskin dan akan meminta BRI memberikan kredit dengan bunga murah yang sama. Kalau ini terjadi maka usaha membantu keluarga miskin akan berakibat kerugian yang sangat besar untuk BRI dan pada saat yang sama upaya membantu keluarga di desa agar membiasakan diri berhubungan dengan bank akan gagal total. Semua nasabah pasti akan “minta diperlakukan sebagai keluarga miskin” dan meminta kredit dengan bunga rendah. Beliau menyarankan dan akan membantu menghubungi Dirut Bank BNI yang pada waktu itu belum memiliki jaringan ke desa agar kegiatan ini menjadi kesempatan emas bagi BNI sekaligus “promosi membangun jaringan desa” sebagai Bank yang juga dekat dengan rakyat.

Beberapa hari kemudian, sebelum akhir tahun, Kepala BKKBN bersilaturahmi pada Dirut Bank BNI yang baru karena Dirut Bank BNI Bapak Winarto Sumarto digantikan oleh Bapak Dr. Widigdo Sukarman. Pertemuan itu berjalan sangat lancar dan Dirut serta Jajaran Bank BNI merasa mendapat kehormatan di percaya menjadi Bank untuk keluarga miskin di desa. Bahkan Bank BNI berjanji menggunakan kesempatan ini untuk membangun jaringan bersama PT Pos Indonesia sampai ke desa-desa, utamanya guna melayani keluarga miskin atau keluarga prasejahtera dengan fasilitas terbaik untuk menabung dan mengambil kredit dengan agunan tabungannya.

Setelah persiapan dengan Bank selesai, maka Kepala BKKBN ditugasi mengadakan pertemuan degan Dirjen Pajak yang pada waktu itu di pegang oleh Dr. Fuad Bawasir meminta kerja sama beliau agar mengingatkan para Konglomerat memberikan sumbangan sekitar 2 persen keuntungan bersih untuk disumbangkan pada Yayasan DAmandiri guna membantu upaya pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan keluarga agar segera mungkin menjadi keluarga yang mandiri, bahagia dan sejahtera.

Aks.jpg

Pada akhir tahun 1995 dipandang persiapan untuk memulai kegiatan sudah matang. Jumlah keluarga prasejahtera yang akan menerima bantuan dana untuk menabung telah dapat dicatat oleh BKKBN sekitar 13 juta keluarga dan daftarnya di sampaikan kepada Bank BNI yang sebelumnya Dirutnya diajak menghadap langsung Bapak Presiden guna menerima ucapan terima kasih atas kesediaannya dan diminta agar segera melakukan persiapan dengan baik karena kegiatan ini merupakan amal ibadah yang sangat penting dan mulia guna mengentaskan keluarga Indonesia dari kemiskinan dan memberi fasilitas yang memadai guna pemberdayaan keluarga secara mandiri. Dengan situgasinya secara resmi Bank BNI dan Dirjen Pajak itu, pada akhir tahun praktis persiapan sudah matang, sehingga diputuskan bahwa seluruh kegiatan akan di umumkan pada tanggal 15 Januari 1996 sekaligus peresmian Yayasan yang kemudian diberi nama Yayasan Dana Sejahtera Mandiri atau disingkat Damandiri,

Yayasan Damandiri ditugasi bersama BKKBN melanjutkan upaya pemberdayaan keluarga agar lepas dari kemiskinan dan berkembang menjadi keluarga mandiri, bahagia dan sejahtera melalui upaya gotong royong sesama keluarga di desa dan difasilitasi dengan dorongan menabung dan mengambil kredit dari Bank karena telah memiliki tabungan pada Bank yang sama, yaitu Bank BNI 46.

Haryono SuyonoComment