Gagasan Pengentasan Kemiskinan melalui TABUNGAN dan KREDIT
Pada tahun 1993, tatkala pemerintah Bapak HM Soeharto melihat bahwa upaya pengentasan kemiskinan melalui limbahan pembangunan yang berhasil nilainya lamban, maka beliau mengambil aksi bahwa keluarga yang sangat miskin, utamanya di desa yang tertinggal, perlu dibantu secara khusus. Maka atas prakarsa Bappenas, yang dipimpin oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Prof. Dr. Ir. Ginanjar Kartasasmita, dikembangkan program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Program ini khususkan pada 20.000 desa prioritas yang dianggap paling rawan dan memiliki prosentase penduduk miskin paling tinggi.
Pada saat yang sama Menteri Negara Kependudukan/Kepala BKKBN Dr. Haryono Suyono, berdasar data keluarga mencermati bahwa jumlah keluarga prasejahtera, yang hampir 90 persen miskin, dan keluarga sejahtera I yang sekitar 70 – 80 persen miskin pada 40.000 desa lainnya, memiliki lebih banyak jumlah keluarga pada kategori dibanding pada 20.000 desa itu. Alasannya adalah bahwa 20.000 desa itu sangat miskin dengan infrastruktur sangat kurang sehingga jumlah penduduknya tidak padat, sedangkan desa lainnya, umumnya padat penduduk. Oleh karena itu Kepala BKKBN ditugasi upaya pembangunan keluarga sejahtera, sebagai kelanjutan dan pendalaman program KB dengan sasaran utama penggunaan kontrasepsi untuk menurunkan fertilitas. Tugas BKKBN diperluas upaya pembangunan keluarga sejahtera melalui pemberdayaan keluarga dengan meningkatkan fungsi agama, sosial, pendidikan, kesehatan, ekonomi dan lingkungan hidup khususnya melalui pemberdayaan keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera I yang dianggap paling tertinggal atau miskin.
Dengan tugas tersebut, BKKBN menambah kegiatannya melalui program “Lelang Kepedulian”, merangsang upaya gotong royong menangani keluarga yang umumnya lemah karena keadaan rumahnya tidak memenuhi syarat, sehingga muncul program “Aladin” yaitu bantuan gotong royong untuk atap, lantai dan dinding, memberikan kelapa hibrida kepada para akseptor KB miskin dan bantuan peduli masyarakat lainnya. Secara kebetulan BKKBN diberi nasehat oleh Dirut Utama Bank BNI bahwa salah satu cara yang efektif adalah melalui kegiatan menabung dan usaha ekonomi produktif melalui kredit Bank bagi keluarga penabung dengan agunan tabungannya.
Program ini diajukan kepada Presiden Soeharto lengkap dengan konsep tabungan untuk seluruh Akseptor KB miskin melalui bantuan awal dengan dana yang disediakan pemerintah dan juga sumbangan suka rela dari orang kaya atau konglomerat. Atas gagasan tersebut, Presiden memberikan persetujuannya. Agar upaya ini berjalan lancar, utamanya guna menampung sumbangan perlu dibentuk Yayasan. Sebagai langkah awal BKKBN perlu mempersiapkan langkah-langkah konkrit menugaskan pejabat utama mengadakan pertemuan bersama para konglomerat terpilih guna persiapan pembentukan Yayasan.
Setelah melalui beberapa kali pertemuan awal, para Konglomerat diajak mengadakan pertemuan di Istana Bogor dan dalam pertemuan itu disepakati pembentukan suatu Yayasan, program dan target utamanya memberikan tabungan awal kepada sekitar 11 juta keluarga miskin agar mereka dapat mengambil pinjaman pada Bank dengan agunan tabungan yang dimilikinya.
Setelah pertemuan di Bogor diputuskan bertemu kembali dengan tokoh-tokoh Konglomerat lainnya di kantor Bina Graha dan diputuskan oleh Bapak MH Soeharto, bahwa Yayasan akan di resmikan pada pertemuan tanggal 1 Oktober 1995 di Gedung Bina Graha Jakarta, bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila.
Berkenaan dengan acara ini ada dua peristiwa unik yang perlu dicatat dan dikenang sebagai sejarah yang menarik. Petama, tanggal 1 Oktober ternyata adalah hari Minggu sehingga tidak bisa menggunakan Bina Graha. Bahkan, Staf BKKBN yang ditugasi untuk persiapan acara itu dan mengatur acara di Bina Graha “ditolak” oleh pejabat Bina Graha karena Gedung itu sudah “dipesan oleh Presiden RI” melalui ajudan untuk acara penting yang akan dihadiri oleh beliau secara pribadi.
Akhirnya Kepala BKKBN menghadap kembali pada Presiden dan mendapat penjelasan dari Bapak Soeharto sambil beliau ketawa, bahwa Acara di Bina Graha itu adalah Peresmian Yayasan dan karena tanggal 1 hari Minggu, maka acara digeser pada hari Senin tanggal 2 Oktober 1995, dipesankan agar menjadi pertemuan yang meriah dilaksanakan oleh seluruh jajaran BKKBN dengan mengundang semua Kepala BKKBN Daerah dan ratusan pengusaha yang akan memperoleh pengarahan langsung dari Presiden untuk bekerja bersama mengentaskan kemiskinan.
Kedua, melalui Ajudan Presiden, pagi-pagi Senin 2 Oktober 1995, sebelum acara dimulai, Kepala BKKBN harus menghadap Presiden di Kantor Bina Graha. Dengan rasa sangat takut bahwa Acara dibatalkan, ternyata Bapak Soeharto menyambut kedatangan Kepala BKKBN sambil senyum di meja kerjanya, Pak Harto menyatakan tidak akan Pidato resmi. Oleh karena itu Pak Harto mengajak Kepala BKKBN “bersama-sama menyusun pantun tentang ‘Mujiksat Menabung’” dan Pak Harto langsung minta kertas dan polpen kepada Ajudan dan siap menulis pantun hasil penyusunan bersama tentang “falsafah menabung”, yang terus terang sebagian bahan yang kami sumbangkan adalah gagasan Dirut Bank BNI, Almarhum Bapak Winarto Soemarto, yang pernah diajukan kepada Kepala BKKBN sebagai salah satu cara yang ampuh guna menanggulangi kemiskinan melalui “tabungan dan kredit”.
Betul sekali, biarpun ada dua kejadian menarik itu, pertemuan di Ruang Rapat Bina Graha yang anggun itu dihadiri penuh oleh banyak sekali Konglomerat, pejabat BKKBN dari seluruh Indonesia dan wakil-wakil dari berbagai Departemen yang erat hubungannya dengan upaya pengentasan kemiskinan serta calon-calon yang kemudian di tetapkan oleh pak Harto sebagai Pendiri Yayasan Damandiri, yaitu Haryono Suyono, Bapak Sudwikatmono dan Om Liem Sioe Liong (Soedono Salim) dan Pak Harto di sebagai Ketua.
Beberapa hari kemudian tiga orang yang ditetapkan sebagai pendiri itu dipanggil pak Harto ke Istana untuk menegaskan pendirian Yayasan dan menentukan tugas maupun kapan Yayasan akan resmi diumumkan. Pada waktu menghadap, Pak Harto memberi petunjuk agar setiap Konglomerat memberikan sumbangan awal untuk modal Yayasan dengan jumlah nominal yang langsung disebutkan oleh pak Harto, kecuali untuk Pak Haryono Suyono dan Pak Harto akan ditentukan kemudian. Semua mengangguk sebagai tanda setuju sehingga pada hari itu “pasti” bahwa Yayasan memiliki modal awal yang “jumlahnya lumayan” untuk membayar “tabungan awal” pada Bank yang dipilih sesuai “gagasan Dirut Bank BNI” yang di terima Pak Harto dan Kepala BKKBN. Lucunya sebagai “kenangan” yang menarik adalah setelah keluar dari ruang pak Harto, para konglomerat itu mengeluh dan berkata “kalau bisa gagasan ini ditunda”, karena para Konglomerat “baru saja urunan” guna memeriahkan Perayaan Hari Tujuh Belas Agustusan di banyak daerah.
Karena dalam pertemuan dengan pak Harto “tidak ada protes”, maka secara kelakar para Konglomerat diajak oleh Kepala BKKBN untuk menghadap kembali, tetapi dengan kelakar pula, semua tidak ada yang bersedia, sehingga komitmen untuk “urunan beberapa milyard rupiah” sebagai sumbangan awal untuk Yayasan yang akan dibagikan kepada keluarga miskin sebagai “tabungan awal” akan segera di realisasikan pada awal tahun 1996 diikuti “pembagian dana sumbangan” bagi keluarga miskin untuk menjadi “nasabah tabungan Bank” yang terpilih dan ditunjuk mngelola tabungan itu.
Suatu gagasan luar biasa yang dalam tulisan berikutnya akan diurai dengan lebih lengkap pelaksanaannya yang berhasil ikut andil dalam upaya pengentasan kemiskinan dan menurunkan angka kemiskinan dari sekitar 70 persen di tahun 1970, atau sekitar 30 persen di tahun 1993/94 menjadi sekitar 11 persen di tahun 1997 yang langsung mendapat penghargaan PBB pada tahun 1997. Penghargaan itu diserahkan langsung oleh Dirjen UNDP yang datang khusus ke Jakarta menyerahkannya kepada Presiden RI Almarhum HM Soeharto, dengan copy yang diserahkan kepada Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita dan Menteri Negara Kependudukan/Kepala BKKBN, Haryono Suyono. Suatu kenangan perjuangan untuk rakyat yang membesarkan hati.