Kenangan Indah bersama Presiden RI ke 3 Prof. Dr. BJ Habibie

Habibie.jpg

Pada saat terakhir bersalaman akrab dengan Bapak Prof. Dr. BJ Habibie, Presiden RI ke 3, yang sedang dirawat di RSPAD Gatot Subroto Jakarta Jumat lalu, kami membacakan doa disertai rasa haru yang sangat dalam, kami coba salurkan tenaga dalam sambil menggenggam kedua tangan beliau. Seraya membaca doa khusuk dengan suara lirih, memandang wajah dan kedua matanya yang tetap mencoba memancarkan harapan positif untuk kemajuan bangsa Indonesia yang sangat dicintainya itu, saya mendengar panggilan melalui suaranya yang tegar : “Pak Haryono!”. Saya mengangguk, terharu dan menitikkan air mata, mendadak saya merasa seakan melihat beliau berpamitan dengan ikhlas meninggalkan kita karena telah memberikan pesan untuk membangun manusia Indonesia sejak usia dini dengan anjurannya membangun dan meminta semua anak balita masuk PAUD dan membangun PAUD di seluruh desa di Indonesia. Beliau seakan berharap dan berpesan agar perjuangannya tetap diteruskan oleh generasi muda dan semua anak bangsa melanjutkan cita-cita luhur bangsa ini menjadi bangsa besar, merdeka, mandiri, bahagia dan sejahtera. Tanpa mengajak beliau bicara, saya tidak bercerita panjang lebar seperti setiap kita bertemu, karena selalu saja, beliau sangat menikmati “Seminar” yang tidak pernah putus, membandingkan pendekatan Jerman dan Amerika tempat kita kuliah. Tidak lama menjenguk, saya segera pamit, takut beliau mengajak cerita dan menambah beban kondisinya yang masih sangat rawan.

Sejak saat itu saya terkenang kembali bagaimana beliau sejak mendapat mandat dari Pak Harto, tidak mau membuang buang waktu. Malam harinya memanggil semua Menko Jendral Feisal Tanjung, Dr. Ir. Ginanjar Kartasasmita, Dr. Ir. Hartarto dan Menteri Sekneg, Ir Akbar Tanjung, saya lihat juga Letjen TNI (Purn) Yunus Yosfiah untuk berkumpul di kediaman beliau menyusun Kabinet baru bersama-sama. Proses itu ternyata tidak mudah, dengan masukan, usulan dan tekanan kiri kanan, akhirnya Kabinet baru terbentuk, dan dilantik. Segera setelah itu beliau dan para Menteri yang beliau percaya bekerja keras, sangat keras, siang dan malam, tidak kenal istirahat menghadapi laju inflasi yang sangat tinggi dan tuntutan rakyat yang harus segera diselesaikan.

habibie2.jpg

 Melalui berbagai Sidang Kabinet dibagi habis tugas-tugas bidang Politik, Ekonomi, Sosial Budaya di antara para Menko. Tradisi terakhir pak Harto dengan mengadakan Sidang Bidang Ekonomi yang telah berlangsung bertahun-tahun dilanjutkan dengan irama yang agak berbeda. Di jaman pak Harto materi telah dibahas diantara Sekjen dan Dirjen dan disimpulkan berbagai rekomendasinya. Di jaman Pak Habibie para Menteri diajak bediskusi seakan seperti Seminar Tingkat Tinggi sehingga para Menteri seakan pakar dalam bidangnya beradu argumen, tidak saja bersama para Menteri saja, tetapi juga “diberi kesempatan” untuk berbeda pendapat dengan Presiden.

Pada jaman akhir Presiden Soeharto ada tradisi baru Sidang Kabinet Terbtas Bidang Kesra Taskin membahas pembangunan bidang kesra dan pengentasan kemiskinan. Tradisi itu dilanjutkan dengan lebih menalam, sehingga tatkala ada bendungan jebol di Samarinda, tanah longsor di Bali dan musibah sosial lainnya, termasuk penanganan masalah gizi dan upaya membangun PAUD, segera mendapat penyelesaian tingkat tinggi antar Departemen. Di samping itu sebagai Presiden beliau mulai melakukan perjalanan ke daerah, provinsi dan kabupaten, bertemu para pejabat tinggi daerah dan rakyat pada umumnya seperti pada jaman pak Harto memegang tanggung jawab sebagai Presiden.   Kunjungan pertama kedua mendapat sambutan cukup hangat tetapi rupanya rakyat kurang sabar atau ada “trik politik lain”, kunjungan ke daerah itu makin berkembang menjadi momentum untuk mengajukan tuntutan agar reformasi makin dipercepat. Tuntutan itu makin gencar, dan makin kelihatan di atur sebagai “media” atau “event politik” dengan tujuan agar beliau “menyerah” dan meletakkan jabatan sebagai Presiden. Karena itu, demi keamanan, jumlah dan frekuensi kunjungan Presiden ke daerah sangat dikurangi, termasuk kunjungan Presiden ke luar negeri, atau tugas itu diserahkan kepada para Menko yang mewakili Presiden RI.

Untuk urusan mendampingi Presiden, apabila ada tamu penting di Istana, kunjungan atau meresmikan suatu Kegiatan atau Acara di dalam negeri, bahkan pertemuan di luar negeri, para Menko selalu ditugasi sebagai pendamping. Karena Menko Kesra dan Taskin dianggap paling dekat kantornya, atau dianggap kurang sibuk dibanding Menko Ekonomi atau Menko Politik,  selama tahun 1999, Menko Kesra Taskin, yang kantornya berdekatan, sering menjadi Pendamping Presiden menerima tamu penting di Istana. Karena itu, pada tahun 1999 itu Menko Kesra Taskin mendapat kesempatan menggunakan Kantor Wakil Presiden yang tidak dipergunakan, karena RI pada waktu itu tidak memiliki Wakol Presiden, sehingga Menko Kesra Taskin mendapat kesempatan menggunakan Kantor Wakil Presiden sebagai Kantor untuk Rapat Koordinasi antar Menteri dan Lembaga untuk urusan kesejahteraan rakyat dan upaya pengentasan kemiskinan, melanjutkan sukses Kabinet sebelumnya. Karena pengabdian tanpa pamrih dan kesibukan yang luar biasa, Menko Kesra tidak sempat meminta surat tugas sebagai Pejabat Pengganti untuk tugas-tugas Menko yang seakan merangkap tugas Wakil Presiden.

Salah satu tugas yang sangat bersejarah adalah pengakuan tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila. Peresmian pengakuan yang dihadiri oleh Wakil Keluarga Bung Karno dan khalayak Pejuang 45 Jawa Timur di Blitar itu dilakukan pada tanggal 1 Juni 1999 di halaman Makam Bung Karno di Blitar. Mula-mula tugas itu akan diberikan kepada Menko Polkam Bapak Jendral TNI Feisal Tanjung (almarhum). Tetapi karena dianggap memiliki resiko politik, maka diserahkan kepada Menko Kesra Taskin sebagai penghormatan kepada Pahlawan Bangsa. Alhamdulillah upacara yang sangat mengharukan berlangsung aman dan meriah, tercatat dalam sejarah bahwa sejak saat itu setiap tanggal 1 Juni dilakukan Peringatan Hari Lahir Pancasila sampai hari ini.

Tugas lain yang memberikan kesan dan diberikan oleh Presiden Habibie adalah Peringatan Hari Olah Raga Nasional tanggal 9 September 1999 diadakan di Stadion Olah Raga di Solo sebagai tempat bersejarah untuk pertama kalnya Indonesia melaksanakan Hari Olah Raga Nasional (HONNAS) dengan berhasil. Pada saat kedatangan kami di Solo mewakili Presiden RI, disambut oleh Gubernur Jateng Bapak Mardianto, Panglima Jateng Jendral Bibit Waluyo serta pejabat tinggi lainnya layaknya seorang Presiden, ternyata yang datang bukan Presiden tetapi diwakili oleh Menko Kesra dan Taskin. Di lapangan terbang diadakan “Rapat Kilat” secara kekeluargaan dengan keputusan agar tidak membuat barisan berbagai elemen olah raga dan pasukan yang menggelar upacara penghormatan di lapangan sejak pagi glisah dan bubar, maka kami diminta langsung menuju lapangan upacara di kawal layaknya seorang Presiden dan setelah tiba di tempat upacara langsung duduk di Panggung, tidak perlu “melambai tangan”, tetapi duduk manis di barisan tamu kehormatan. Pada saat membaca pidato tidak perlu didahului dengan  “permintaan maaf” mewakili Presiden, tetapi langsung di baca seakan Presiden membaca Pidatonya sendiri.

IMG_3756.JPG

 Petunjuk halus para Pimpinan daerah itu kami ikuti demi menjaga suasana tertib acara, sehingga langsung setelah selesai Pidato “Presiden Habibie”, yang dibaca Menko Kesranya, yang konon katanya sama pendek dan sama kumisnya itu, berlangsung tertib dan memuaskan semua pihak. Setelah Pidato tidak ada acara salam salaman dengan tamu, Menko Kesra RI langsung diterbangkan dengan Helikopter ke Lapangan Terbang Halim untuk segera bergabung dengan Sidang Kabinet di Jakarta sidang harinya, tetapi sesungguhnya ada rasa takut kalau ketahuan dan pasukan upacara tidak dapat dikendalikan. Karena itu, di Solo, pada tanggal 9 September 1999, pada jam 9.00 selama sekitar 9 menit itu, sebenarnya Menko Kesra Taskin pernah menjadi Presiden RI, tetapi hanya dalam upacara Hari Olah Raga Nasional.

 Catatan kenangan indah pada jaman Pak Habibie lainnya sebagai Presiden dalam suatu pertemuan yang bersifat internasional, tepatnya sebagai Ketua Delegasi tingkat tinggi Pertemuan Presiden dari Kepala Negara Asia Afrika yang seharusnya Delegasi Indonesia dipimpin Presiden atau Wakil Presiden.  Karena kesibukan di dalam Negeri dan tidak memiliki Wakil Presiden, maka Ketua Delegasi dipercayakan pada Menko Kesra dan Taskin dengan Penasehat Senior Bapak Wijoyo Nitisastro dan Menlu Ali Alatas serta para anggota beberapa pejabat senior dari berbagai Departemen.

Pertemuan tehnis berlangsung aman dan lancar karena Ketua Delegasi di kerumuni Penasehat Senior dan Menlu serta stafnya secara lengkap, sehingga semua catatan dengan mudah bisa dibaca, dipergunakan menanggapi dan disampaikan dengan sopan dan mengena. Ketika tiba saatnya Pertemuan Empat Mata antar Kepala Negara dengan Pendana Menteri Bangladesh, PM Malaysia Mahatir Muhammad, Wakil Perdana Menteri Iran dan Para Perdana Menteri dari delapan Negara lainnya, saya merasa “agak miris” dan dengan sopan mohon agar pak Wijoyo Nitisastro bertindak mewakili Indonesia menggantikan kedudukan saya. Dengan tegas pak Wijoyo Nitisastro yang seumur hidupnya selalu rendah hati itu justru memberi semangat menolak kehormatan itu dan meyakinkan saya bertindak sebagai Ketua Delegasi. Sambil kelakar Menlu Ali Alatas, Diplomat ulung Indonesia itu, yang melihat “kerikuhan dan rasa rendah hati” saya, memberi semangat bahwa Kepala Negara dari Negara lainnya juga tidak lebih hebat atau mengetahui segalanya. Belaiu dengan tegas menyatakan, maju saja pak, karena “pertemuan empat mata” antar Kepala Negara itu hanya biasa saja, hasilnya sudah selesai dan akan dibaca tatkala para Kepala Negara itu keluar dari Ruang Pertemuan. Betul juga, rupanya Pertemuan Empat Mata itu adalah ajang “guyonan tingkat tinggi” yang menguntungkan saya karena pengalaman yang luas sebagai Ketua BKKBN memiliki jutaan pasangan usia subur dan guyonan KB yang mendunia. Suatu kenangan yang membuat saya menjadi sangat dekat dengan Perdana Menteri Malaysia Bapak Mahathir Muhammad.

Selamat jalan sahabat sesama Kepala Lembaga Non Departemen, sesama Menteri, dan akhitnya Menko Kesra dan Taskin yang sehari hari ditugasi seperti Wakil Presiden tetapi tidak sempat diberi Surat Keputusan. Yang jelas beliau sangat cinta kepada Negara, Bangsa serta seluruh keluarga Indonesia sejak masa kanak-kanak. Semoga arwahnya diterima disisi-Nya dan ditempatkan bersama Ibu Ainun di tempat yang sebaik-baiknya disisi-Nya. Amin.

Haryono SuyonoComment